Kamis, 19 Januari 2012

Tempat, Non-Tempat: Pergulatan Al-Hallaj dan Nietzsche

Asarpin *
http://sastra-indonesia.com/

Nietzsche adalah al-Hallaj yang diasingkan orang dalam negerinya. Ia lolos dari tangan para mullah, tapi terjerambab ke tangan para dokter!
–Mohammad Iqbal, Javid Namah (Kitab Keabadian), terj.Mohamad Sadikin, Panjimas, 1987, h. 80

Ia seorang sufi, yang dalam riwayat dicatat sebagai yang paling berani, dan karena itu ia dihukum mati. Para periwayat menyebutkan, ia seorang keturunan Persia dari garis kakeknya, tapi tentu saja ia bukan orang Persia tulen, atau orang Arab asli. Ia mungkin seorang hibrid. Tempatnya ada di mana-mana sekaligus tak di mana-mana. Tanah airnya seluas benua.

Sayang sekali ia hidup pada zaman ketika rahasia pengalaman puncak kebatinan hanya bisa dinyatakan lewat bahasa bisu kesyuhadaan. Rahasia pengalaman pribadinya dianggap belum sudi dibagi. Maka, ketika pergolakan kekuasaan memuncak di negerinya, ia pun sempat meninggalkan tanah airnya dan mengembara ke belahan dunia, berharap menjadi warga negara dunia. Mula-mula ia bertolak dari Jazirah Arabia untuk menyeberang ke India, Turkestan, bahkan sampai ke perbatasan negeri Cina. Dalam perjalanan mencari sumber-sumber mata air kesucian itu, sang darwis yang dekat dengan kaum papa itu ternyata masih menyempatkan diri untuk mengunjungi majelis para darwis di berbagai negeri Islam di tanah Asia.

Dalam lawatannya ke negeri seberang, bergulat dalam batinnya puspa pertanyaan: “Siapakah Kau, dia berkata, Kau! Tetapi untuk-Mu, kata ‘di mana’ berarti tak bertempat. Dan tak ada kata ‘di mana’ yang melekat padaNya. Pikiran pun tak sanggup membayangkanNya, pada suatu saat yang memberi peluang untuk mengetahui ‘di mana’ Kau berada. Engkaulah Tuhan yang meliputi setiap kata ‘di mana’, hingga sampai pada kata ‘tak ada di mana-mana’. Jadi, di manakah Kau?”

Sang sufi membayangkan ”tempat”-nya adalah ”non-tempat” (”Di mana” tidak lagi memiliki tempat, tulisnya dalam puisi terkenal). Tapi walau bagaimana pun ia menggunakan sebuah tempat tertentu pada tingkatan kosmis, di mana prinsip yang menentukan adalah hierarki para wali. Dan terbukti sejak itu, sang darwis yang menganjurkan lebih baik memberi makan yatim-piatu ketimbang pergi haji ini, memaklumkan dirinya sebagai guru sejati, dan mencoba menuliskan untaian tafsirnya tentang at tawasin al-azal wa al-Iltibas sebelum datangnya zaman nirakhir; tentang sebuah dalih menjadi dalil; tentang sebuah titik lingkaran yang tak terputus.

Kelak ajarannya menggegerkan para penguasa ketika ia berfatwa: “Dan akulah tanda penampakan-Nya: ana’l Haqq: sebuah kata yang sering diterjemahkan di sini menjadi ”Akulah Kebenaran”. Bahkan ada yang mempelintirnya menjadi ”Akulah Allah”. Sejak menyatakan ini sampai hari ini, hampir semua penyair sufi Persia pernah menyebut namanya, memujinya, menghadirkan alusi terhadap ketragisan hidupnya. Fariuddin Attar, Jalaluddin Rumi, hingga Khomeini, menabuh ”Tambur Mansur” sebagai bukti kecintaan kepada sufi yang tak lain adalah al-Hallaj ini.

II

Di sebuah tempat yang jauh, puluhan abad kemudian, muncul seorang pujangga-filsuf di tanah Jerman, yang sepanjang hidupnya telah menuliskan aforisme-afotegma perjalanan seorang suci dari Persia—sebuah negeri yang menurutnya memiliki banyak pemikir yang berani berkata jujur dan membidik lurus. Dalam usia tiga puluh tahun, ia meninggalkan kampung halamannya, mengembara turun gunung dan mendaki lembah-lemabah sunyi di belantara kusut dan sahara luas tak bertepi. Dalam suatu perjalanan ia berjumpa dengan orang suci di tengah hutan. Ketika orang suci itu sudah berpaling di hadapannya, ia pun bergumam: “Sungguhkah ini? Orang suci di tengah hutan itu belum mendengar, bahwa, Tuhan telah mati!”

Filsuf ini dikenal sebagai mistikus, walau di Eropa, kata Iqbal, tak seorang pun kenal akan liku-liku jalan mistik. Nietzsche adalah filsuf-mistik besar Jerman yang pengaruhnya masih terasa hingga kini.

Tapi siapa Nietzsche? Apakah ia metamorfosis al-Hallaj? Tak penting riwayat hidup tokoh ini. Yang jelas, ide-idenya yang anti-ide telah mengguncang singgasana kepausan dan keuskupan Jerman. Akibat untaian penanya yang paling pribadi, segalanya seolah tertidur dan bangun seketika oleh pekiknya yang terkenal: ”Tuhan telah Mati!”

Dalam jiwa yang hancur, fisik yang didera derita, sang tokoh kita tetap memaksakan untuk meneruskan perjalanan menuju negeri yang tak bertepi, ketika Tuhan tak lagi disebut-sebut sebagai dewa penolong. Dalam setiap perjalanan, ia menjumpai orang ramai di sebuah pasar yang ribut membincangkan ajarannya: “Di sana mereka tertawa, mereka tidak mengerti diriku; aku bukan mulut bagi telinga-telinga ini”, gumamnya.

Dalam fantasinya yang liar, ia pun berkhayal duduk di sebuah tempat yang belum pernah dilewati oleh telapak kaki manusia, kecuali binatang-binatang buas yang siap memangsa, lalu bersama kapal-kapal yang memuat lumpur dari muntahan bumi yang terabaikan, ia berangkat mengarungi samudera luas tak bertepi.

Sang filsuf yang sering dianggap sebagai ”pembunuh Tuhan” ini, berkali-kali menjelaskan pendiriannya tentang berfilsafat dengan palu. Dengan palu, hidupnya menjadi gairah, menjadi kreatif. Gairah pencarian dan dahaga estetiknya menghunjam sampai ke relung terdalam penafsiran. Dialah si penantang gereja paling ulung di Jerman dan pernah menyatakan Sabda Zarahustra yang menantang register Kitab Suci dan Anti-Krist yang mengingkari keberadaan Trinitas suci.

***

Nah, kisah perjalanan kedua virtuoso yang hidup di zaman yang sangat berjauhan itu, ibarat sebuah lautan pengetahuan yang paling sering digali, namun hingga kini tak pernah kering untuk ditimba kembali dari berbagai sisi.

Saya sendiri tak tahu siapa sesungguhnya Zarahustra orang Persia—si jenius yang meninggalkan jejaknya di belakang meja untuk mengembara ke dunia yang lebih luas itu—sebagaimana dikisahkan Friedrich Nietzsche lewat semangat amsal manusia pujangganya dalam Zarahustra (saya kutip dari versi terjemahan H.B.Jassin).

Apakah Zarahustra sebagai sosok alim Zoroaster yang pernah mengajarkan dualisme kehidupan di tanah Persia, yang pernah diuraikan dengan sangat mengagumkan oleh Tagore dalam salah satu bab buku The Religion of Man? Entahlah. Yang saya ketahui ialah: al-Hallaj memang orang Bagdad, tapi semua orang tahu bahwa si jenius agung yang dipancung pada masa Dinasti Abbasiyah dipimpin oleh Sultan al-Muqtadir itu seorang yang berdarah Persia dan ajarannya sangat khas para filsuf-sufi Persia.

Kita tahu, karya al-Hallaj yang terkemuka, at tawasin, telah diterjemahkan sejak abad ke-15 di Jerman melalui seorang ahli teologi Protestan jerman: F.A.D. Tholuck. Bisa jadi Nietzsche pernah bersentuhan dengan pemikiran al-Hallaj jauh sebelum ia menulis tentang Zarahustra yang mengingatkan kita pada Zoroaster di negeri Iran lama itu. Gumam-gumah lirih kedua pujangga yang kesepian itu begitu menghunjam kesadaran ratusan, atau mungkin ribuan manusia di muka bumi.

Zoroaster adalah ”penjaga malam hari, yang berdiri di puncak, sendirian menghadap ke Timur dan menyanyikan lagu-lagu pujaan cahaya kepada dunia yang tertidur ketika matahari muncul dari tepi cakrawala”, tulis Tagore.

Apakah yang kita rasakan setelah mengikuti maksim-maksim singkat dari kedua pemikir-sufi yang paling terkemuka itu? Adakah sesuatu yang bisa membuat kita ingin mencampakkannya jauh-jauh ke dasar jurang, atau membuat kita justru takzim, luluh ke dalam amor fati dan kefanaan yang masih belum habis-habisnya itu? Adakah selapis tipis makna selain nama dan makna, selain isyarat dan tempat, yang bisa membuat kita merasa bahagia tidak sebagaimana mengupas kulit bawang, dan tidak sekadar merepotkan pikiran sendiri oleh maksim-maksim dan aforisme-aforismenya yang keras kepala?

Sekali lagi, hanya Nietzsche yang tahu apa yang dimaui dengan amor fati-nya, sebagaimana al-Hallaj sendiri lebih tahu apa makna di balik kefanaan dalam ajaran Zen-Avesta—kitab suci yang dibawa Zoroaster—yang diakui kebenarannya oleh kakeknya. Namun, jika delusi John Forbes Nash—sang penderita skizofrenia yang kemudian mengantongi Hadiah Nobel itu—bisa dipercaya, barang kali Zarahustra adalah nabi bagi orang Iran lama—negeri yang “orangnya mudah bersimpati dan berbelarasa kepada orang yang kesepian”.

Zoroaster atau Zarahustra, bukan orang yang “mempunyai unta kuning” (sebagaimana ungkapan orang Iran untuk orang yang dianggap tidak waras namun cerdas). Warna kuning adalah warna gila, sebagaimana berkali-kali juga kita temukan dalam prosa-prosa Iwan Simatupang yang sangat fasih menerjemahkan kegelandangan Nietzsche.

Kita tahu, pandangan sufistik yang pernah hidup di Iran sejak Zoroaster sampai Khomeini di dasarkan pada tiga prinsip yang terkenal: kepatuhan pada imam, resistensi/revolusi terhadap tiran, kesucian diri seperti bayi. Api dianggap suci. Cahaya dan kegelapan terus berseteru. Anak-anak adalah harapan masa depan.

Para pemikir Iran dikenal sangat apresiatif terhadap dunia anak-anak, karena selain mengajarkan makna kepolosan dan kemurnian, anak-anak sering melahirkan ungkapan-ungkapan yang justru dianggap paling orisinal dan murni. Saya ingat Husein Thabataba’i—si cilik usia lima tahun yang telah fasih hapalan Quran dan meraih gelar doktor kehormatan dari Islamic University College Inggris yang hidup di zaman kita kini—sambil bermain mobil-mobilan dan menarik-narik kabel mikrofon, secara spontan ia menanggapi pertanyaan-pertanyaan penggemarnya dengan mengeluarkan ayat-ayat Quran dengan bahasa Persia yang sangat sastrawi dan syarat inspirasi.

Baik al-Hallaj maupun Nietzsche, banyak bersinggungan dengan dunia fantasi infantil. Apa yang menarik pada kedua tokoh ini bukan pada ada tidaknya pengaruh al-Hallaj terhadap Nietzsche, melainkan ketajaman imajinasi al-Hallaj yang telah menyumbang bagi perkembangan genre tafsir alegori mistikum. ”Dalam sifat dasar Adikodrati, kata al-Hallaj, terkandung sifat dasar adimanusia”. Dalam Adimanusia, kata Nietzsche, terkandung sifat Adikodrati. Di kalangan sufi, Adam sering dianggap adimanusia yang menjadi huwa huwa, ”persis Dia”, tapi kata Ibnu ’Arabi pula: ”Dia bukan Dia”.

Al-Hallaj telah mengajarkan tentang lingkaran “titik primordial”, Nietzsche seakan mengganti radar kecemasan Eropa dengan mengatakan: “kembalinya segala sesuatu secara abadi” setelah munculnya Adimanusia (Ubermensch). Dan bahala yang menimpa al-Hallaj di tiang gantungan puluhan abad lampau itu, telah mengajarkan pada kita tentang rahasia rasa pribadi yang tak sudi dibagi, sebagaimana juga bisa kita baca pada getaran imaji Albert Camus atau George Orwell ketika menuliskan adagium-adagiumnya saat menatap dingin tubuh para martir yang terkulai lemas di tiang gantungan dalam esai-esai mereka yang brilian.

”Bunuhlah aku, O sahabat-sahabatku yang terpercaya”, pekik al-Hallaj, ”karena dalam pembunuhanku adalah kehidupanku”. ”Aku mati sebagai mineral, dan menjadi tanaman. Aku mati sebagai tanaman, dan muncul sebagai hewan. Aku mati sebagai hewan, dan aku adalah manusia”, tulis Rumi dalam secarik sajak alegori mistik yang mengenang al-Hallaj.

Dalam melukiskan tragisnya kematian, al-Hallaj menjawabnya dengan prosa kefanaan—prosa kematian sekaligus kehidupan kembali. Kematiuan mesti disambut karena mempercepat pertemuan dengan Kekasih. Tragedinya, seperti halnya kisah bahala dalam legenda lama, epos atau mitos, sering kali resisten terhadap kekuasaan, dan oleh karena itu mereka tak bisa lama menghirup udara dunia. Para martir, sepanjang hidupnya, kerap kali berada dalam ruang antara dan bayang-bayang kematian. Hanya dengan begitu mereka bisa hidup dalam lorong-lorong jiwa manusia dalam setiap zaman dan masa. Al-Hallaj menggapi kehidupan yang berpuncak-puncak melalui kematian. Dan inilah tujuan para sufi. ”Maut itu indah, sebab ia menggabungkan sahabat dengan Sahabat”, tulis sufi Yahya.

Al-Hallaj dan para martir sesudahnya, telah menunjukkan kepada kita sebelum yang lain-lain tentang bagaimana cara memanusiawikan kematian. Namun, para martir kerapkali membikin orang-orang yang ditringgalkannya hidup dalam ”epidemi kematian”. Para martir tak jarang justru membius kita dengan keinginan untuk berkorban demi perubahan nilai perjuangan. Padahal, seperti ditandaskan Nietzsche, mengorbankan diri demi perubahan nilai perjuangan hanya akan menjerumuskan orang lain yang fanatik ke lembah kematian.

Dengan memilih sebagai martir, murid-murid al-Hallaj merasa apa yang diajarkannya adalah benar, bahkan menganggap dirinya sebagai wali di atas para wali. Pernahkah kita di sini membayangkan al-Hallaj menghayati Tuhannya sebagai apa yang dalam bahasa kita dengan sederhana sering dinamakan “kemanunggalan aritmetik”? Sebuah penyatuan, di mana, katanya, “Tuhan tak pernah bisa terumuskan, tak memiliki perhitungan, permulaan, atau akhir yang dapat mencapai-Nya”.

Sufi memang akrab dengan misteri-misteri bilangan, dan tak henti-hantinya mempersoalkan bilangan-bilangan yang dianggap misteri dan mengandung nilai khusus. Ketika suatu waktu al-Hallaj ingin menyampaikan kesaksian mata batinnya, seorang tiba-tiba berlari mencari pertolongan padanya dengan jiwa yang kosong. Karena takut pada percikapan kembang api yang berletusan di udara, dan tertipu oleh segala hasrat dunia, hancur, berantakan, lalu dari dalam mulutnya tampak mengeluarkan percikan lidah api.

Sebagai mana dilukiskan al-Hallaj lewat perlambangan yang agak absurd namun dahsyat ini: “Aku mengisap samudera keabadian yang dalam, karena ia yang mencapai Titik Primordial akan menyusuri tepian laut malam hari; membiarkan diri digaram olehnya, berguling dalam debu-debu api. Sayang, ia tiba-tiba menghilang dari pandanganku, dan aku melihat sekawanan burung bertebaran di tubuhnya; terbang dengan dua sayap batinnya. Sayang, ia tak percaya apa yang aku katakan; ia lebih memilih terus terbang hingga di kejauhan malam”.

Di tengah samudera yang kelam, bayangan ke hitam-hitaman seakan datang menerjang, dan sang petualang pun berkata: “Aku terbang dengan kepak sayapku, nuju Kekasihku. O, karena tak satu pun menyerupai Ia, lalu ia pun roboh; terjungkal dalam laut pemaknaan, tenggelam. Ia bertanya kepadaku soal kesucian, kujawab: retakkan sayap-sayapmu dengan pedang kefanaan. Bila tidak, jangan berharap ikut aku.”

Mari kita renungkan juga permadani kata yang diucapkan al-Hallaj ini: “Keagungan bagi Tuhan yang Mahasuci, Ia yang takkan pernah terjangkau ajaran-ajaran para ahli makrifat, bahkan intuisi para Rasulullah yang menerima wahyu suci sekali pun”. Atau, seperti kritiknya tentang dikotomi “orang awam” dan “orang terpilih” sebagai apa yang disebutnya dengan jalan ke “lorong-lorong waktu dari apa yang mereka tempuh itu ternyata lenyap; dualitas itu pun kabur, dua tonggak itu pun lebur, dua dunia keadaan itu pun hancur; dan segala bukti dan makrifat pun habis-kikis-tak berbekas!”

Dalam kitab at-tawasin bab ”Misbah Kenabian” terjemahan Muhammad Al-Fayyadl, al-Hallaj melukiskan Muhammad sebagai “substansinya cahaya, dawuhnya profetik, makrifatnya surgawi, bentuk ekspresinya berlogat Arab, bangsanya ‘bukanlah Timur atau Barat.’” itulah bangsa yang ”non-tempat”. Sebuah pandangan yang menarik dibandingkan dengan ungkapan Nietzsche yang ditulis belakangan dalam Penari Jagatnya, yang tidak lagi terikat pada suatu tempat saja, melainkan dengan ringan memutar dan beralih dari satu posisi ke posisi lain. Dan inilah yang dicari Nietzsche: Tuhan yang menari.

Penari Jagatnya Nietzsche, kata Huston Smith dalam Agama-Agama Dunia, adalah sang Warga Dunia itu, yang mengingatkan kita pada Descartes yang tetap akan menjadi putra kandung dari kebudayaan yang melahirkannya, tetapi ia akan mempunyai hubungan darah dengan semua kebudayaan yang ada. Bukan Barat bukan Timur, inilah warga dunia yang belum sempat terwujud kendati telah lama jadi impian para penyair dan kaum sufi.
___________________
Asarpin lahir dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung, dengan skripsi berjudul Magi dan Religi dalam Pendekatan Fenomenologi. Selama kuliah, aktif berorganisasi di lingkungan internal kampus, dan suka baca buku religi, filsafat, dan sastra. Belakangan mulai tertarik dengan buku-buku sains.

Setelah kuliah, pernah hijrah ke Jakarta. Di kota banjir dan rawan penggusuran ini sempat magang di kampung kaum miskin kota dalam rangka pelatihan Pendampingan Komunitas Miskin Perkotaan yang dikoordinir oleh Urban Poor Consortium (UPC) Jakarta. Setelah magang kemudian bergabung dengan UPC dan sempat menjadi staf Litbang selama tiga tahun (2002-2005).

Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Pernah memimpin beberapa kali demonstrasi bersama kaum miskin di Jakarta dan di Lampung.

Tahun 2008 diundang Kepala Kantor Bahasa Propinsi Lampung sebagai penyaji tentang apresiasi sastra dalam rangka Kemah Sastra Siswa dan Guru SMA Se-Propinsi Lampung. Tahun 2009 mengikuti program penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) untuk genre Esai. Terakhir sebagai pembicara pada ”Temu Sastra Nusantara MPU—V” 1-3 Oktober 2010” di Taman Budaya, Lampung.

Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post dan Radar Lampung, serta sesekali menulis tinjauan buku di media lokal dan nasional. Di antara esai-esai yang pernah dipublisir, sebagian diterbitkan kembali di buku ini dengan sejumlah revisi.

Karya yang telah diterbitkan adalah Cerita-cerita Jak Bandar Negeri Semuong (BE Press, Bandarlampung, 2009), yaitu buku kumpulan cerpen berbahasa Lampung. Buku ini meraih penghargaan Sastra Rancage dari Yayasan Rancage Bandung tahun 2010. Menulis beberapa puisi yang tidakpernah diterbitkan. Juga beberapa cerita pendek dan cerita panjang yang masih terus dalam pengolahan. Sumber: http://asarpin.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez