(Suatu Tinjauan Eskatologis)
Dr. Muhammad Abdullah, M.A.
http://lembahsastra.blogspot.com/
ABSTRAK
Salah setunggaling karya budaya Jawi ingkang kalebet karya Sastra Jawa Pesisir inggih punika Sastra Syi’ir. Wonten ing lingkungan pesantren syi’ir kalebet satunggaling karya sastra pesantren ingkang taksih kathah ingkang remen maos utawi midhangetaken waosanipun. Bab punika saget dipun pahami sebab Syi’ir menika suraosipun kathah manfaatipun kagem sanak kadang santri ingkang remen kaliyan budaya Jawi pesisir punika.
Karya sasra pesantren sanesipun ingkang ugi kathah ingkang remen ingih punika karya-karya kados (1) puji-pujian, (2) hagiography, (3) al-barzanji, (4) wirid, (5) hizb, lan ugi (6) wifiq. Hizb, wirid, lan wifiq menika satungaling karya sastra pesantren ingkang suraosipun ngemu bab mantra-mantra lan jampi-jampi kagem pengasihan lan kadigdayan kawula muda santri. Kadosto naskah-naskah bab masalah rohaniah (spiritual dimension of manuscript) ing lingkungan tradisi pesantren tradition, umpami (1) hizb nashar, (2) Hizb Nawawi, (3) Hiz Bahri, (4) Hizb Bukhari, lan (5)Hizb Ghazali.
Setunggaling Syi’ir ingkang kathah dipun waos ingih punika Syi’ir Erang-erang Sekar Panjang anggitanipun Kyai Siraj Payaman Magelang. Syi’ir aksara pegon menika isinipun mertelakaken bab kahananipun gesang lan siksa wonten akhirat. Umpaminipun Bab Rupane Ula (the existence of snake), Bab Melicete Kulit, Bab Mangsane Tunggeng, Bab Siksa Kubur, Bab Kamulyan ing Suwarga, lan, Bab Siksane Neraka. Sdaya bab sawau dipun terangaken anthi gamblang dipun awiti saking babagan siksa kubur gantos kahanan ngagesang wonten ing suwarga lan siksa neraka.
1. Sastra Syi’ir
Salah satu jenis karya Sastra Jawa Pesisir yang berkembang di lingkungan pondok pesantren adalah lahirnya apa yang disebut sebagai sastra pesantren. Yang dimaksud dengan istilah sastra pesantren adalah kumpulan karya sastra kitab (sastra keagamaan) karya sastra lisan, dan sastra syi’ir yang lahir dan berkembang di lingkungan pesantren, baik masalah menyangkut ajaran yang bersifat dogmatis-ritual maupun ajaran yang bersifat rasional-spiritual. Di antara ciri-ciri sastra pesantren itu adalah (1) sastra pesantren biasanya berbahasa Arab dan bertuliskan Arab, (2) adakalanya sastra pesantren itu berbahasa Jawa baru dengan tulisan Arab-pegon, (3) lahir dan berkembang lebih kurang awal abad ke-19-an, dan berkembang pesat sekitar abad ke-19 hingga abad ke 20-an, (4) sastra pesantren berupa tradisi lisan dan tradisi tulisan, yang berisi ajaran-ajaran moral, fiqh, tauhid, tasawuf, teologi, dan karya-karya syi’ir, nasyid dan lain-lain, (5) biasanya sastra pesantren dibaca dalam halaqah ilmiah, upacara ritual tertentu dan kadang dipertunjukkan sebagai performing-art, dan (6) sastra pesantren juga sedikit banyak terpengaruh sastra Timur Tengah, sastra Arab atau sastra Parsi ( lihat, Basuki, 1989; Abdullah, 1996; Thohir, 1997).
Salah satu aspek sastra pesantren adalah sastra keagamaan yang berisi doa-doa. Doa-doa yang sering dibaca di lingkungan pesantren itu adalah karya sastra yang termasuk kategori wirid, hizb, dan wifik. Doa-doa itu biasanya berupa doa ma’tsurat, yaitu doa-doa yang diajarkan Nabi SAW lewat berbagai hadis sahih. Jenis karya sastra ini dalam lingkungan akademis jarang diteliti orang. Hal ini karena karya sastra pesantren yang satu ini dianggap bagian dari rahasia “perdukunan” di lingkungan kyai dan pesantren tradisional pada umumnya.
Di antara karya sastra pesantren yang berupa karya sastra tulisan dan lisan adalah naskah Manakib Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani, Naskah Al-Barzanji, Nadlaman, Nashar, Qasidah Burdah, Syi’ir, wirid, hizb, wifik dan rajah. Teks-teks sastra semacam itu adakalanya dibaca pada acara-acara ritual keagamaan, seperti upacara kelahiran, khitanan, dan hajatan lainnya. Dalam acara-acara ritual itu teks-teks karya sastra itu sering dibaca dalam pertunjukan yang diiringi musik rebana sebagai performing-art. Sebagai sarana komunikasi antara manusia dan Tuhannya, bacaan wirid dan doa-doa itu sekaligus berfungsi sebagai sarana ibadah dan ikhtiar mempertahankan diri dalam masyarakat agar tetap hidup (survive) dan menjaga, melestarikan eksistensinya menghadapi berbagai tantangan zaman. Kalau wirid dan hizb berisi tentang mantera dan doa, maka sastra syi’ir pesantren berupa puisi Jawa yang berisi ajaran moral, tuntunan ibadah, nasehat-nasehat untuk berumah tangga, dan kabar tentang hari akhirat.
Meskipun penelitian sastra Jawa sudah banyak dilakukan orang, namun tidak demikian halnya dengan karya sastra jenis Syi’ir. Selama ini jenis sastra Syi’ir kurang diminati para peneliti. Hal ini terbukti dari berbagai penelitian sastra Jawa yang dilakukan para ahli seperti Poerbatjaraka dan Tardjan Hadidjaja (1952), Padmosoekotjo (1960), Ras (1985), Zoetmulder (1983), Subalidinata (1996), Nielsmulder (1986), tidak membicarakan tentang sastra syi’ir. Anehnya lagi, dalam berbagai katalogus naskah Jawa seperti Katalogus Pigeaud (1973), Katalog Girardet (1983), dan Katalog Behrend (1993) tidak ditemukan catatan tentang syi’ir (Jawa : Singir). Penelitian akademis tentrang syi’ir pun masih bisa dihitung dengan jari tangan. Karya-karya itu misalnya skripsi S-1 (Muayyanah, 1996; Saifuddin, 1997), dan sebuah tesis S-2 (Muzakka, 1999).
Hasil inventarisasi yang dilakukan oleh Museum Pusat Jakarta tentang karya sastra syi’ir hanya meng-cover empat buah syi’ir (Soewignjo dan Wirawangsa, 1920 :318). Meskipun demikian, sampai saat ini tampaknya belum ada usaha penelitian lanjutan yang merekan sejumlah naskah syi’ir di kalangan pesantren. Kurang tahu persis, mengapa penelitian tentang syi’ir masih rendah peminatnya. Barangkali karena kurangnya sosialisasi dan publikasi karya syi’ir secara umum. Untuk menjawab persoalan ini, maka sangat dirasa penting penyunyingan dan penerbitan naskah syi’ir untuk konsumsi masyarakat akademis dan masyarakat pada umumnya.
Alasan yang kuat perlunya penelitian terhadap syi’ir ini adalah (1) naskah-naskah syi’ir belum banyak diungkap para filolog, hingga banyak yang terlantar, (2) dari aspek isinya, naskah syi’ir ini banyak berisi nasehat, pendidikan dan ajaran moral sehingga akan banyak manfaatnya untuk masyarakat modern sekarang ini yang mulai mengalami dekadensi moral dengan maraknya sikap permisif dan anarkhis, dan (3) untuk menyelamatkan aset pesantren yang bernilai tinggi berupa ajaran akhlak dan ajaran ruhaniyah (spiritual) yang tertuang dalam bentuk syi’ir.
Sebagaimana fungsi karya sastra yang lain, maka sastra syi’ir juga memiliki fungsi yang cukup signifikan, yaitu sebagai sarana pendidikan moral yang sangat bermanfaat bagi pembaca. Di samping itu, manfaat syi’ir dalam masyarakat santri adalah sebagai hiburan yang mengasikkan, sambil tetap menjaga zikir kepada Allah SWT. Dengan kata lain, menurut Horatius sebuah karya sastra yang baik akan mengandung nilai dulce et utile, maka syi’ir memilii nilai bermanfaat dan sekaligus menyenangkan. Hal ini mengisaratkan bahwa karya sastra haruslah dipahami dengan konteks sosial budayanya sebagai fungsi estetik sastra yang tidak lepas dari fungsi sosialnya (Teeuw, 1984: 183). Dengan demikian, sastra syi’ir pesantren sebagaimana yang berkembang di dalam komunitasnya, merupakan karya estetis yang berfungsi sosial kuat sebagai wahana komunikasi dan bersosialisasi tentang nilai-nilai Islam.
Di samping naskah-naskah berisi doa seperti hizb, wirid, dan wifik, dalam sastra pesantren berkembang juga karya-karya sastra lokal yang berupa syi’ir. Dalam tradisi sastra Jawa syi’ir termasuk genre sastra yang tidak banyak menarik para peneliti, baik peneliti sastra maupun para filolog, padahal dari segi kuantitasnya karya syi’ir ini cukup besar jumlahnya. Misalnya Syi’ir Erang-erang Skar Panjang, Syi’ir Laki Rabi, Syi’ir Siti Fatimah, Syi’ir Paras Rasul, Syi’ir Dagang, Syi’ir Tajwij, Syi’ir Ngudi Susila dan lain-lain.
2. Syi’ir Erang-erang Sekar Panjang
Di antara naskah Syi’ir yang sering dibaca di kalangan santri adalah Syi’ir Erang-erang Sekar Panjang. Syi’ir Erang-erang ini ditulis oleh Kyai Muhammad Siraj dari Payaman Magelang ditulis tahun 1822 M. Naskah Syi’ir Erang-erang sebagaimana syi’ir-syi’ir lainya ditulis dalam bahasa Jawa, dengan tulisan huruf Arab-Jawa (pegon) dengan tulisan dalam ukuran kecil. Naskah Syi’ir yang terdiri atas 24 halaman ini berbentuk puisi yang terbagi ke dalam beberapa subjudul (bab). Bab pertama berjudul Bab Rupane Ula (Bab Wujudnya Ular), kedua Bab Mlicete Kulit (Bab Terkelupasnya Kulit), ketiga Bab Mangsane Tunggeng (Bab Musimnya Kala Jengking), dan seterusnya.
Secara garis besar Naskah ini berisi nasehat keagamaan, terutama nasehat untuk menjaga akidah Islamiyah, menjalankan amal saleh, janji Allah di bagi ahli ibadah, dan tentang eksistensi hari akhir, khususnya siksaan di neraka dan pahala di surga. Di sinilah Kyai Siraj ingin menjadikan agama benar-benar sebagai nasihat bagi manusia, sebagaimana sabda nabi SAW, “ad-dinu na-sihah” (Agama, Islam, itu sesungguhnya sebuah nasihat yang mulia). Dengan kata lain, naskah Syi’ir Erang-erang ini menceritakan kehidupan sesudah mati, alam akhirat, baik siksaan di alam kubur, siksaan di neraka, bahagianya tinggal di surga, janji Allah bagi yang melanggar hukum-hukumnya, sampai kisah pisahnya harta kekayaan dengan si pemiliknya. Kisah ini diceritakan demikian detil, sehingga setiap orang yang membaca teks ini seakan-akan terbawa ke alam akhirat. Alam keabadian yang memberikan tempat bagi manusia untuk memetik buah perbuatannya waktu mengarungi hidup di dunia. Orang-orang yang beramal baik akan mendapatkan balasan surga jannatun na’im, sedang orang yang ingkar kepada kebenaran, akan mendapat tempat pembalasan di neraka.
Penelitian ini berusaha menjawab masalah-masalah sebagai berikut :
2.1 Secara kualitas maupun kuantitas karya sastra Jawa pesantren, seperti jenis Syi’ir sesungguhnya cukup signifikan perkembangannya. Namun, mengapa karya sastra dalam bentuk syi’ir, khususnya naskah syi’ir Erang-erang Sekar Panjang belum diteliti secara akademis? Bukankah naskah-naskah seperti itu justru menarik untuk disunting teksnya?
2.2 Bagaimana sesungguhnya doktrin eskatologis (kehidupan akhirat) yang terdapat dalam teks Syi’ir Erang-erang Sekar Panjang. Artinya, bagaimana konsep kehidupan sesudah mati menurut Syi’ir tersebut? Adakah relevansi nilai-nilai eskatologis tersebut dengan kehidupan masa kini ?
2.3 Bagaimana sebetulnya secara lengkap isi teks syi’ir Erang-erang Sekar Panjang? Apa sebetulnya isi cerita eskatologis yang terdapat dalam naskah Erang-erang Sekar Panjang itu?
2.4 Mengapa aspek-aspek eskatologis dalam teks Syi’ir Erang-erang ini sangat menonjol ? Apakah maksud yang implisit dari pesan-pesan eskatologi dalam teks syi’ir tersebut?
Alasan yang kuat perlunya penelitian terhadap syi’ir ini adalah (1) naskah-naskah syi’ir belum banyak diungkap para filolog, hingga banyak yang terlantar, (2) dari aspek isinya, baskah syi’ir ini banyak berisi nasehat, pendidikan dan ajaran moral sehingga akan banyak manfaatnya untuk masyarakat modern sekarang ini yang mulai mengalami dekadensi moral dengan maraknya sikap permisif dan anarkhis, dan (3) untuk menyelamatkan aset pesantren yang bernilai tinggi berupa ajaran akhlak dan ajaran ruhaniyah (spiritual) yang tertuang dalam bentuk syi’ir.
Sebagaimana fungsi karya sastra yang lain, maka sastra syi’ir juga memiliki fungsi yang cukup signifikan, yaitu sebagai sarana pendidikan moral yang sangat bermanfaat bagi pembaca. Di samping itu, manfaat syi’ir dalam masyarakat santri adalah sebagai hiburan yang mengasikkan, sambil tetap menjaga zikir kepada Allah SWT. Dengan kata lain, menurut Horatius sebuah karya sastra yang baik akan mengandung nilai dulce et utile, maka syi’ir memilii nilai bermanfaat dan sekaligus menyenangkan. Hal ini mengisaratkan bahwa karya sastra haruslah dipahami dengan konteks sosial budayanya sebagai fungsi estetik sastra yang tidak lepas dari fungsi sosialnya (Teeuw, 1984: 183). Dengan demikian, sastra syi’ir pesantren sebagaimana yang berkembang di dalam komunitasnya, merupakan karya estetis yang berfungsi sosial kuat sebagai wahana komunikasi dan bersosialisasi tentang nilai-nilai Islam.
Untuk menunjang masukan informasi data, maka penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode; (1) metode filologi sebagai metode penggarapan teks yang akan melahirkan hasil suntingan teks, (2) metode Tinjauan Pustaka, untuk analisis isi teks yang mengungkap makna eskatologis dalam syi’ir Erang-erang, dan (3) metode penelitian lapangan, untuk mengetahui praktek pembacaan naskah.
Metode Studi Pustaka dipakai untuk menganalisis isi teks Erang-erang Sekar Panjang, terutama yang berisi aspek eskatologisnya. Pembahasan tentang aspek eskatologi akan diperkaya dengan berbagai referensi, yang mengacu kepada filsafat eskatologi dan doktrin eskatologis dalam agama Islam. Hal ini dirasa penting untuk menambah cakrawala baru dalam telaah isi teksnya.
Untuk mendapatkan gambaran model pembacaan teks, maka penting dilakukan studi lapangan, mengadakan observasi dan pengamatan langsung tentang praktek pembacaan syi’ir. Metode yang digunakan adalah metode raport research. Yaitu peneliti berusaha terlibat langsung dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pembacanya dan meneliti bagaimana proses estetika pembacaan dalam masyarakat pedukungnya berlangsung. Tinjauan lapangan dilakukan pondok pesantren di Kaliwungu Kendal dan di Pondok Pesantren Payaman Kabupaten Magelang.
3. Aspek Eskatologi Syi’ir Erang-erang Sekar Panjang
Eskatology adalah alam kehidupan manusia sesudah mati, atau dengan bahasa agama disebut kehidupan akhirat. Kematian adalah awal dari kehidupan yang sesunguhnya. Jika kalangan filsuf klasik seperti Karl Marx (1818-1883), Sigmund Freud (1856-1939), Jean-Paul Sartre (1905-1980) memaknai kematian hanya dengan pendekatan rasionalitas-ilmiah, maka mereka akan ‘gagal’ memaknai dan memberkan definisi kematian yang sesunguhnya. Apalagi para filsuf itu hanya berhenti pada kesimpulan bahwa kematian adalah akhir dari segalanya (Sibawaihi, 2004:77).
Karena itu bagi kaum posititifistik itu tidak ada konsep kehidupan akhirat, atau hidup sesudah mati. Berbeda dengan kaum yang beriman, karena kehidupan akhirat bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir atau hari kiyamat (lihat QS Al-Baqarah 2 : 8), diyakini benar-benar ada. Bahkan diyakni sebagai kehidupan yang sebenarnya bagi manusia. Itulah sebabnya Al-Ghazali mengatakan bahwa setelah kematian yang keda (tercerabutnya nyawa dari badan), akan ada lagi kehidupan yang ketiga, yang merupakan kehidupan abadi, yaitu kehidupan akhirat. Kematian yang kedua bagi Al-Ghazali adalah merupakan “Kiamat Kecil” (al-Qiyamah As-Sughra), sebagaimana hadis Nabi SAW, “Siapa yang meninggal dunia, maka kiamatnya telah bangkit” (Al-Ghazali dalam Sibawaihi, 2004: 79).
Karena kehidupan di dunia ini hanyalah kehidupan semu atau nisbi. Kehidupan akhirat itulah tempat disampaikan pembalasan bagi amal perbuatan manusia waktu di dunia. Jika amal perbuatannya baik (shaleh), maka mereka akan dibalas dengan kehidupan lebih baik di akhirat, yaitu surga sebagai pemabalasannya. Sebaliknya jika manusia beramal jahat (sayyiah), maka balasan mereka di akhirat adalah tempat pejara, yaitu neraka jahannam. Itulah sebabnya hari akhirat itu juga disebut hari pembalasan. Maka “Barangsiapa yang beramal kebaikan sebesar zarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya, dan barang siapa mengerjakan amal kejahatan sebesar zarrah pun maka niscaya mereka akan melihat balasannya pula (QS. Zalzalah 99 : 7-8).
Dalam teologi Islam klasik diajarkan bahwa sesungguhnya siksa kubur sungguh-sunguh adanya. Sebagai contoh adanya siksa di alam kubur (alam barzah) yang akan dirasakan manusia oleh orang-orang yang waktu di dunia banyak berbuat dosa. Mereka akan ditanya oleh malaikat penjaga kubur, yaitu Mungkar dan Nakir. Hal ini jga tersebut dalam naskah Durrat Al-Faraid karya terjemahan Ar-Raniri :
Yakni kita I’tiqadkan bahwasanya ditanyai malaikat yang bernama Mungkar dan Nakir itu sebenarnya seperti firman Allah ta’ala Yu£abitu All?hu al-la??na ?man? bil qauli al-£?biti.Yakni ditetapkan Allah maka mereka itu tetaplah percaya akan Allah ta’ala dengan kata yang tetap bahwa ayat ini diturunkan Allah ta’ala pada menyatakan siksa kubur. Apabila ditanyakan segala yang mati dalam kuburnya, maka datang dua orang malaikat hitam warna keduanya dan biru matanya bernama Mungkar dan Nakir. Maka ditanyai oleh keduanya mayit itu, man rabbuka wam? d?nuka wam? Nabiyyuka. Artinnya, siapa Tuhanmu, dan apa agamamu, dan siapa Nabimu. Maka dijawab mayit itu, Allah rabb?, wad?nul-Isl?m wa Nabi Muhammad alaihissalam jua. Inilah kata yang tetap yang tersebut dalam kitab itu. Da sabda Nabi ‘alaihissal?m, alqabru ruhatan min riya«il jannati au hafratun an-nirani. Yakni kubur itu suatu kebun daripada kebun surga atau liyang daripada liyang neraka. Adapun soal siksanya itu adalah ia pada segala yang mati karam dalam air atau dimakan binatang buas dalam pertanya yang disalakannya. Dan jikalau tiada kita ketahui segala ‘ajaib perintahnya dan indah-indah hukumnya (naskah A halaman 61).
Dalam kitab Asr?r Al-Ins?n F? MA’rifa al-R?h wa Ar-Ra¥m?n karya Syeikh Nurudin Ar-Raniri (lihat, disertasi Tudjimah, 1961) dijelaskan bahwa qalb, fuad, dan ruh sesungguhnya muaranya adalah ruh. Jadi ruh yang merupakan celupan dari Allah SWT (sibghoh Allah) itu sebenarnya yang dapat diajak bersilaturahmi dengan baik. Silaturahmi ruhaniah itu dapat terjadi pada orang yang masih hidup maupun orang yang telah mati.
Dalam diri manusia sesungguhnya tergabung dua alam sekaligus, yaitu alam nasut dan alam malakut. Untuk menyederhanakan, alam nasut adalah alam material kita, yaitu alam yang bisa kita rasakan dan alam yang bisa kita persepsi dengan alat-alat indera kita, seperti jasad kita, anggota badan kita. Sedang ruh kita termasuk ke dalam alam malakut. Semakin tertarik manusia dengan alam nasut, maka makin sibuk dia dengan materi duniawi. Makin tertarik dia dengan alam material, makin lepas dia dengan alam malakut. Maka orang-orang yang sedang melakukan silaturahmi, sedang ziarah, tubuh-tubuh mereka berada di alam nasut, tetapi ruhnya berada di alam malakut. Artinya, kalau kita mengadakan silaturahmi, halal bihalal, ziarah, atau syawalan, ruh kita akan bersilaturahmi dengan ruh kaum muslim lainnya.
Dalam prakteknya, bisa jadi seseorang bersilaturahmi secara nyata di alam nasut, tetapi di alam malakut ruhnya tidak bersilaturahmi. Sebaliknya, boleh jadi ada orang yang tidak pernah berjumpa secara fisikal, tetapi di antara mereka ada jalinan silaturahmi yang sangat kental seperti sudah diperkenalkan jauh sebelumnya. Contohnya, Kalau kita mengadakan acara halal bihalal, kemudian kita bersalam-salaman. Yang satu mengatakan, “Mohon maaf lahir dan batin”. Kemudian yang lain menjawab, “Sama-sama mohon maaf lahir dan batin”. Boleh jadi di dalam hati masing-masing masih tersimpan rasa dendam, dan tidak mau memaafkan orang itu. Sehingga seringkali orang bersilaturahim di alam nasut, tapi di alam malakut ruhnya tidak ikut bersilaturahim.
Di alam malakut ada dua kafilah ruhaniah. Satu kafilah ruhani yang sedang bergerak menuju ke Allah SWT, dan yang satu lagi kafilah yang menjauhi Allah SWT. Pendeknya, satu kafilah yang sedang meninggalkan tanah liat menuju Allah SWT, dan satu lagi kafilah ruhani yang meninggalkan cahaya Allah SWT menuju kegelapan yang gelap gulita. Nah, essensi syawalan adalah perjalanan kafilah ruhaniah yang sedang bergerak bersilaturahmi unsure tanah liat melewati ruh-ruh orang suci menuju kepada keridhaan Allah SWT.
Al-kisah ada sebuah riwayat yang dikutip Imam Bukhari, bahwa pernah ada beberapa orang sahabat Nabi yang mendatangani suatu tempat, tetapi mereka tidak menduga bahwa tempat itu adalah kuburan. Kemudian mereka hamparkan jubah untuk tempat istirahat di tempat itu. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka mendengar ada suara orang sedang membaca surah Al-Kahfi (kalau tidak salah). Dia terkejut, dan ia mendengarkan bacaan itu sampai selesai. Kemudian dia sampaikan peristiwa itu kepada Rasulullah SAW. Lalu kata Rasulullah SAW, “Dia sedang membaca sesuatu yang bisa mencegahnya dari azab kubur”. Nabi tidak mengatakan bahwa hal itu adalah tahayyul, bid’ah atau musyrik. Justru Nabi malah membenarkannya. Hal ini merupakan legitimasi dari Nabi SAW, bahwa ruh orang-orang suci itu masih tetap beribadah bahkan di alam barzah sekalipun. Hubungkanlah silaturahmi kita dengan kafilah ruhani orang-orang suci supaya kita diperkuat, supaya mereka membantu kita dengan doa-doa mustajab mereka.
Nah, ketika kita berziarah ke makam para ulama dan kyai yang suci, kita harus bayangkan bahwa di balik kubur itu ada rombongan ruh-ruh orang suci. Kita hanya bisa membayangkan, karena kita di alam nasut. Bayangkan bahwa di alam malakut itu ada rombongan ruhani orang-orang suci, termasuk yang masih hidup. Semua bergabung ke dalam satu kafilah. Nabi SAW pernah bersabda, “Para ruh di alam malakut itu seperti tentara yang dipertemukan. Kalau mereka saling mengenal, maka mereka saling berpelukan. Tetapi kalau mereka tidak saling mengenal, mereka saling bertengkar di alam ruh itu” (lihat, Jalaluddin Rakhmat dalam Renungan Sufistik, 1994: 87).
Oleh karena itu, agar ruh kita dapat bergabung dengan ruh-ruh orang yang suci, maka ucapkanlah salam kepada mereka secara khusus, dan salamnya langsung tidak dititipkan. Misalnya, Assal?mu’alaikum y? ahlil kub?r. Karena itu, ketika salat kita diperintahkan agar kita ucapkan salam kepada pimpinan tertinggi kafilah itu, yaitu Nabi Muhammad SAW, Assal?mu’alaika ayyuhannabiyyu wa rahmatull?hi wa barak?tuh. Maka kita tidak mengucapkan salam kepada Nabi itu dengan assal?mu’alaihi.
Dalam teks syi’ir Erang-erang Sekar Panjang, balasan perbuatan manusia itu digambarkan dengan ancaman hukuman berat di neraka bagi yang mengingkari perintahn Tuhan, dan balasan indah di surga bagi manusia yang beramal kebaktian waktu di dunia. Hal itu tertulis dalam bait Bab Rupane Ula untuk memberikan hukuman dan siksaan bagi orang-orang kafir yang tak beriman.
“Gedene ula iku, padha karo glugu aren
Nggane ngerah ula iku, tanpa nganggo leren-leren
Anane ula iku, duwe rupa amedeni
Endhas buthak nganggo jamang, pating selingkap anggembili
Anane gembiline kanggo wadahe upase
Upase kanggo nyembur, kanggo nambahi siksane
Sak wise dha disembur, banjur abuh nggegilani
Sak wuse padha abuh, mecah nanah njejelihi
Gusti Allah amaringi udan lenga luwih panas
Panase lenga iku, ngungkuli katimbang upas
Sak wise kena kulit mangka nuli enggal melicet,
Melicete kulit iku seka sirah tekan kencet.
(Erang-erang halaman 1-2).
Sebaliknya, bagi ahli ibadah dan ahli kebaikan waktu di dunia, mereka akan mendapat balasan di hari akhirat bdengan tempat balasan yang indah di surga. Digambarkan bdalam Syi’ir Erang-erang bahwa kehidupan di surga penuh dengan kesenangan dan kenikmatan. Misalnya mereka dijamu dengan berbagai makanan enak dan bidadari yang cantik-cantik. Digambarkan dalam Bab Besane Widadari,
Besane widadari kanggo seneng para priya
Senenge para priya kanggo liru susah dunya
Besane sang widadari edine tan kira-kira
Supayane bisa banget bungahe sang para priya
(Erang-erang halaman 10).
Perhatikan ketipan teks yang menggambarkan kebahagiaan kehidupan surga di bawah ini : Bab Mulyane Suwarga
Lamun sira bisa mekak, ing karepe hawanira
Mangka temen sira iku manggon taman suwarga
Rasane ana suwarga luwih banget nggone mulya
Sandhang pangan ora kurang, ora mati ora nelangsa
Olehe manggon suwarga tanpa nganggo wewangenan
Miturut dhawuhe Allah kang kesebut ana Quran
Suwarga ora ana sak liyane kasenengan
Saben wektu ora ana sak liyane pengantenan
Sak wuse pengantenan, nuli padha pepelesiran
Nggone pelesir sak karepe, lamun nunggang tanpa sedwa
Gusti Allah nggone cawis kanggo seneng kawulane
Aja ngasi kang diseja, endadekake nyang gelane
Terjemahan:
Bab Kebahagiaan di Surga
Hendaklah kalian semua perhatikan waktu mencari kebahagiaan
Untuk meraih kesenangan setelah akhir zaman
Tidak akan kalian itu bisa senang dan bisa bahagia
Jika kalian tidak mau mengikuti perintah Tuhan yang Kuasa
Jika saudara sekalian dapat menahan atas semua hawa nafsumu
Maka sungguh kalian akan dapat tinggal di taman surga
Rasanya hidup di surga sungguh sangat membahagiakanmu
Pakaian dan makanan tidak pernah kurang, tidak mati dan tidak sengsara
Maka tingal di surga itu tanpa pakai perhitungan
Menurut perintah Allah yang disebutkan dalam kitab Al-Quran
Di surga tiada kesedihan, selain hanya kesenangan
Setiap waktu tiada lain, selain menjadi temanten baru
Setelah menjadi penganten baru, maka kemudian mereka bertamasya
Mereka akan bertamsya sekehendaknya, mengggunakan endaraan tanpa sewa
Gusti Allah memang menyediakan semuanya untuk kebahagiaan hamba-Nya
Jangan sampai yang dituju menjadikan penyesalan di kelak kemudian hari
DAFTAR PUSTAKA:
Abdullah, Muhammad, 1992. Kesenian Blantenan : Kesenian Tradisional Dalam Tradisi Pesantren di Kaliwungu Kendal. Semarang : Laporan Penelitian Lemlit UNDIP.
_________________, 1996. ” Puji-pujian : Tradisi Lisan Dalam sastra Pesantren” dalam WARTA ATL. Jakarta : Jurnal ATL.
Abdurrahman As-Suyuti, Jalaluddin, th Ar-Rahmah Fiththib wal Hikmah.
Ahmad, Abul Abbas, bin Ali Al-Buni, th Mamba’u Ushulul Hikmah.
Al-Ghazali, th Al-Munqid Minadzdzalal
____________, (tanpa tahun) . Al-Aufaq.
Al-Muthawwi, Jasim Muhammad. 2007. Hidup Sesudah Mati. Solo : Pustaka Arafah.
Azam, Abdullah, 1985. Ayatu Ar-Rahman Fi Jihad Al-Afghan. Kuala Lumpur : Mathb’ah Kazhim Dubai UEA.
Basuki, Anhari, 1988. “Sastra Pesantren” dalam Lembaran Sastra. Semarang : Fakultas Sastra UNDIP.
Hawwa, Said, 1996. Jalan Ruhani. Bandung : Mizan.
Mundzir, Muhammad Nadzir, (tanpa th). Singir Tajwij: Tanwiru ‘l-Qari’. Surabaya : Al-Ashriyah.
Muzakka, Moh. 1994. “Singiran : Sebuah Tradidsi Sastra Pesantren” dalam Hayam Wuruk No. 2 Th. IX.
Padmosoekotjo, S. 1960. Ngengrengan Kasusastraan Djawa. Yogyakarta: Hien Hoo sing.
Qurdi, Imam, (tanpa tahun). Tanwirul Qulub.
Singir Paras nabi. (tanpa th). Surabaya : Maktabah Said bin Nubhan wa Auladihi.
Soewignyo, R. Poerwo dan R. Wirawangsa. 1920. Pratelan Kawontenaning Boekoe-boekoe Basa Djawi Tjitakaningkan Kasimpen Wonten ing Gedong Boekoe (Museum) ing Pasimpenan Bibliotheek XXXIII. Drukkerij Ruygrik and Co.
Sibawaihi, 2004. Eskatologi Al-Ghazali dan Fazlur Rahman : Studi Komparatif Epistemologi Klasik-Kontemporer. Yogyakarta : Penerbit Islamika.
Siraj, (anpa tahun). Syi’ir Erang-erang Sekar Panjang.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu sastra : Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya.
Tim IAIN, 1993. Ensiklopedi Islam. Jakarta : PT Ichtiar Baru van Hoeve.
Thohir, Mudjahirin, 1997. Inventarisasi Sastra Pesantren di Kaliwungu Kendal.
Semarang : Laporan Hasil Penelitian Lemlit UNDIP.
*) Fakultas Satra Universitas Diponegoro Email : abu_nilami@yahoo.co.id.
Dijumput dari: http://lembahsastra.blogspot.com/2008/12/syiir-erang-erang-sekar-panjang-sebuah.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Assalamualaikum kang... Panjenengan masih ada naskah singir para ulama lainya yang belum diteliti... Maturnuwon
BalasHapus