Senin, 05 Desember 2011

Hamka: Kursi MUI dan Filsafat Bika

Marjohan
http://harianhaluan.com/

Siapa tak kenal Hamka! Tak cuma dikenal sebagai buda­yawan, sastrawan, pujangga dan sejarawan. Lebih dari itu, beliau adalah ulama besar, terpandang, kaya harga diri dan bertahta di hati umat hingga kini. Begitu tersematnya tokoh yang lahir pada 17 Februari 1908—bertepatan dengan tahun Ke­bang­kitan Nasional Indonesia ini, tidak saja pada kaum kulturalis, tapi juga elite struk­turalis—tak heran pada Juni 1975, pengarang novel Tengge­lamnya Kapal Van Der Wijck (1937) itu, ditawari oleh Menteri Agama RI—yang kala itu dibiduki Prof. Dr. Mukti Ali untuk menggenggam jaba­tan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Reaksi Hamka?
Apa tawaran menggiurkan itu ditelan men­tah-mentah? Sebagai tokoh tempaan zaman, dan telah banyak mereguk asam garam kehidupan, beliau tak serta merta menerima tawaran yang kata orang-orang kini sekilas cukup menjanjikan secara politis plus material. Pertama-tama Hamka baiyo–batido (berkompromi) dengan seke­ping nurani yang bergayut di alam pikirnya. Beliau pertim­bangkan masak-masak untung rugi kedudukan strategis terse­but.Bukan untung rugi secara material, tapi bersangkut-paut dengan kondisi sosial objektif umat Islam pada masa transisi dari Orla ke Orba.

Bandingkan dengan pemu­ka agama di alam materialistis, pragmatis dan bahkan hedonis kini! Tidak ditawari kedudukan, dan atau jabatan pun—segelintir mereka “menyosoh-nyosohkan” diri ke tengah gelanggang, malah nyaris tergelicik meng­halalkan segala cara—untuk tidak mengatakan terpengap dalam kepompong sempit “machiavellism oriented”. Dan, yang membuat umat/rakyat mengurut dada, pola-pola semacam itu, tidak saja berke­cambah di habitat parpol pengusung azas Islam, parpol berbasis umat Islam dan parpol nasionalis-sekuler yang mem­buka diri untuk tokoh/umat Islam—memburu dan berburu jabatan/kedudukan sepertinya juga menjalar ke tubuh Ormas Islam. Sebut saja di Nahdatul Ulama (NU); Persatuan Tarbi­yah Islamiyah (Perti); Tarbiyah Islamiyah; Muhammadiyah; Dewan Dakwah Islam Indo­nesia (DDII); Korop Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI); dan lain sebagai­nya. Aneh bin ajaibnya—dan ini yang membuat banyak orang “manggaritih”, setelah jabatan/kedudukan digenggam (teruta­ma di Parpol/legislatif), mere­ka-meraka itu (ulaaa-ika) terkesan tidak amanah. “Lah basuluah mato-ari-bagalang­gang mato-rang-banyak”—yang mengemuka justru memper­gemuk pundi, demi kepenti­ngan pribadi dan keluarga—dengan dalih yang didalil-dalilkan, bila perlu mengutip ayat Al-Quran dan Hadits. Na’udzubillahi min dzalik!

Rujuk ke ihwal Hamka! Sekitar 1973/1974, Umat Islam Asia Tenggara, lebih-lebih Indonesia, benar-benar merasa­kan bahaya laten komunisme. Ancaman tersebut kian mence­kam bahkan mengintai, atas keoknya Amerika Serikat (AS) oleh tentara Vietcong, Vietnam yang berhaluan kiri. Menurut Hamka, terminologi Ketahanan Nasional sebagai tema sentral Orba, dapat dimaknai ketaha­nan ideologi rakyat—ketika berhadapan dengan ideologi atheis yang diandalkan komu­nis. Menghadapi ideologi komunis, haruslah dengan ideologi jitu dan tahan banting. Dalam konteks ini, Dinul Islam-lah senjata paling ampuh. Sebab, selain punya pijakan jelas (Al Quran dan Sunnah), penduduk tanah air mayoritas beragama Islam (fi’ah katsirah). Tidaklah salah pemuka Islam merajut kerja sama dengan pemerintah. “Bukankah pemerintah adalah juga anti komunis”! Itulah yang menyelinap dalam pikiran Hamka pertama-tama ketika disuguhi jadi nakhoda di tubuh MUI. Sedang pertimbangan kedua, Hamka meneropong Umat Islam Indonesia sudah terlalu lama didendami rezim Orla. Sisa-sisa ideologi komu­nis yang diindoktrinasi­kan terasa masih kental, dan bahkan menyelusup tiap ada ruang. Akibat yang menyembul ke per­mukaan, apapun yang diper­buat umat Islam, nyaris semua dicurigai pemerintah. Sebalik­nya, segelintir umat Islam pun cenderung apriori terhadap pemerintah. Apa yang diayun­kan pemerintah guna mengatur negara dan pembangunan, semua salah. “Kita hampir kehilangan akal sehat, dan kondisi tidak sehat ini sejatinya dimediatori”, ujar Hamka membatin.

Apa Hamka yang selama ini bergumul di ranah kultural langsung terjun bebas ke zona beraroma politis? Bukankah Hamka pernah bilang: “Politik bukan medanku–pujangga adalah idamanku”. Dijawab Hamka! Benar kalau dikatakan begitu. Namun, orang politik menginginkan kursi empuk dan fasilitas bertukuk. Sedang Aku melihat kursi Ketua Umum MUI sebagai kursi listrik. Andai tidak cerdas menduduki, Aku bisa terbakar dan tergurajai (tersungkur). Tapi dengan niat baik, Insya Allah Aku tak akan mati. “Kursi” Ketua MUI kalau memang bakal ku-duduki mesti dengan dua syarat: tidak digaji dan tidak pula pensiun! Yang Aku inginkan, hanyalah menghidupkan kembali ghirah dan muru-‘ah (harga diri) yang sudah rapuh akibat sepak-terjang ideology of atheism yang terus mengitari umat. Usai berkompromi dengan diri sendiri, Hamka masih belum bersigegas duduk di kursi MUI. Beliau merasa perlu berurun-rembuk dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Mereka dapat merestui mantan anggota Pim­pinan PP Muhammadiyah itu, berkiprah di lembaga MUI. Dalil ‘aqliyah yang dike­te­ngahkan nyaris sama bahkan sebangun dengan Hamka.

Langkah terakhir, Hamka mohon ma-unah Allah melalui shalat istikharah berulang kali. Dan, setelah mendapat izin dari istri dan anak-anak, tepat 17 Rajab 1395 H/26 Juli 1975, Prof. Dr. Buya Hamka resmi dilantik sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Pusat. Pada pidato malam ta’aruf di Gedung Sasono Langen Budaya Taman Mini Indonesia, selain menggariskan kebijakan MUI ke depan, Hamka mengibaratkan lembaga MUI bagai kue bika dibakar antara dua bara api. Di atas ada pemerintah, di bawah berserak-serak umat dengan latar kultur, adat dan keinginan yang kadang meledak-ledak. Maksudnya? Bila ulama berat ke atas—putus tali dengan umat, dan tak dihiraukan umat. Sebalik­nya, andai ulama berat pada umat, renggang hubungan dengan pemerintah. Bahkan, pemerintah bisa menstigma­nisasi ulama tak berpartisipasi dalam kancah pembangunan. Langkah bijak, justru memosisi­kan diri sebagai titian antara umat dan pemerintah.

Pada 17 September 1975, Hamka membuktikan filsafat kue bika itu. Bersama Sekjen MUI, Drs Kafrowi ditukuk 30 pengurus inti, Hamka ber­tandang ke Istana Merdeka. Dengan sikap bersahabat tapi transparan, Hamka mengung­kapkan pada Presiden Soeharto tentang kegelisahan umat Islam terkait kegigihan Kaum Shali­biyah menyebarkan missi/zendingnya di tengah komunitas Islam, utamanya di kantong-kantong kemiskinan. Bertumpu pada surat Mumtahanah ayat 7-9, Hamka mengurai-papar­kan fakta-fakta salibisasi di negeri ini. Nyaris tiap sebentar mereka itu (ulaaa-ika), menyu­guhkan pelbagai bujukan de­ngan kelebihan materi yang dimiliki.

Kata berjawab-gayung ber­sam­but! Lewat pendekatan persuasif, argumentatif dan transparansif, Presiden Suharto pun menggulirkan statemen cukup melapangkan rongga dada umat Islam yang lagi resah : “Kiat-kiat mengiming-imingi orang dengan materi untuk menambah penganut Agama adalah satu “dari pada” perbuatan tercela” (Hatta tat tabi’a mil latahum). Wallahu a’lam bish shawab.

*) Pemerhati Sosial-Budaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez