Hasnan Bachtiar
http://sastra-indonesia.com/
Selalu tidak ada titik temu dalam polemik sastra. Di satu sisi, ada
sebagian masyarakat sastra yang menghendaki bahwa karya sastra adalah
media komunikasi, sekaligus estetika. Di seberang sisi yang lain sangat
berbeda. Karya sastra hendaknya dibebaskan dari beban-beban
komunikatif tersebut. Karena itu, sastra adalah estetika. Sastra tiada
lain hanyalah seni.
Golongan yang pertama, mewakili golongan modern yang mempertahankan
nilai fungsional sastra. Sedangkan golongan yang kedua, adalah para
sastrawan pascamodern yang menghendaki kebebasan penafsiran atas teks
sastra, secara terus-menerus tanpa henti, sesuai dengan selera
pembacanya.
Sekilas, golongan pertama adalah moralis. Sastra memang digunakan
sebagai strategi moral dan kepentingan sosial. Hal ini dapat ditemui di
mana saja, misalnya tatkala teks sastra, menuliskan penderitaan
orang-orang kecil dan tertindas, pemihakan sosial, kritik sosial,
ungkapan religius kebudayaan tertentu dan lain sebagainya.
Pada golongan pascamodern, awalnya ingin memberikan kritik yang
konstruktif bagi pemikiran modern. Jika sastra itu fungsional dan
komunikatif, memang menjadi hal yang menggembirakan saat sastra
digunakan sebagai alat untuk ibadah atau berbuat baik. Dari sini, tentu
saja ada celah-celah yang mudah dibelokkan. Sastra bisa jadi,
dimanfaatkan untuk hal-hal yang kurang baik, tercela dan merugikan
orang lain.
Sastra yang bermanfaat ini, baik itu manfaat yang benar maupun
sebaliknya, selalu bermakna atas apa yang dikehendaki penciptanya. Di
samping itu, bermakna pula atas keinginan pembacanya. Bagi pembaca,
jelas, adalah mereka yang punya kepentingan yang sama dengan
penciptanya. Secara lebih sederhana, sastra modern, adalah untuk
kepentingan moral tertentu. Makna, selalu mengikuti tuan pengendali
kepentingan.
Dengan bahasa yang lugas, sastra modern disebut pula sastra moral atau
sastra kepentingan. Lazim diketahui bahwa, setiap moral atau
kepentingan adalah kekuasaan yang dijalankan untuk tujuan tertentu. Di
sinilah pemikir pascamodern memberikan kritik atas kekuasaan, agar
setiap kuasa tertentu, tidak terlampau berlebihan dalam melampiaskan
hasratnya.
Dalam memberikan kritik, sastrawan pascamodern tentu saja tidak
menggunakan metode yang sama seperti yang dijalankan sastrawan modern.
Dialektika modern atau saling beradu argumen dan bertukar pikiran atas
makna-makna, sangat beresiko pada debat kusir yang tidak berujung.
Tetapi yang paling penting, mengikuti arus jalannya sastra modern, maka
akan selalu tidak mandiri dan tidak pula dapat lepas dari tuntunan
moral yang agung.
Jalan alternatif yang ditempuh adalah keluar dari dialektika modern dan
beralih pada metode yang sama sekali berbeda. Barangkali, secara
lebih terus terang, bahwa jalan yang ditempuh adalah bukan jalan dalam
kungkungan moral. Dengan kata lain, bukanlah jalan yang didikte oleh
kekuasaan.
Metode pascamodern menghendaki bahwa sastra hendaknya terlepas dari
beban-beban komunikatif dan fungsional. Kebebasan itu berarti adalah
kemandirian teks sastra. Konsekuensinya, bisa saja bahwa teks itu
bukanlah bahasa formal maupun informal dalam komunikasi massa, tetapi
hanyalah tenunan huruf. Beruntung pula tenunan itu dapat dibunyikan
secara oral, jika terajut huruf-huruf vokal. Di sini, justru makna
sangatlah penting. Makna akan berdiri bebas, mengikuti
kehendak-kehendak pembaca, tanpa melulu didikte oleh kuasa apapun.
Secara umum, pemikiran pascamodern, menolak setiap kekuasaan mutlak.
Tentu bukanlah hal yang sungguh-sungguh mutlak di dalam dirinya
sendiri. Misalnya saja Tuhan. Tuhan berbeda dengan sesuatu tentang
Tuhan: ketuhanan. Maka, kebenaran mutlak, yang hendak ditantang dan
diserang pemikiran pascamodern, bukanlah yang benar-benar mutlak.
Namun, nampak mutlak. Manusialah yang bisa menentukan adanya yang
“nampak” mutlak, kendati dengan istilah benar-benar mutlak.
Demikianlah, yang ditentang oleh pemikiran pascamodern adalah kebenaran
yang “seolah” tunggal, yang seringkali ditampilkan oleh pemikiran
modern. Sesungguhnya sekali lagi, bukan ketunggalan itu yang coba
dipersoalkan. Namun, arogansi manusia-manusia yang merasa dirinya
sendirilah yang paling benar. Kebenaran dalam hal ini, bisa berarti
makna, pikiran, rasionalitas, moral, pengetahuan dan segala dimensi
etis.
Kebebasan dan ketiadaan moral yang dimiliki manusia pascamodern,
bukanlah berarti bahwa manusia kehilangan pijakan. Tidak demikian.
Pijakan tetaplah ada, kebaikan tetaplah diapresiasi dan kebenaran
tetaplah diinginkan. Kendati demikian, semua itu tidak tunggal ataupun
selesai, final. Tetapi, terus-menerus memperbaharui segala maknanya,
tanpa batas dan akhir, sepanjang manusia itu hidup.
Terlalu beresiko, menyebutnya “ketidakmungkinan” maupun kebalikannya,
“keabadian”. Ketidakmungkinan dan keabadian adalah masa yang belum
tertempuh. Manusia yang hidup sekarang, kekinian dan kedisinian,
hanyalah mengangankan, mengimajinasikan, berkarya akan masa depan
tersebut. Dari sini, teranglah bahwa, ketidakmungkinan, kekosongan dan
makna yang tidak pernah selesai, sesungguhnya adalah apa yang belum
dijumpai.
Menyoal hal ini melalui cara pandang filsafat, akan ditemui istilah
relativisme, bahkan nihilisme. Relativisme atau makna bagi setiap
pembaca adalah relatif, bisa dimengerti dengan mudah. Namun, kerelativan
itu sendiri, tidak seliar yang dibayangkan. Betapapun manusia itu
memaklumi relativitas pemaknaan, tatkala memberi makna atas teks sastra,
maka berhentilah pembaca atau penikmat sastra dalam “satu”
persinggahan kekinian. Begitu juga dengan nihilisme, ketidakadaan
kebenaran, hanyalah ilusi. Sejajar dengan persoalan kebenaran tunggal
itu sendiri. Klaim nihilisme dan kebenaran tunggal, adalah dua hal yang
berada di luar pemikiran kekinian. Termasuk pula, jika saat ini
seorang pembaca sastra mengimani nihilisme, maka sesungguhnya itulah
suatu terjemah akan karya sastra, suatu iman nihilisme sebagai
kebenaran tunggal saat itu juga, kekinian.
Namun, kalaupun relativisme dan nihilisme itu ada, atau sederajat
dengan kebenaran tunggal yang sejati itu ada, tidaklah bisa manusia
berkomentar atau memberi catatan kritis atasnya, terlebih
mengkomunikasikannya.
Mengatakan kebenaran itu tidak ada (nihilisme), berarti telah
mengatakan satu kebenaran. Begitu pula, mengatakan bahwa sesuatu itu
benar sejati, maka hilanglah kesejatiannya karena sifat manusia yang
alpa. Tidak jauh berbeda, bahkan lebih ironis jika mengkomunikasikan
keduanya, berarti telah memanfaatkan untuk kepentingan atau
moralitasnya.
Pemikiran sastra pascamodern, khususnya yang menghendaki kebebasan
mutlak atas makna dan mengkritik dimensi fungsional-komunikatif dari
teks sastra, “seperti” memiliki sayap yang ingin terbang bebas dengan
sejati. Hal itu, tidak sepenuhnya benar. Realitasnya, mereka hanya
memiliki kelincahan metodis dan kecerdikan dalam berpolemik pemikiran
sastra.
Kelincahan metodis adalah persoalan mudah. Jelas, dengan kehendak untuk
menetralisir segala petunjuk moral sebagai perwujudan kuasa dalam
proses pemaknaan teks sastra, akan mempersilahkan setiap pembaca untuk
melewati tahapan berikutnya, yaitu tafsir yang dikehendaki atau yang
disukai, “secara bebas”. Kembalilah tahapan pascamodern, pada pemaknaan
yang serupa pada metode sastra modern. Kendati demikian, hal ini
tetaplah berbeda satu sama lain. Metode sastra modern terlihat mantap
dengan keyakinan, sedang pascamodern, tidak terlalu penting menyoal
keyakinan, yang terpenting adalah kebebasan pemaknaan.
Memberikan kritik pada pemikiran pascamodern, bisa saja dengan
pemikiran modern, maupun dengan kelincahan metodis yang serupa. Bagi
kritik yang pertama, berarti memberikan kritik dengan moral-moral atau
dengan kekuasaan kehendak pengkritik. Memburu celah-celah pemikiran
pascamodern yang cela dengan metode pascamodern, punya geliat yang sama
dengan kehendak modern, kendati perbedaannya bahwa hal ini lebih pada
kegiatan menafsirkan ulang tanpa selesai dan selalu menggapai makna
kebaruan.
Apapun itu, segala yang tergolong sebagai pembacaan ulang, kritik atau
penafsiran tertentu, adalah operasi penindakan terhadap obyek
tertentu. Singkat kata, kritik seutuhnya adalah modus operandi
penguasaan. Kritik adalah perburuan.
Sebagai perburuan, entah apa yang diburu, baik pemikiran modern maupun
pascamodern, baik menggunakan senjata tradisional maupun dengan yang
lebih canggih, senantiasa menginginkan agar hasrat berburunya
terpenuhi.
Cara berburu ini akan lebih kentara di permukaan, jika menunjukkan
bahwa obyek buruannya memiliki kekuasaan, kehendak, niat, hasrat
tertentu, maka setiap pemburu punya hal yang serupa untuk menyerang
binatang buruannya (teks sastra). Persoalan perburuan, adalah persoalan
pertarungan, tarik-menarik kehendak dan dalam bahasa yang lebih terus
terang adalah kompetisi, kontestasi, rivalitas dan lain sebagainya.
Tapi tetap, dalam bahasa sastra sehari-hari, perburuan atau kritik,
adalah suatu upaya penafsiran.
Berikut ini, akan dijelaskan soal polemik sastra yang ada di Indonesia.
Secara spesifik bahwa, yang hendak dikritik adalah pemikiran
pascamodern, yang diwakili oleh Sutardji Calzoum Bachri (Sastrawan
Indonesia) yang didukung oleh Ignas Kleden (Kritikus Sastra), khususnya
dalam esai yang berjudul, “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji
Calzoum Bachri” (4 Agustus 2007). Pemikiran yang punya kelincahan
metodis ini, hendak diburu oleh penafsir lainnya, yang juga memiliki
kehendak pemaknaan terhadap sastra, khususnya oleh Nurel Javissyarqi,
sastrawan dan kritikus yang bergaya Surealis dan eksentris.
Perburuan Nurel ini, telah ditulis secara sistematis di dalam esai
bersambungnya yang berjudul “Membaca ‘Kedangkalan’ Logika Dr. Ignas
Kleden?”. Pada bagian pertama dan kedua esainya, akan diuraikan dalam
diskusi berikut ini.
***
Segala sastra adalah metafora. Berarti, setiap pencipta seni, akan
melepaskan karyanya untuk hidup sendiri secara mandiri. Dengan kata
lain, seperti melepaskan burung dan membiarkannya hinggap dengan sesuka
hatinya.
Sastra, barangkali akan sangat mudah dipahami orang, pembaca atau
penikmatnya. Namun adakalanya sebaliknya. Sastra, menuruti sifatnya
untuk menyembunyikan makna, sehingga sangat sulit dan beragam pemaknaan
atasnya.
Seorang sastrawan terkemuka, Sutardji Calzoum Bachri misalnya, memiliki
ciri khas tatkala menuliskan puisi-puisinya. Kadangkala bagian
awalnya hanya berupa tenunan huruf-huruf yang tidak selesai sehingga
layak dimengerti sebagai kata. Rasa-rasanya sepintas, kalau dibacakan
seperti membunyikan sesuatu. Mungkin tidak bermakna atau sulit sekali
menemukan maknanya secara sederhana, tetapi berasa sesuatu, yang mana
dapat dinikmati baik oleh pelantun maupun pendengarnya, sesuai dengan
selera masing-masing.
Itulah, tidak heran jika Sutardji dalam bukunya yang berjudul Isyarat
(2007: 10), menjelaskan bahwa puisinya adalah ruh, semangat, mimpi,
obsesi, dan igauan serta kelakar batin yang menjasad dalam bunyi yang
diucapkan dan sering dituliskan dalam kata-kata. Dengan kekhasan ini,
masyhur ciptaannya menyandang gelar “mantra”.
Dalam bidang studi antropologi, “mantra” itu sangatlah unik dan
fungsional. Orang membaca mantra, biasanya punya kehendak agar orang
lain mengikuti kehendaknya tersebut, hanya dengan mendengarkan
lantunan-lantunan yang menuntun batin. Entah energi, entah keajaiban,
yang jelas, tanpa penjelasan secara rasional, mantra seringkali bekerja
secara ampuh, menuruti kehendak tuannya. Mantra di sini, sejenis
kata-kata, namun bukan bahasa, karena tidak memiliki makna yang lazim
dipahami secara komunikatif. Itulah keunikan mantra.
Tentu saja berbeda, antara mantra sebagai tradisi masyarakat adat,
dengan mantra dalam khazanah sastra, khususnya mantra Sutardji.
Kendatipun memiliki kesamaan, baik itu dalam dimensi kesakralan,
religiusitas, magis, mistis dan estetika, dari segi kelahirannya, kedua
jenis mantra tersebut memiliki ibu, rahim, ruang, waktu dan falsafah
yang berbeda.
Para penikmat sastra, bisa saja larut dalam keheningan dan terbawa
dalam suasana ruhaniah, tatkala puisi mantra Sutardji dibacakan. Namun
hal ini, tidak berlaku bagi masing-masing masyarakat adat yang
memiliki tradisi mantra, bahkan kelahiran tradisi tersebut jauh
sebelum zaman-zaman perkembangan sastra Indonesia menjadi marak.
Seorang gadis adat Osing dari Banyuwangi, akan jatuh cinta secara tergila-gila, karena batinnya telah tertuntun oleh mantra pengasihan Jaran Goyang, yang dibacakan oleh seorang pria yang menginginkannya. Gejala-gejala magis dari mantra Osing, sangat berbeda dengan mantra Sutardji yang hanya bisa dinikmati oleh masyarakat berpendidikan.
Namun, ada sisi menarik dalam mantra Sutardji. Jika padamulanya bahasa,
selalu berfungsi sebagai alat komunikasi, kini tidak lagi demikian.
Karena, seperti dijelaskan sebelumnya, kata, tidak selalu sebagai
bahasa. Kata yang bukan bahasa.
Kata itulah burung yang terbang bebas. Sedangkan puisi, lebih luas lagi
dari itu. Bagaikan langit, puisi menjadi ruang bagi burung-burung
yang terbang tinggi, menari dan pergi sekehendak hati.
Dari sini jelaslah bahwa, puisi atau teks sastra bagi Sutardji, karena
bukan dalam kategori bahasa, bukan berarti tidak bisa dikomunikasikan.
Namun, cara komunikasi, baik itu makna maupun bunyinya, diberikan
seutuhnya bagi pembaca secara bebas, tanpa batas secara terus-menerus.
Ignas Kleden dalam esainya, “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji
Calzoum Bachri” (4 Agustus 2007) membenarkan pendapat ini. Ia
mengungkapkan bahwa, “Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri
menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan
menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan
dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi
kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui
puisi… Dalam sebuah esainya Sutardji menulis ‘puisi adalah alibi
kata-kata.’ Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi
diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang
dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata
sebagai tanggungan kata tersebut.”
“Puisi sebagai alibi kata-kata” itulah kata yang paling pas untuk
membayangkan teks sastra gaya Sutardji. Dengan puisi, pembaca bisa lari
dari makna yang hendak dipatenkan, sekehendaknya. Dengan puisi, yang
paling pasti adalah ketidakpastian yang liar. Inilah yang dimaksud
dengan kelincahan metodis. Selalu menemukan jalan untuk kabur dan pergi
ke sana ke mari sesuka hati. Sebenarnya, inilah deklarasi kebebasan
Sutardji. Semacam kredo yang sedang dirayakan.
Dalam kesempatan lain, Sutardji menyampaikan bahwa, “Dalam puisi saya,
saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya seperti
kamus dan penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan
masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta
penjajahan gramatika.”
Sekali waktu, Ignas Kleden dalam Pidato Kebudayaan Pekan Presiden
Penyair (19 Juli 2007) sangat berharap agar kredo Sutardji tersebut
akan diwujudkan.
Dari sini, mulailah pelbagai kritik dilancarkan oleh Nurel. Bukan pada
Sutardji, namun pada penafsirnya, yaitu Ignas Kleden. Jelas dalam
uraian esainya, baik itu bagian pertama maupun kedua, belumlah secara
terus terang memberi kritik pada teks sastra Sutardji. Kritikus
surealis ini hanya menjelaskan bahwa, logika yang dipakai Ignas Kleden
untuk menjelaskan kelincahan metodis Sutardji, belumlah tepat.
Misalnya dalam dukungan Kleden akan Sutardji, diungkapkan bahwa
kelincahan metodis, serupa dengan penerobosan makna, jenis, bentuk kata
dan tata bahasa. Hal itu dinilai sebagai dekonstruksi bahasa
Indonesia secara besar-besaran, karena memberi peluang bagi pelbagai
gaya baru yang lebih otentik melalui karya sastra. Jadi di sini, bukan
sekedar teks sastra yang mengalami pembebasan, namun juga metodologi
dan filsafat sebagai dasar pijaknya.
Dalam memberikan kritik, Nurel mendiagnosa bahwa Kleden menafsirkan
kata “pembebasan” dengan “penerobosan”. Pilihan kata “menerobos” sangat
beresiko untuk mendapati arti yang dirasa tepat dengan maksud
kelincahan metodis Sutardjian. Menerobos barangkali, lebih
tendensius dan memanggul cita rasa resentimen terhadap lawan. Sedangkan
pembebasan tentu saja, kendatipun berkehendak untuk melawan, kata ini
mengandung unsur moral kebaikan.
Menurut Nurel, menerjemahkan kata “membebaskan” dengan “menerobos”
berarti membelokkan maknanya. Jelas sah, bagi seorang penafsir,
siapapun, untuk menafsirkan suatu kata tertentu. Tapi satu penafsiran,
jika ditafsir ulang, maka tidak akan luput dari kritik.
Kalau konsekuen dengan kebebasan dan pembebasan penafsiran, maka
dekonstruksi Sutardjian oleh Kleden, akan lebih mengarah kepada upaya
yang destruktif, sekedar merusak atau menghancurkan, tanpa menata
kembali. Namun, sebagai suatu jalinan kata yang utuh (kalimat), Kleden
bisa saja membela bahwa, maksud dari menerobos telah dijelaskan oleh
kata berikutnya, yaitu untuk, “...melakukan dekonstruksi bahasa
Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi
konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.”
Dalam esainya, Nurel mencoba menjelaskan, “Kata ‘menerobos’ yang
diulang-ulang, tak lebih bentuk usaha keras IK dalam mengaburkan
pemahaman, membuat buyar pelahan-lahan atas tatanan konsep SCB,
disesuaikan pola IK dalam pijakannya berfikir kali itu, dan upaya
menekankan, meyakinkan pembaca bahwa kata ‘(mem)bebaskan’ sama dengan
‘menerobos’. Ini awal pembelokan manis teruntuk pembaca sastra yang
sungguh menghipnosis, kalau yang bilang bukan IK, tentu ada tuntutan,
tetapi karena yang berkata-kata Dr. Ignas Kleden, siapa berani?”
Di sinilah yang dimaksud dengan penafsiran ulang atas tafsir tertentu.
Padamulanya, Kleden mentransformasi kata “membebaskan” menjadi
“menerobos”. Ini adalah tenunan baru dari sebelas tenunan huruf-huruf
m-e-m-b-e-b-a-s-k-an menjadi sembilan tenunan huruf-huruf:
m-e-n-e-r-o-b-o-s. Lalu prosesnya, Nurel mengudarnya menjadi banyak
tenunan huruf, dan jalinan kata yang lain pula. Misalnya, “’Menerobos’,
masihlah fokus dengan jalan pintas seperti sorot cahaya, sedangkan
kata ‘(mem)bebas(kan)’ bermakna membuyarkannya.
Makna menerobos menurut Nurel, seperti halnya makna tunggal tertentu
yang secara spesifik, memiliki kebenaran yang erat dengan penulisnya.
Sangat berbeda dengan kata membebaskan, yang bermakna “membuyarkan”
sesuatu. Kata membuyarkan, jika dikehendaki, bermakna pula sebagai
diseminasi atau penyebaran teks, dengan demikian, juga penyebaran
jaringan jejak teks (gramma) ke teks yang baru, yang tidak tunggal, namun berlaku “bebas” sesuai kehendak penafsir.
Dalam persoalan ini, penulis memaklumi penjelasan Kleden soal
“menerobos” dan tafsiran Nurel soal “keberatan terhadap kata
menerobos”. Menurut kacamata sastra pascamodern, terjadi dialektika
intertekstualitas. Tapi secara jujur, pastilah itu semua adalah
tarik-menarik kehendak antara Kleden yang selesai menuliskan karyanya,
lalu diburu untuk dikritik oleh Nurel yang kurang sependapat
dengannya. Dengan demikian, bukan melulu intertekstual, tetapi
intersubyektif. Apalagi jelas-jelas dalam komentar Nurel disebutkan
bahwa, “Siapa berani?”
Hal ini tidak selesai. Seperti dijelaskan di muka, aktivitas
tafsir-menafsir, tidak akan pernah selesai. Selalu menemui makna baru
yang dikehendaki secara terus-menerus. Reproduksi teks dalam
ketidakpastian yang paling pasti.
Mungkin kata “kebebasan” sangat cocok untuk diselidiki lebih jauh.
Pertimbangannya adalah karena polivokalitas yang dimiliki, juga sifat
interpretatif dari pembacaan terhadapnya. Nurel mengungkapkan bahwa,
“Kelicinan IK tidak menampakkan kata ‘kredo’ pada paragraf awalnya,
padahal secara ruhaniah makna merujuk padanya, yang terbukti munculnya
kalimat ‘memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih
otentik melalui puisi’.”
Seluruhnya adalah teks. Bagi penulis, untuk menunjukkan tafsir baru,
berarti mereproduksi teks. Namun mengurai metode, berarti menunjukkan
bagaimana cara kerja filsafat penulisan teks berlaku. Di sini,
Sutardjian menghendaki pembebasan makna. Demikian pula dengan kedua
kritikus, baik itu Kleden maupun Nurel. Kemungkinan bagi konstruksi
baru adalah teks baru yang berasal dari reproduksi. Begitu pula dengan
catatan Nurel, bahwa tantangan kritis terhadap Kleden adalah teks baru
yang juga dari hasil reproduksi. Tentu saja, dapat disimpulkan bahwa
inti dari kebebasan adalah reproduksi teks yang sekali lagi,
terus-menerus dan tidak selesai.
Misalnya saja, Kleden menyatakan, “...dekonstruksi bahasa Indonesia
secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi
baru yang lebih otentik...” Tentu saja jika dekonstruksi berlaku,
maka barangkali kungkungan gramatika bahasa Indonesia yang menjerat
akan terbebaskan dan teks otentik baru akan tercipta. Namun, bagi
dunia pascamodern, bukankah hal ini adalah biasa saja? Apa yang hendak
didekonstruksi? Tidak ada. Sekiranya mendekonstruksi jejaring teks,
maka jejaring baru adalah pengulangan yang lama. Seandainya makna yang
didekonstruksi, maka makna barulah yang akan menggantikan kekuasaan
makna lama.
Sama halnya dengan Nurel, apa yang hendak dikritik? Makna? Jejaring
teks? Kekuasaan Sutardji? Kebesaran citra Kleden? Bukankah itu hal yang
biasa? Demikianlah, perburuan-perburuan serupa dialektika modern atau
pascamodern yang tidak terlalu rumit, bahkan biasa saja. Teks
hanyalah teks. Subyek adalah subyek. Dialektika kehendak, sebenarnya
tidak pernah ada. Kehendak untuk saling berkuasalah yang sedang
beroperasi. Hubungan antar kehendak, dalam jejaring interpretasi,
lazim disebut dengan intersubyektivitas.
Mana yang lebih baik dalam berkomentar atau upaya kritisisme, bukanlah
hal yang penting. Bahkan benar dan salah adalah hal yang sepele saja.
Ini juga teks.
7 Desember 2011
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar