Rabu, 04 Januari 2012

Dendam Rembulan

S.W. Teofani
http://sastra-indonesia.com/

Adalah masa di mana kebenaran menyatakan halnya. Kejujuran menunjukan adanya. Tak ada yang mampu menutupi meski pintu dari baja. Tak ada tempat tersembunyi meski ceruk paling ciut. Aku ingin bertanya, pernahkah kau menyimpan dusta? Kemudian mencari pembenaran-pembenaran untuk menipiskan dosa. Merangkai kelopak-kelopak makna yang bisa menutupinya. Bersembunyi pada diri supaya tak ada yang melihatnya.

Suatu ketika kau pun berkata, “Tak ada tempat bersembunyi paling rapi, kecuali kejujuran itu sendiri.”

Itulah yang merenggut seluruhku untuk bersunyi, mengasing dari setiap keakraban. Meninggalkan setiap pembicaraan yang akan membuat luka dan mencipta dusta. Karena luka telah menjadi sayat paling mengerikan, dusta telah menjadi hantu paling menakutkan. Aku pernah meluka, aku pernah berdusta. Luka itu kutebus dengan nyawa, dusta itu berbalas serupa. Tak ada ruang-ruang yang luput dari pembalasan atas dosa dan dusta yang menjadi utang hidup kita.

Malam itu adalah malam petaka. Aku mendapati seluruhku lunglai tanpa daya. Sebelumnya, tak pernah terlintas aku akan mengalami semua. Sejak menikah, aku dan suamiku adalah pasangan bertabur bahagia. Tak ada gadamala yang mengganggu mahligai suka. Kami membangun kastil di tepi hutan. Sebelum kelahiran buah cinta, hari-hari kami dipenuhi doa dan sukacita. Kami bagai sejoli yang berbulan madu begitu lama.

Delapan puluh purnama kami meminta, buah rasa datang juga. Bayi merah menjadi penutup segala resah. Yang mengabarkan cerita hidup kami masih panjang. Ada keturunan yang akan mengisahkan leluhurnya. Ada generasi yang menuturkan kakek buyutnya. Aku dan suamiku akan tersebut dalam silsilah yang dikenang sepanjang ruang yang terbentang. Kami merasa menjadi manusia yang paling diberkati di seluruh penjuru bumi.

Hidup memang bukan kereta yang berjalan lurus pada satu rel saja. Pencipta menuntun kita ke tempat-tempat tak terduga. Ke kisah-kisah tak tereka. Kehidupan menjadi petualangan panjang yang menagih kesabaran. Lalu kita akan tersucikan dengan keiklasan yang mata airnya tersembunyi di ceruk paling liang.

Pada tengah malam purnama aku terjaga. Saat kubuka mata, tak kudapati seorang jua. Suamiku tak ada di tempatnya. Anakku nihil dari pandang mata. Dengan gegas rasa, aku mencarinya. Kubuka setiap pintu yang ada. Hampa. Teriakku menggema. Kuberlari ke persada, tak kutemukan keduanya. Gundahku semakin saja.

Kutembus malam penuh cekam, antara sinar rembulan dan lolong srigala. Embun mulai membasahi rerumputan. Halimun mengadang pandang. Hawa dingin menusuk belulang. Aku mendekap diri dengan bimbang. Ke mana anak dan suamiku? Sekali lagi kuteriakan nama mereka. Diam tak ada sautan. Tinggal gema di malam buta. Aku menuju tepi desa, mungkinkah mereka ke sana? Mengapa aku tak diajak serta?

Kulintasi padang ilalang, disaksikah ketabahan rembulan. Cahayanya mengikuti setiap gerakku. Seperti mata yang menjadi saksi derita yang kubawa. Sebentar aku tengadah, menatap penuh harap pada bulatnya yang nanap.

“Rembulan…kau telah menyaksikan setiap tapak yang melintas di padang ilalang ini, di tepi hutan ini, dan di setiap sudut bumi. Kabarkan padaku ke manakah suami dan anakku pergi. Tuntun langkahku menemukannya.”

Aku mendapati tatapan rembulan penuh warta, tapi ku tak mampu membacanya.
Aku tertunduk takzim mengadu pada bumi.

“Bumi, kau menyangga kaki semua mahluk dengan penuh kesabaran, di bagian mana kedua cintaku kini kau papah?”

Bumi menenangkanku, dia memberi jawab, tapi aku tak mampu memahami bahasanya. Lalu aku bersimpuh, menekur pada doa paling dalam.

“Duhai Pemilik Rembulan, Penopang seluruh kehidupan, bimbing mata batinku menuju penyejuk hatiku, anak dan suamiku. Sebagaimana Engkau kumpulkan kami sebelum tidur, kumpulkanlah kembali kami dalam ridho-Mu.”

Munajatku lebih dalam dari panjangnya malam. Ditutun kekuatan pemilik semesta, kakiku melangkah, menuju perdu bergoyang. Tanganku gemetar, ada cemas penuh di sana, mengapa kakiku melangkah di tempat ini?

Telingaku mendengar rintih lirih. Degub jantungku berdetak lebih kencang.

“Ibu….Ibu…” Makin lama suara itu nyata.
“Putraku….” Tubuhku tersedot jasad lungai yang tergolek di belukar.

Aku mendekapnya, tubuhnya penuh luka, bercak darah di mana-mana. Kuciumi seluruh luka dan keelokan yang tersisa. Raungku tak terbendung.

“Ibu..,” suaranya lirih, lalu menghilang ditelan alam yang lengang. Suara terakhir sebelum tidur panjang.

Tangisku menjadi. Senggukku liar. Aku belai wajahnya yang pasi, matanya terkatub, saat hendak kupapah, sepotong tangannya jatuh. Aku menjerit… kupungut dengan sedan tak tentu.

“Robby….apa salah hambamu, mengapa kau biarkan anakku teraniaya. Siapa yang melakukannya.”

Aku bersimpuh dengan ratap penuh. Lalu tengadah, rembulan masih di sana. Kembali aku mengharap sinarnya.

“Rembulan… kau saksi setiap duka malam ini. Siapa yang melakukan ini pada anakku?”

Rembulan itu memberi jawab sempurna, yang tak kutahu maknanya.

Kupapah putra semata wayangku, kupungut tangannya. Dengan gontai kutembus rungkut belukar. Tiba-tiba kutersadar sesuatu, di mana suamiku?

Aku berjalan setengah terpejam. Tubuhku berpijak tak sempurna, melayang pun tak imbang. Aku terus berjalan, antara limbung dan bimbang. Kaki kananku mengantuk sesuatu. Kaki kiriku kembali tersaruk benda itu, kucoba melompatinya. Mataku menelisik, aku tak bisa menukar gusar.

“Suamiku….” Spontan kutubruk tubuh itu, tanpa melepas anakku. Dibantu sinar purnama, kudapati kepalanya yang terbelah dua. Aku tak tahan melihatnya. Tak sanggup lagi untuk berdiri. Tersimpuh di antara mayat orang-orang terkasih, anakku di pangkuan dan suami di hadapan.

“Mengapa aku tak sekalian?” pupus semua tandan kesabaran yang aku lempangkan. Wajahku terhambur di tubuh kaku itu. Senggukku saling buru. Hingga sedak dan isak menyesak dalam cerkau risau. Bunga sriwijaya mekar, menghantarkan semerbak di sekelilingku. Kurarasi geruh malam ini.

Satu-satu sedanku hilang. Kubiarakan kedua jasad itu kaku. Aku baringkan tubuh anakku di samping ayahnya. Aku menepi dari keduanya. Kuhela napas hingga tandas. Kupejam mata hingga lega. Parlahan kubuka, menatap rembulan di sunyi awan. Masih di tempatnya, dengan cerlang lebih terang. Aku ingin menangkap sasmita dari setiap pendarnya.

“Rembulan, terangi hatiku, dengan cahayamu. Cahaya yang dipancarkan dari Mahacahaya. Izinkan aku membaca isyarat-isyaratnya.”

Bulan itu tersenyum padaku, dengan sungging paling pilu. Setiap pesannya mengabarkan dendam yang terbalaskan. Aku mencoba mengingat helai-helai hitam yang pernah kutanam di masa silam, hingga kutuai segumpal cekam di malam jahanam. Kutatap bulat rembulan, piasnya merawikan laman-laman silam, pada masa yang hampir kulupakan.

Ibuku, wanita yang begitu mengasihiku, sebelum mengembuskan napas terakhir, berpesan. Wanita agung itu menitipkan tiga ekor kucing kesayangannya padaku. Betapa pun cintaku pada wanita yang melahirkanku, aku tak mungkin menjaga kucing-kucing itu. Tanpan sebab, aku sangat membencinya sejak ada. Rasa itu hadir begitu dahsyatnya. Jangankan memelihara, melihat pun aku tak suka.

Sebelum hari ketujuh kematian ibu, aku berjalan ke tepi hutan membawa anak beranak binatang itu. Pada rimbun yang lebat, kutinggalkan ketiganya. Aku pulang. Esoknya, kucing-kucing itu telah kembali. Di hati paling bening, aku merasa bersalah. Kusia-siakan amanah maula hidupku. Kucampakan binatang tak berdosa hanya karena tak suka yang membuta. Tapi rasa benciku menutup semua bisik suci. Kuulangi lagi esoknya, membawa ketiganya ke tempat berbeda. Tapi Tuhan memang menganugerahkan indera istimewa pada hewan kesayangan Rasul-Nya.

Lusanya, kucing-kucing itu kembali lagi. Aku ditawan kebencian tak tertawar. Hari-hariku menjadi rencana-rencana melenyapkan ketiganya. Hingga di sebuah malam purnama, di tepi hutan yang sepi, disaksikan sinar rembulan serupa, aku habisi ketiganya. Kupotong tangan anaknya, kubelah kepala bapaknya, sementara sang ibu lolos dari murka. Dia berlari saat aku kalap menghajar anak dan suaminya. Tapi sempat kutangkap matanya menetapku dengan pilu. Tersemat rasa bersalah yang sangat pada ibuku. Banyangnya hadir dengan hardik paling sengit. Tapi kekesalanku tandas malam itu. Amarahku bagai air menerobos tanggul.

Adakan malam itu induk kucing berdoa di hadapan sang rambulan yang sama. Lalu rembulan itu mencatat semua laranya menjadi dendam abadi pada tapa sunyi?

Kini aku menunduk, rembulan itu seperti mengutuk.

“Apa salah binatang itu. Adakah dia mengganggumu? Adakan dia menyusahkanmu. Dia hanya mengaharap sisa kasihmu. Tapi kau berikan segumpal dendam yang telah kusimpan pada catatan-catatan kehidupan.”

“Rembulan, adakan kucing itu dendam.” Hatiku gemuruh, andai pun dendam, itu adalah haknya. Tak malukah aku mengharap kucing itu ikhlas menerima bongkah amarahku yang picik itu. Sementara kubiarkan hatiku dirasuki murka.

Dengan muram rembulan mempertanyakan, “Apakah yang bisa dilakukannya atas dendam itu? Dia tak berdaya. Pada ketidakberdayaannya, Tuhanku-Tuhan kita, telah berjanji mengabulkan doanya. Dan aku, menjadi saksi setiap pintanya.”

“Adakah kau tahu perasaanku?” Entah mengapa aku masih mengiba.
“Adakah kau tahu perasaan binatang tak berdosa itu, serupa itulah perasaanya waktu itu.”

Ingatanku terpelanting saat aku begitu menggebu membunuh kucing-kucing polos itu. Aku merasa tak ada yang tahu. Sekalipun tahu, adakah yang menyalahkanku? Kemudian aku mempertanyakan pengakuan ke-Tuhananku, saat merasa tak ada saksi atas kekejianku. Kini tak kurasai apa pun, selain keperkasaan kekuatan tak terengkuh. Rembulan itu memancarkan pesan-pesan pada sabah yang terbaca makna.

“Tak ada yang sia-sia. Meski seberkas kau toreh luka, sebesar itu yang akan kau terima.”

Aku hanya menunduk, mengeja kecerobohan diri dengan telisik paling nyeri. Kusaksikan kepala suamiku yang hancur serupa kepala kuncing yang kubantai. Tangan anakku, tak beda tangan anak kucing yang kupatahkan. Aku merangkang. Mengumpulkan energi yang ada. Mengais buah kebencian masa silam. Sesalku tandas. Mengapa orang-orang terkasihku ikut serta pada dosaku? Semakin kurarai sesal, menggunung beban jiwaku. Tak ada yang bisa kulakukan, selain mengharap rinai ampunan.

Robbanna, dzolamna anfusana , failam taghfirlana, wa tarhamna lanakunaan minal khoisirin.
Ya…Tuhanku, sesungguhnya aku telah aniaya pada diriku. Seandainya Engkau tak mengampuni dan merahmatiku, maka aku adalah orang yang merugi.

Bandar Lampung, Maret 2010

S.W. Teofani, cerpenis tinggal di Lampung, telah menyelesaikan novel Shih-lifo-shih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez