:MERETAS KETEGANGAN ISLAM DENGAN KEBUDAYAAN LOKAL
Anjar Nugroho
http://pemikiranislam.wordpress.com/
ABSTRAK
Tulisan ini mengkaji dialektika antara agama dan kebudayaan. Agama memberikan warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama. Namum terkadang dialektika antara agama dan seni tradisi atau budaya lokal ini berubah menjadi ketegangan. Karena seni tradisi, budaya lokal, atau adat istiadat sering dianggap tidak sejalan dengan agama sebagai ajaran Ilahiyat yang bersifat absolut. Untuk itu perlu adanya gagasan pribumisasi Islam, karena pribumisasi Islam itu menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan budaya.
Secara lebih luas, dialektika agama dan budaya lokal atau seni tradisi tersebut dapat dilihat dalam perspektif sejarah agama-agama besar dunia: Kristen, Hindu, termasuk Islam, karena dalam penyebarannya selalu berhadapan dengan keragaman budaya lokal setempat, strategi dakwah yang digunakannya seringkali dengan mengakomodasi budaya lokal tersebut dan kemudian memberikan spirit keagamaannya.
Pendahuluan
Sebagai sebuah kenyatan sejarah, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi karena keduanya terdapat nilai dan simbol. Agama adalah simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer. Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat[1].
Interaksi antara agama dan kebudayaan itu dapat terjadi dengan, pertama agama memperngaruhi kebudayaan dalam pembentukannya, nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Contohnya adalah bagaimana shalat mempengaruhi bangunan. Kedua, agama dapat mempengaruhi simbol agama. Dalam hal ini kebudayaan Indonesia mempengaruhi Islam dengan pesantren dan kiai yang berasal dari padepokan dan hajar. Dan ketiga, kebudayaan dapat menggantikan sitemnilai dan simbol agama[2].
Agama dan kebudayaan mempunyai dua persamaan, yaitu, keduanya adalah sitem nilai dan sistem simbol dan keduanya mudah sekali terancam setiap kali ada perubahan. Agama, dalam perspektif ilmu-ilmu sosial adalah sebuah sistem nilai yang memuat sejumlah konsepsi mengenai konstruksi realitas, yang berperan besar dalam menjelaskan struktur tata normatif dan tata sosial serta memahamkan dan menafsirkan dunia sekitar. Sementara seni tradisi merupakan ekspresi cipta, karya, dan karsa manusia (dalam masyarakat tertentu) yang berisi nilai-nilai dan pesan-pesan religiusitas, wawasan filosofis dan kearifan lokal (local wisdom).
Baik agama maupun kebudayaan, sama-sama memberikan wawasan dan cara pandang dalam mensikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaannya. Misalnya, dalam menyambut anak yang baru lahir, bila agama memberikan wawasan untuk melaksanakan aqiqah untuk penebusan (rahinah) anak tersebut, sementara kebudayaan yang dikemas dalam marhabaan dan bacaan barjanji memberikan wawasan dan cara pandang lain, tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu mendo”akan kesalehan anak yang baru lahir agar sesuai dengan harapan ketuhanan dan kemanusiaan. Demikian juga dalam upacara tahlilan, baik agama maupun budaya lokal dalam tahlilan sama-sama saling memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapi orang yang meninggal [3].
Oleh karena itu, biasanya terjadi dialektika antara agama dan kebudayaan tersebut. Agama memberikan warna (spirit) pada kebudayaan, sedangkan kebudayaan memberi kekayaan terhadap agama. Namum terkadang dialektika antara agama dan seni tradisi atau budaya lokal ini berubah menjadi ketegangan. Karena seni tradisi, budaya lokal, atau adat istiadat sering dianggap tidak sejalan dengan agama sebagai ajaran Ilahiyat yang bersifat absolut.
Epistemologi Pribumisasi Islam
Gagasan pribumisasi Islam, secara geneologis dilontarkan pertama kali oleh Abdurrahman Wahid pada tahun 1980-an. Dalam ‘Pribumisasi Islam’ tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Sehingga, tidak ada lagi pemurnian Islam atau proses menyamakan dengan praktik keagamaan masyarakat muslim di Timur Tengah. Bukankah Arabisasi atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah berarti tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri? Dalam hal ini, pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Inti ‘Pribumisasi Islam’ adalah kebutuhan bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan[4].
Pribumisasi Islam telah menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuknya yang otentik dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini memisahkan antara agama dan budaya.
Pada konteks selanjutnya, akan tercipta pola-pola keberagamaan (Islam) yang sesuai dengan konteks lokalnya, dalam wujud ‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari ‘Islam Otentik’ atau ‘Islam Murni’ yang ingin melakukan proyek Arabisasi di dalam setiap komunitas Islam di seluruh penjuru dunia. ‘Islam Pribumi’ justru memberi keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan beraneka ragam. Tidak ada lagi anggapan Islam yang di Timur Tengah sebagai Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami historisitas yang terus berlanjut[5].
Sebagai contoh dapat dilihat dari praktek ritual dalam budaya populer di Indonesia, sebagaimana digambarkan oleh Kuntowijoyo, , menunjukkan perkawinan antara Islam dan budaya lokal yang cukup erat. Upacara Pangiwahan di Jawa Barat, sebagai salah satunya, dimaksudkan agar manusia dapat menjadi ‘wiwoho’, yang mulia. Sehingga berangkan dari pemahaman ini, masyarakat harus memuliakan kelahiran, perkawinan, kematian, dan sebagainya. Semua ritual itu dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa kehidupan manusia itu bersifat mulia. Konsep mengenai kemuliaan hidup manusia ini jelas-jelas diwarnai oleh kultur Islam yang memandang manusia sebagai makhluq yang mulia[6].
‘Islam Pribumi’ sebagai jawaban dari Islam otentik mengandaikan tiga hal. Pertama, ‘Islam Pribumi’ memiliki sifat kontekstual, yakni Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu dan perbedaan wilayah menjadi kunci untuk menginterpretasikan ajaran. Dengan demikian, Islam akan mengalami perubahan dan dinamika dalam merespons perubahan zaman. Kedua, ‘Islam Pribumi’ bersifat progresif, yakni kemajuan zaman bukan dipahami sebagai ancaman terhadap penyimpangan terhadap ajaran dasar agama (Islam), tetapi dilihat sebagai pemicu untuk melakukan respons kreatif secara intens. Ketiga, ‘Islam Pribumi’ memiliki karakter membebaskan. Dalam pengertian, Islam menjadi ajaran yang dapat menjawab problem-problem kemanusiaan secara universal tanpa melihat perbedaan agama dan etnik. Dengan demikian, Islam tidak kaku dan rigid dalam menghadapi realitas sosial masyarakat yang selalu berubah.
Dalam konteks inilah, ‘Islam Pribumi’ ingin membebaskan puritanisme, otentifikasi, dan segala bentuk pemurnian Islam sekaligus juga menjaga kearifan lokal tanpa menghilangkan identitas normatif Islam. Karena itulah, ‘Islam Pribumi’ lebih berideologi kultural yang tersebar (spread cultural ideology)[7], yang mempertimbangkan perbedaan lokalitas ketimbang ideologi kultural yang memusat, yang hanya mengakui ajaran agama tanpa interpretasi. Sehingga dapat tersebar di berbagai wilayah tanpa merusak kultur lokal masyarakat setempat. Dengan demikian, tidak akan ada lagi praktik-praktik radikalisme yang ditopang oleh paham-paham keagamaan ekstrem, yang selama ini menjadi ancaman bagi terciptanya perdamaian.
Otentisitas Islam Pribumi
Cuma permasalahanya apakah Islam pribumi dapat dipandang ‘absah’ dalam perspektif doktrin Islam. Mengabsahan ini penting menyangkut sosialisasi dan internalisasi Islam pribumi sebagai wacana pembebasan umat di kalangan umat Islam sendiri. Kelompok puritan Islam telah menuduh Islam pribumi sebagai sebagai pengejawantahan dari praktek bid’ah yang telah menyimpang dari ajaran Islam. Lebih lanjut kelompok ini berkeyakinan ahli bid’ah adalah sesat (dlalalah). Dalam sejarah Islam Jawa telah direkam bagaimana upaya-upaya penguasa Islam waktu itu dalam memberangus praktek sufime yang mereka tuduh telah menyimpang dari ortodoksi Islam.
Ambillah contoh misalnya tentang konfik antara Syekh Siti Jenar dengan seorang raja dari Demak. Seperti diketahui, Syekh Siti Jenar dikenal sebagai seorang Wali yang mempunyai kecenderungan mistis yang sangat kuat. Jalan tarekat yang dia tempuh sering menimbulkan ketegangan antara ketentuan-ketentuan syari’at yang baku (doktris resmi Islam). Seringkali paham mistiknya yang sangat kuat itu menyebabkan ia meremehkan hukum-hukum yang sudah diadobsi dari kerajaan. Oleh karena itulah penguasa kerajaan Islam Jawa di Demak itu kemudian berusaha keras untuk memadamkan pengaruh mistik, sufi dan tarekat, karena paham-paham seperti itu menyebabkan orang menjadi individualistik dan meremehkan kekuasaan keraton.
Demikianlah, akhirnya Demak menghukum Syekh Siti Jenar dengan cara membakar hidup-hidup (meskipun pada akhirnya konon dia tidak mati) yang melambangkan disirnakannya sufisme dan mistis Islam untuk digantikan dengan syari’at demi ketertiban negara. Walaupun Kuntowijoyo[8] menyimpulkan tragedi tersebut bukan katrena faktor keyakinan beragama antara keyakinan resmi yang diwakili oleh Raja Demak dengan keyakinan menyimpang yang dicontohkan oleh Syekh Siti Jenar, melainkan semata-mata karena faktor kekuasaan. Teori yang dapat ditunjukkan adalah bahwa jika ajaran Islam yang diusung ke dalam tradisi kerajaan menguntungkan atas langgengnya status quo kekuasaan, maka ajaran itu diadobsi bahkan dikembangkan, tetapi jika ajaran itu membahayakan kekuasaan; deligitimasisasi, berpotensi memimbulkan kegoncangan sosial, maka ajaran tersebut diberangus secepatnya.
Klaim-klaim yang dilontarkan kelompok Islam Puritan perlu mendapat counter discourse untuk sebuah agenda dialog terbuka yang membuka peluang adanya new paradigm masing-masing yang berdialog. Kebanyakan kelompok Islam puritan mempunyai pemahaman bahwa al-Qur’an sebagai sumber ortodoksi adalah kitab yang komprehensif, sehingga masalah apapun yang ada disekitar manusia sampai kapanpun, akan ada jawaban-jawaban spesifik dalam al-Qur’an. Inilah yang dalam pandangan Mark R. Woodward[9] tidak akan mungkin terjadi. Sebab apa ? Karena itu bukan menjadi watak al-Qur’an, sebagaimana kitab suci yang lainnya, untuk berbicara secara komprehensif mengenai kosmologi, soteriologi, etika, ritual, dan aspek-aspek keagamaan lainnya.
Sistem-sistem doktrinal, begitu kata Mark R. Woodward selanjutnya, yang komprehensif hanya bisa muncul melalui penafsiran. Teologi dan hukum Islam didasarkan pada penafsiran al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Formulasi doktrin itu telah dimulai tidak lama sesudah Nabi Wafat dan berpuncak dalam bentuk hadis dan syari’at semikanonik [10].
Hadis dan syari’at termasuk aspek doktrin yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Fazlur Rahman,[11] mendefinisikan hadis sebagai “:suatu narasi, biasanya sangat pendek, yang pokok isinya memberikan informasi mengenai apa yang dikatakan, dilakukan atau apa yang disetujui dan tidak disetujui dari para sahabatnya …”. Bukti kuat menunukkan bahwa hadis berisi banyak informasi mengenai praktek-sosial keagamaan komunitas Muslim awal, berapa diantaranya dapat dilacak langsung ke Nabi[12]. Selain itu semua itu merupakan hasil proses simbolisasi yang lewatnya prinsip-prinsip al-Qur’an digunakan untuk membangkitkan atau menafsirkan ulang bentuk-bentuk praktek kepercayan, sosial dan keagamaan. Upaya-upaya merujuk pernyataan-pernyataan dan praktek-praktek ini ke Nabi SAW akan meligitimasi inpvasi dan interpretasi keagamaan.
Selain itu, hadis dikembangkan untuk mendukung tradisi politik dan doktrin yang luas. Penting kaitannya dengan hal ini, Muslim syi’ah mempunyai bentuk hadis yang berbeda dengan mayoritas Sunni. Hal ini membawa kepada pengamatan juniboll (1953) bahwa salah satu dari tujuan utama formulasi hadis adalah untuk mengabsahkan kedudukan-kedudukan teologis dengan mengaitkannya dengan Nabi. Ulama tampak mengakui, proses “pengumpulan” tidak bisa dilanjutkan untuk jangka waktu tak terbatas tanpa terjerembab ke dalam pemalsuan yang tidak terbatas pula. Oleh karena itu, sepanjang zaman Islam era ketiga, dikembangkan ilmu transmisi hadis dan temuan-temuan yang kan didokumentasikan dengan baik ini, dirancang dalam enam kumpulan semikanotik (kutub as-sittah) yang, bersama al-Qur’an, merupakan inti Islam “ortodok”.[13]
Kemunculan literatur hadis memberikan contoh jernih peran penafsiran dan simbolisasi dalam evolusi tradisi-tradisi kitabiah. Proses ini merupakan perangkat yang melaluinya prinsip-prinsip dasar al-Qur’an digunakan untuk menyusun dan menafsirkan tradisi yang hidup, yang pada gilirannya meberikan basis untuk menyusun dan menafsirkan tradisi yang hidup, yang pada gilirannya memberikan basis untuk skripturalisasi hadis (melalui asosiasi simboliknya dengan Nabi Muhammad). Hadis menawarkan model untuk ritual rakyat (popular ritual) dan agama pemujaan (devotional religion), dan ini melengkapi suatu lingkaran penafsiran.
Sama halnya dengan peran penafsiran dalam pertumbuhan syari’at, Goldziher[14] melihat bahwa perkembangan hukum didorong sebagian besar oleh penaklukan Arab tas kawasan Byzantium dan Persia, dan syari’at menggunakan yurisprudensi Romawi. Hukum Islam didasarkan pada empat prinsip fundamental : (1) al-Qur’an, (2) al-Hadis, (3) Konsensus Ulama (ijma’), (4), analogi (qiyas) (Rahman, 1979 : 68). Ia berupaya untuk memperluas prinsip-prinsip fundamental dari al-Qur’an atau hadis, dengan memunculkan petunjuk lengkap untuk semua segi tingkah laku keagamaan dan sosial.
Karakter syari’at bersama dengan penggunaan konsensus dan analogi sebagai prinsip-prinsip penafsiran memunculkan perdebatan tentang pokok persoalan yang jauh terlepas dari tema sentral al-Qur’an dan tampaknya akan melanggar sejumlah hadis, tema yang membebaskan “dari beban yang menyusahkan”.[15] Diantara perdebatan-perdebatan ini – dan satunnya yang akan diperhitungkan dalam ulasan-ulasan tentang pribumisasi Islam – adalah tentang kultus roh Jawa (javanese spirit cult) dan teori kerajawian, yakni yang berhubungan dengan keabsahan perkawinan antara manusia dan roh. Goldziher berpendapat bahwa bentuk asus hukum ini merupakan salah satu dari faktor utama yang mendorong berkembangnya sufisme.
Penjelasan panjang tersebut untuk menjawab klaim kelompok puritan bahwa kelompok mereka yang paling otentik dalam mempraktekkan ajaran Islam sehari-hari. Otentisitas memang menjadi salah satu kriteria kebenaran sebuah pemahaman ajaran agama. Tetapi seringkali diabaikan di sini proses-proses sosial, politik dan budaya yang mempengaruhi pemikiran dan perumusan (sistem) ajaran tersebut, suatu dimensi historis dari ajaran agama. Kaum puritan mengabaikan dimensi tafsir dalam ajaran agama, seolah-olah agama adalah paket dari langit yang superlengkap dengan juklak dan juknis, padahal realitas yang telah ditunjukkan tidaklah demikian. Ajaran agama sarat dengan penafsiran, dan penafsiran terkait dengan ruang dan waktu, di sana ada dialektika dengan struktur budaya di mana tafsir itu lahir, sehingga di sini Islam Pribumi menemukan keabsahannya.
Dakwah dan Tradisi Lokal
Sejak kehadiran Islam di Indonesia, para ulama telah mencoba mengadobsi kebudayaan lokal secara selektif, sistem sosial, kesenian dan pemerintahan yang pas tidak diubah, termasuk adat istiadat, banyak yang dikembangkan dalam perspektif Islam. Hal itu yang memungkinkan budaya Indonesia tetap beragama, walaupun Islam telah menyatukan wilayah itu secara agama.
Kalangan ulama Indonesia memang telah berhasil mengintegrasikan antara keIslaman dan keindonesiaan, sehingga apa yang ada di daerah ini telah dianggap sesuai dengan nilai Islam, karena Islam menyangkuit nilai-nilai dan norma, bukan selera atau idiologi apalagi adat. Karena itu, jika nilai Islam dianggap sesuai dengan adat setempat, tidak perlu diubah sesuai dengan selera, adat, atau idiologi Arab, sebab jika itu dilakukan akan menimbulkan kegoncangan budaya, sementara mengisi nilai Islam ke dalam struktur budaya yang ada jauh lebih efektif ketimbang mengganti kebudayaan itu sendiri.
Islam yang hadir di Indonesia juga tidak bisa dilepaskan dengan tradisi atau budaya Indonesia. Sama seperti Islam di Arab saudi, Arabisme dan Islamisme bergumul sedemikian rupa di kawasan Timur Tengah sehingga kadang-kadang orang sulit membedakan mana yang nilai Islam dan mana yang simbol budaya Arab. Nabi Muhammad saw, tentu saja dengan bimbingan Allah (mawa yanthiqu ‘anil hawa, in hua illa wahyu yuha), dengan cukup cerdik (fathanah) mengetahui sosiologi masyarakat Arab pada saat itu. Sehingga beliau dengan serta merta menggunakan tradisi-tradisi Arab untuk mengembangkan Islam. Sebagai salah satu contoh misalnya, ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah, masyarakat Madinah di sana menyambut dengan iringan gendang dan tetabuhan sambil menyanyikan thala’al-badru alaina dan seterusnya.[16]
Berbeda dengan agama-agama lain, Islam masuk Indonesia dengan cara begitu elastis. Baik itu yang berhubungan dengan pengenalan simbol-simbol Islami (misalnya bentuk bangunan peribadatan) atau ritus-ritus keagamaan (untuk memahami nilai-nilai Islam).
Dapat kita lihat, masjid-masjid pertama yang dibangun di sini bentuknya menyerupai arsitektur lokal-warisan dari Hindu. Sehingga jelas Islam lebih toleran terhadap warna/corak budaya lokal. Tidak seperti, misalnya Budha yang masuk “membawa stupa”, atau bangunan gereja Kristen yang arsitekturnya ala Barat. Dengan demikian, Islam tidak memindahkan simbol-simbol budaya yang ada di Timur Tengah (Arab), tempat lahirnya agama Islam.
Demikian pula untuk memahami nilai-nilai Islam. Para pendakwah Islam dulu, memang lebih luwes dan halus dalam menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat yang heterogen setting nilai budayanya. Mungkin kita masih ingat para wali –yang di Jawa dikenal dengan sebutan Wali Songo. Mereka dapat dengan mudah memasukkan Islam karena agama tersebut tidak dibawanya dalam bungkus Arab, melainkan dalam racikan dan kemasan bercita rasa Jawa. Artinya, masyarakat diberi “bingkisan” yang dibungkus budaya Jawa tetapi isinya Islam.
Sunan Kalijaga misalnya, ia banyak menciptakan kidung-kidung Jawa bernafaskan Islam, misalnya Ilir-ilir, tandure wis semilir. Perimbangannya jelas menyangkut keefektifan memasukkan nilai-nilai Islam dengan harapan mendapat ruang gerak dakwah yang lebih memadai. Meminjam pendapat Mohammad Sobary (1994: 32) dakwah Islam di Jawa masa lalu memang lebih banyak ditekankan pada aspek esoteriknya, karena orang Jawa punya kecenderungan memasukkan hal-hal ke dalam hati. Apa-apa urusan hati. Dan banyak hal dianggap sebagai upaya penghalusan rasa dan budi. Islam di masa lalu cenderung sufistik sifatnya.[17]
Secara lebih luas, dialektika agama dan budaya lokal atau seni tradisi tersebut dapat dilihat dalam perspektif sejarah. Agama-agama besar dunia: Kristen, Hindu, termasuk Islam, karena dalam penyebarannya selalu berhadapan dengan keragaman budaya lokal setempat, strategi dakwah yang digunakannya seringkali dengan mengakomodasi budaya lokal tersebut dan kemudian memberikan spirit keagamaannya. Salah satu contoh yang baik adalah tradisi kentrungan atau wayang yang telah diisi dengan ajaran kristen tentang cerita Yesus Kristus di Kandhang Betlehem dan diisi oleh Islam tentang ajaran kalimusodo (kalimat syahadat) atau ajaran keadilan dan yang lainnya.
Dialektika antara agama dan budaya lokal juga terjadi seperti dalam penyelenggaraan sekaten di Yogyakarta (atau di Cirebon), dan hari raya atau lebaran ketupat di Jawa Timur yang diselenggarakan satu minggu sesudah Idulfitri. Dalam perspektif sejarah Islam Indonesia, upacara Sekaten merupakan kreativitas dan kearifan para wali untuk menyebarkan ajaran Islam. Upacara sekaten ini merupakan upacara penyelenggaraan maulid Nabi yang ditransformasikan dalam upacara sekaten. Substansinya adalah untuk memperkenalkan ajaran tauhid (sekaten ubahan dari syahadatain) sekaligus melestarikan atau tanpa mengorbankan budaya Jawa
Wujud dakwah dalam Islam yang demikian tentunya tidak lepas dari latar belakang kebudayaan itu sendiri. Untuk mengetahui latar belakang budaya, kita memerlukan sebuah teori budaya. Menurut Kuntowijoyo dalam magnum opusnya Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi,[18] sebuah teori budaya akan memberikan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan berikut: Pertama, apa struktur dari budaya. Kedua, atas dasar apa struktur itu dibangun. Ketiga, bagaimana struktur itu mengalami perubahan. Keempat, bagaimana menerangkan variasi dalam budaya.
Persoalan pertama dan kedua, akan memberikan penjelasan mengenai hubungan antar simbol dan mendasarinya. Paradigma positivisme –pandangan Marx di antaranya– melihat hubungan keduanya sebagai hubungan atas bawah yang ditentukan oleh kekuatan ekonomi, yakni modus produksi.
Berbeda dengan pandangan Weber yang dalam metodologinya menggunakan verstehen atau menyatu rasa. Dari sini dapat dipahami makna subyektif dari perbuatan-perbuatan berdasarkan sudut pandang pelakunya. Realitas ialah realitas untuk pelakunya, bukan pengamat. Hubungan kausal –fungsional dalam ilmu empiris-positif– digantikan hubungan makna dalam memahami budaya. Sehingga dalam budaya tak akan ditemui usaha merumuskan hukum-hukum (nomotetik), tapi hanya akan melukiskan gejala (ideografik). [19]
Dengan demikian, mengikuti premis Weber di atas, dalam simbol-simbol budaya yang seharusnya dipahami atau ditangkap esensinya adalah makna yang tersirat. Dari sini lalu dapat dikatakan bahwa dalam satu makna (esensi), simbol boleh berbeda otoritas asal makna masih sama.
Demikian pula dengan ritus-ritus semacam ruwahan, nyadran, sekaten maupun tahlilan. Semua pada level penampakannya (appearence) adalah simbo-simbol pengungkapan atas nilai-nilai yang diyakini sehingga dapat mengungkapkan makna ‘subyektif’ (kata ini mesti diartikan sejauhmana tingkat religiusitas pemeluknya) dari pelakunya. Tindakan seperti ini ada yang menyebut sebagai syahadat yang tidak diungkapkan, tetapi dijalankan dalam dimensi transeden dan imanen.
Dengan kata lain high tradition yang berupa nilai-nilai yang sifatnya abstrak, jika ingin ditampakkan, perlu dikongkretkan dalam bentuk low tradition yang niscaya merupakan hasil pergumulan dengan tradisi yang ada. Dalam tradisi tahlilan misalnya, high tradition yang diusung adalah taqarrub ilallah, dan itu diapresiasikan dalam sebuah bentuk dzikir kolektif yang dalam tahlilan kentara sekali warna tradisi jawaismenya. Lalu muncul simbol kebudayan bernama tahlilan yang didalamnya melekat nilai ajaran Islam. Dan Kuntowijiyo merekomendasikan kepada umat Islam untuk berkreasi lebih banyak dalam hal demikian, karena akan lebih mendorong gairah masyarakat banyak menikmati agamanya.
CATATAN AKHIR
1 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme transendental, Bandung : Mizan, 2001, hal. 196
2 Ibid., hal. 195
3 Lihat Hendar Riyadi, Respon Muhammadiyah dalam Dialektika Agama, Pikiran Rakyat, Senin 24 Pebruari 2003
4 Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, (Jakarta : Desantara, 2001), hal. 111
5 Khamami Zada dkk., “Islam Pribumi : Mencari Wajah Islam Indonesia”, dalam Tashwirul Afkar, jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan, Edisi No. 14 tahun 2003, hal. 9-10
6 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan, 1991), hal. 235
7 Khamami Zada dkk., Islam Pribumi … hal. 12
8 Kuntowijoyo, Paradigma Islam … hal. 232-233
9 Lihat Mark R. Woodward, Islam Jawa : Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogyakarta : LKIS, 1999) hal. 90
10 Ibid., hl. 91
11 Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of Chicago Press, 1979), hal. 54
12 Lihat Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, (Princeton ; Princeton University Press, 1981), hal. 31-42, atau Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of Chicago Press, 1979), hal. 43-64
13 Mark R. Woodward, Islam Jawa … hal. 91
14 Goldziher, Introduction to Islamic … hal. 45
15 Ibid., hal 55
16 Anjar Nugroho, “Dakwah Kultural : Pergulatan Kreatif Islam dan Budaya Lokal”, dalam Jurnal Ilmiah Inovasi, No.4 Th.XI/2002
17 Marwanto, “Islam dan Demistifikasi Simbol Budaya”, dalam Solo Pos, Kamis 22 Juli 2002
18 Kuntowijoyo, Paradigma Islam… hal 45
19 Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid … hal. 110-111
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, (Jakarta : Desantara, 2001)
Anjar Nugroho, “Dakwah Kultural : Pergulatan Kreatif Islam dan Budaya Lokal”, dalam Jurnal Ilmiah Inovasi, No.4 Th.XI/2002
Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of Chicago Press, 1979)
Goldziher, Introduction to Islamic Theology and Law, (Princeton ; Princeton University Press, 1981), hal. 31-42, atau Fazlur Rahman, Islam, (Chicago : University of Chicago Press, 1979)
Hendar Riyadi, Respon Muhammadiyah dalam Dialektika Agama, Pikiran Rakyat, Senin 24 Pebruari 2003
Khamami Zada dkk., “Islam Pribumi : Mencari Wajah Islam Indonesia”, dalam Tashwirul Afkar, jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan & Kebudayaan, Edisi No. 14 tahun 2003
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid, Essai-Essai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme transendental, Bandung : Mizan, 2001
Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan, 1991)
Mark R. Woodward, Islam Jawa : Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogyakarta : LKIS, 1999)
Marwanto, “Islam dan Demistifikasi Simbol Budaya”, dalam Solo Pos, Kamis 22 Juli 2002
Dijumput dari: http://pemikiranislam.wordpress.com/2007/08/14/islam-dan-kebudayaan-lokal/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar