S.W. Teofani
http://sastra-indonesia.com/
Adalah masa di mana kebenaran menyatakan halnya. Kejujuran menunjukan adanya. Tak ada yang mampu menutupi meski pintu dari baja. Tak ada tempat tersembunyi meski ceruk paling ciut. Aku ingin bertanya, pernahkah kau menyimpan dusta? Kemudian mencari pembenaran-pembenaran untuk menipiskan dosa. Merangkai kelopak-kelopak makna yang bisa menutupinya. Bersembunyi pada diri supaya tak ada yang melihatnya.
Suatu ketika kau pun berkata, “Tak ada tempat bersembunyi paling rapi, kecuali kejujuran itu sendiri.”
Itulah yang merenggut seluruhku untuk bersunyi, mengasing dari setiap keakraban. Meninggalkan setiap pembicaraan yang akan membuat luka dan mencipta dusta. Karena luka telah menjadi sayat paling mengerikan, dusta telah menjadi hantu paling menakutkan. Aku pernah meluka, aku pernah berdusta. Luka itu kutebus dengan nyawa, dusta itu berbalas serupa. Tak ada ruang-ruang yang luput dari pembalasan atas dosa dan dusta yang menjadi utang hidup kita.
Malam itu adalah malam petaka. Aku mendapati seluruhku lunglai tanpa daya. Sebelumnya, tak pernah terlintas aku akan mengalami semua. Sejak menikah, aku dan suamiku adalah pasangan bertabur bahagia. Tak ada gadamala yang mengganggu mahligai suka. Kami membangun kastil di tepi hutan. Sebelum kelahiran buah cinta, hari-hari kami dipenuhi doa dan sukacita. Kami bagai sejoli yang berbulan madu begitu lama.
Delapan puluh purnama kami meminta, buah rasa datang juga. Bayi merah menjadi penutup segala resah. Yang mengabarkan cerita hidup kami masih panjang. Ada keturunan yang akan mengisahkan leluhurnya. Ada generasi yang menuturkan kakek buyutnya. Aku dan suamiku akan tersebut dalam silsilah yang dikenang sepanjang ruang yang terbentang. Kami merasa menjadi manusia yang paling diberkati di seluruh penjuru bumi.
Hidup memang bukan kereta yang berjalan lurus pada satu rel saja. Pencipta menuntun kita ke tempat-tempat tak terduga. Ke kisah-kisah tak tereka. Kehidupan menjadi petualangan panjang yang menagih kesabaran. Lalu kita akan tersucikan dengan keiklasan yang mata airnya tersembunyi di ceruk paling liang.
Pada tengah malam purnama aku terjaga. Saat kubuka mata, tak kudapati seorang jua. Suamiku tak ada di tempatnya. Anakku nihil dari pandang mata. Dengan gegas rasa, aku mencarinya. Kubuka setiap pintu yang ada. Hampa. Teriakku menggema. Kuberlari ke persada, tak kutemukan keduanya. Gundahku semakin saja.
Kutembus malam penuh cekam, antara sinar rembulan dan lolong srigala. Embun mulai membasahi rerumputan. Halimun mengadang pandang. Hawa dingin menusuk belulang. Aku mendekap diri dengan bimbang. Ke mana anak dan suamiku? Sekali lagi kuteriakan nama mereka. Diam tak ada sautan. Tinggal gema di malam buta. Aku menuju tepi desa, mungkinkah mereka ke sana? Mengapa aku tak diajak serta?
Kulintasi padang ilalang, disaksikah ketabahan rembulan. Cahayanya mengikuti setiap gerakku. Seperti mata yang menjadi saksi derita yang kubawa. Sebentar aku tengadah, menatap penuh harap pada bulatnya yang nanap.
“Rembulan…kau telah menyaksikan setiap tapak yang melintas di padang ilalang ini, di tepi hutan ini, dan di setiap sudut bumi. Kabarkan padaku ke manakah suami dan anakku pergi. Tuntun langkahku menemukannya.”
Aku mendapati tatapan rembulan penuh warta, tapi ku tak mampu membacanya.
Aku tertunduk takzim mengadu pada bumi.
“Bumi, kau menyangga kaki semua mahluk dengan penuh kesabaran, di bagian mana kedua cintaku kini kau papah?”
Bumi menenangkanku, dia memberi jawab, tapi aku tak mampu memahami bahasanya. Lalu aku bersimpuh, menekur pada doa paling dalam.
“Duhai Pemilik Rembulan, Penopang seluruh kehidupan, bimbing mata batinku menuju penyejuk hatiku, anak dan suamiku. Sebagaimana Engkau kumpulkan kami sebelum tidur, kumpulkanlah kembali kami dalam ridho-Mu.”
Munajatku lebih dalam dari panjangnya malam. Ditutun kekuatan pemilik semesta, kakiku melangkah, menuju perdu bergoyang. Tanganku gemetar, ada cemas penuh di sana, mengapa kakiku melangkah di tempat ini?
Telingaku mendengar rintih lirih. Degub jantungku berdetak lebih kencang.
“Ibu….Ibu…” Makin lama suara itu nyata.
“Putraku….” Tubuhku tersedot jasad lungai yang tergolek di belukar.
Aku mendekapnya, tubuhnya penuh luka, bercak darah di mana-mana. Kuciumi seluruh luka dan keelokan yang tersisa. Raungku tak terbendung.
“Ibu..,” suaranya lirih, lalu menghilang ditelan alam yang lengang. Suara terakhir sebelum tidur panjang.
Tangisku menjadi. Senggukku liar. Aku belai wajahnya yang pasi, matanya terkatub, saat hendak kupapah, sepotong tangannya jatuh. Aku menjerit… kupungut dengan sedan tak tentu.
“Robby….apa salah hambamu, mengapa kau biarkan anakku teraniaya. Siapa yang melakukannya.”
Aku bersimpuh dengan ratap penuh. Lalu tengadah, rembulan masih di sana. Kembali aku mengharap sinarnya.
“Rembulan… kau saksi setiap duka malam ini. Siapa yang melakukan ini pada anakku?”
Rembulan itu memberi jawab sempurna, yang tak kutahu maknanya.
Kupapah putra semata wayangku, kupungut tangannya. Dengan gontai kutembus rungkut belukar. Tiba-tiba kutersadar sesuatu, di mana suamiku?
Aku berjalan setengah terpejam. Tubuhku berpijak tak sempurna, melayang pun tak imbang. Aku terus berjalan, antara limbung dan bimbang. Kaki kananku mengantuk sesuatu. Kaki kiriku kembali tersaruk benda itu, kucoba melompatinya. Mataku menelisik, aku tak bisa menukar gusar.
“Suamiku….” Spontan kutubruk tubuh itu, tanpa melepas anakku. Dibantu sinar purnama, kudapati kepalanya yang terbelah dua. Aku tak tahan melihatnya. Tak sanggup lagi untuk berdiri. Tersimpuh di antara mayat orang-orang terkasih, anakku di pangkuan dan suami di hadapan.
“Mengapa aku tak sekalian?” pupus semua tandan kesabaran yang aku lempangkan. Wajahku terhambur di tubuh kaku itu. Senggukku saling buru. Hingga sedak dan isak menyesak dalam cerkau risau. Bunga sriwijaya mekar, menghantarkan semerbak di sekelilingku. Kurarasi geruh malam ini.
Satu-satu sedanku hilang. Kubiarakan kedua jasad itu kaku. Aku baringkan tubuh anakku di samping ayahnya. Aku menepi dari keduanya. Kuhela napas hingga tandas. Kupejam mata hingga lega. Parlahan kubuka, menatap rembulan di sunyi awan. Masih di tempatnya, dengan cerlang lebih terang. Aku ingin menangkap sasmita dari setiap pendarnya.
“Rembulan, terangi hatiku, dengan cahayamu. Cahaya yang dipancarkan dari Mahacahaya. Izinkan aku membaca isyarat-isyaratnya.”
Bulan itu tersenyum padaku, dengan sungging paling pilu. Setiap pesannya mengabarkan dendam yang terbalaskan. Aku mencoba mengingat helai-helai hitam yang pernah kutanam di masa silam, hingga kutuai segumpal cekam di malam jahanam. Kutatap bulat rembulan, piasnya merawikan laman-laman silam, pada masa yang hampir kulupakan.
Ibuku, wanita yang begitu mengasihiku, sebelum mengembuskan napas terakhir, berpesan. Wanita agung itu menitipkan tiga ekor kucing kesayangannya padaku. Betapa pun cintaku pada wanita yang melahirkanku, aku tak mungkin menjaga kucing-kucing itu. Tanpan sebab, aku sangat membencinya sejak ada. Rasa itu hadir begitu dahsyatnya. Jangankan memelihara, melihat pun aku tak suka.
Sebelum hari ketujuh kematian ibu, aku berjalan ke tepi hutan membawa anak beranak binatang itu. Pada rimbun yang lebat, kutinggalkan ketiganya. Aku pulang. Esoknya, kucing-kucing itu telah kembali. Di hati paling bening, aku merasa bersalah. Kusia-siakan amanah maula hidupku. Kucampakan binatang tak berdosa hanya karena tak suka yang membuta. Tapi rasa benciku menutup semua bisik suci. Kuulangi lagi esoknya, membawa ketiganya ke tempat berbeda. Tapi Tuhan memang menganugerahkan indera istimewa pada hewan kesayangan Rasul-Nya.
Lusanya, kucing-kucing itu kembali lagi. Aku ditawan kebencian tak tertawar. Hari-hariku menjadi rencana-rencana melenyapkan ketiganya. Hingga di sebuah malam purnama, di tepi hutan yang sepi, disaksikan sinar rembulan serupa, aku habisi ketiganya. Kupotong tangan anaknya, kubelah kepala bapaknya, sementara sang ibu lolos dari murka. Dia berlari saat aku kalap menghajar anak dan suaminya. Tapi sempat kutangkap matanya menetapku dengan pilu. Tersemat rasa bersalah yang sangat pada ibuku. Banyangnya hadir dengan hardik paling sengit. Tapi kekesalanku tandas malam itu. Amarahku bagai air menerobos tanggul.
Adakan malam itu induk kucing berdoa di hadapan sang rambulan yang sama. Lalu rembulan itu mencatat semua laranya menjadi dendam abadi pada tapa sunyi?
Kini aku menunduk, rembulan itu seperti mengutuk.
“Apa salah binatang itu. Adakah dia mengganggumu? Adakan dia menyusahkanmu. Dia hanya mengaharap sisa kasihmu. Tapi kau berikan segumpal dendam yang telah kusimpan pada catatan-catatan kehidupan.”
“Rembulan, adakan kucing itu dendam.” Hatiku gemuruh, andai pun dendam, itu adalah haknya. Tak malukah aku mengharap kucing itu ikhlas menerima bongkah amarahku yang picik itu. Sementara kubiarkan hatiku dirasuki murka.
Dengan muram rembulan mempertanyakan, “Apakah yang bisa dilakukannya atas dendam itu? Dia tak berdaya. Pada ketidakberdayaannya, Tuhanku-Tuhan kita, telah berjanji mengabulkan doanya. Dan aku, menjadi saksi setiap pintanya.”
“Adakah kau tahu perasaanku?” Entah mengapa aku masih mengiba.
“Adakah kau tahu perasaan binatang tak berdosa itu, serupa itulah perasaanya waktu itu.”
Ingatanku terpelanting saat aku begitu menggebu membunuh kucing-kucing polos itu. Aku merasa tak ada yang tahu. Sekalipun tahu, adakah yang menyalahkanku? Kemudian aku mempertanyakan pengakuan ke-Tuhananku, saat merasa tak ada saksi atas kekejianku. Kini tak kurasai apa pun, selain keperkasaan kekuatan tak terengkuh. Rembulan itu memancarkan pesan-pesan pada sabah yang terbaca makna.
“Tak ada yang sia-sia. Meski seberkas kau toreh luka, sebesar itu yang akan kau terima.”
Aku hanya menunduk, mengeja kecerobohan diri dengan telisik paling nyeri. Kusaksikan kepala suamiku yang hancur serupa kepala kuncing yang kubantai. Tangan anakku, tak beda tangan anak kucing yang kupatahkan. Aku merangkang. Mengumpulkan energi yang ada. Mengais buah kebencian masa silam. Sesalku tandas. Mengapa orang-orang terkasihku ikut serta pada dosaku? Semakin kurarai sesal, menggunung beban jiwaku. Tak ada yang bisa kulakukan, selain mengharap rinai ampunan.
Robbanna, dzolamna anfusana , failam taghfirlana, wa tarhamna lanakunaan minal khoisirin.
Ya…Tuhanku, sesungguhnya aku telah aniaya pada diriku. Seandainya Engkau tak mengampuni dan merahmatiku, maka aku adalah orang yang merugi.
Bandar Lampung, Maret 2010
S.W. Teofani, cerpenis tinggal di Lampung, telah menyelesaikan novel Shih-lifo-shih.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 04 Januari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar