Fathurrahman Karyadi *
http://www.radarmojokerto.co.id/
Kamis malam Jumat (9/6/11), penulis menghadiri undangan sebagai pemateri sastra di FKJS (Forum Kajian Sastra) di Pesantren Langitan Tuban. Meski jumlah peserta hanya 40-an santri dari 1500-an santri, namun mereka sangat antusias sekali. Bayangkan saja, acara dimulai ba’da isya hingga pukul 23.00 WIB. Bagi mereka sastra bukanlah hal yang serius dan sulit, namun sebuah kebiasaan/budaya sehari-hari yang mengasyikkan.
Sebenarnya, di forum tersebut penulis tidak semata-mata mengajarkan apa itu “sastra” kepada mereka. Bagaimana mungkin, lha wong mereka lebih “berjenggot” daripada penulis. Bisa dibilang sebatas saling tukar wacana dan pengalaman tentang dunia yang tidak asing lagi bagi pesantren. Jika diibaratkan, sastra ialah hasil atau produk (isim maf’ûl) sedangkan santri sebagai obyek atau pelaku (isim fâ’il) dan pesantren tak lain adalah tempat santri menghasilkan sastra (isim makân). Memang ada definisi yang mengatakan dari bahasa Sansekerta seperti yang diliris oleh situs wikipedia, tetapi penulis lebih condong ke statement imajinatif penulis sendiri.
Di Pesantren tua yang didirikan pada 1852 M itu, kini memiliki banyak media sebagai wadah kreasi santri. Selain ada majalah Kakilangit yang disebarkan ke masyarakat umum dan alumni, juga ada majalah santri tersendiri Harakah, belum lagi mading-mading di setiap kompleknya. Uniknya, semua media itu dikelola oleh santri yang masih menempuh pendidikan wajib di pesantren. Sungguh menakjubkan. Di sela-sela kesibukan mereka belajar masih sempat meluangkan waktu untuk berkarya. Lantas bagaimana dengan Jombang dan Mojokerto yang memiliki julukan sebagai kota santri? Sudah selayaknya untuk bisa seperti demikian.
Syair di Pesantren
Adalah KH. MA Sahal Mahfudz yang kini menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, beliau memiliki banyak karangan kitab nadzam. Salah satunya al-Tsamarât al-Hâjiniyyah berisi 166 bait yang menerangkan istilah-istilah dalam ilmu fikih. Kitab yang diberi ta’lîq (semacam komentar panjang) oleh Kiai Sahal sendiri itu mendapat perhatian khusus dari banyak kiai. Maka tak heran jika Kiai Muhammadun Kajen dan Kiai Zubair Dahlan, ayahanda Kiai Maimun Zubair Sarang Rembang, memberi kata pengantar di awal halaman.
Tidak hanya sang anak, ternyata ayah Kiai Sahal juga mengarang kitab nadzam bertajuk Farâid al-I’râb. Kini kitab tersebut sedang dalam proses publikasi. Pengasuh ponpes Mathali’ul Falah Kajen ini juga memberi kata pengantar berupa syair sebanyak 9 bait pada kitab nazham Sullam al-Tawfîq karya Kiai Hamid Pasuruan yang kemudian disusul pula syair gubahan KH. Aqib bin Yasin pada cover belakang kitab yang merupakan biografi singkat si pengarang.
Tradisi saling memberi komentar berupa syair sebenarnya sudah terjalin sejak lama di kalangan kiai. Ketika Hadratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari mengarang kitab al-Nûr al-Mubîn, Kiai Ma’shum Aly—santri yang juga menantunya—tak lupa melampirkan syair indah menyongsong terbitnya kitab tersebut. Tak kalah uniknya pula, KH. Abdul Hadi Zahid Langitan menerjemahkan kitab Qashîdah al-Munfarijah dengan model kitab makna gandul. Beliau meriwayatkan sanad kitab karya Imam al-Subki itu dari Kiai Bisri Mustofa, Rembang.
Tradisi sastra yang berkembang di kalangan ulama nusantara lainnya adalah menggubah Asmâ’ al-Husnâ (nama-nama indah Tuhan) dalam bentuk syairan. Almarhum Kiai Dimyathi, Tremas mengarang syair Asmâ’ al-Husnâ begitu indah. Bahkan di Pondok Krapyak Yogyakarta—juga di banyak pesantren lainnya—menjadikan nadzham ini sebagai wirid setiap hari menjelang matahari terbit.
Senada dengan Kiai Dimyathi, seorang ulama asal Banjarmasin bernama Ahmad Jamhuri juga menyairkan Asmâ’ al-Husnâ. Kitab yang diberi judul Kanz al-Asnâ itu hampir menyamai Qashîdah al-Burdah karya Imam Bushiri, keduanya sama-sama menggunakan bahar kamil dan diakhiri huruf mim berharakat kasrah (mî).
Begitu pula dengan Kiai Hamid Pasuruan, selain mengarang nadzam Sullam al-Tawfîq, beliau punya syairan Asmâ’ al-Husnâ namun sayang belum terpublikasikan. Di Cirebon, Kiai Nur Khalish Hannan dari Ponpes Al-Hikmah menggarang nadzam 99 nama indah itu bersama dengan Kiai Mahmud Mukhtar yang menyairkan asmâ’ Rasulullah SAW sebanyak 45 bait. Karya keduanya itu diterbitkan oleh Menara Kudus dalam satu buku saku kecil.
Kalau karya-karya di atas berbahasa Arab, berbeda halnya dengan KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus). Kiai yang merupakan teman akrab Gus Dur ini mengarang kitab Asmâ’ al-Husnâ dalam syair bahasa Jawa. Kitab ini memakai lagu shalawat Al-Badriyyah atau seperti lirik lagu Baju Baru Alhamdulillah yang dinyanyikan oleh artis Dea Ananda. Berikut salah satu potongan syairnya;
Ya rahmanu dzat kang welas
Rahimu dzat asih melas
Rahmat tuan sampun jelas
Agung luas mboten melas
Gus Ishom juga pernah menyunting kitab nadzham Asmâ’ al-Husnâ berjudul al- Durr al-Sanâ karya Syekh Ahmad Ibn Muhammad al-Dardiri. Akhirnya kitab mandzumah yang berjumlah 81 bait itu diterbitkan di Tebuireng bersamaan dengan Hizb al-Andzarûn di akhir halaman. Jauh sebelum itu semua, Kiai Ali Manshur Tuban telah mensyairkan asma husna dalam bahasa Arab. Karyanya itu dilampirkan bersamaan shalawt badar yang dikarangnya pada tahun 1898 M, 113 tahun silam.
Sastra dan Pesantren Kini
Bila ditanya, bagaimana kabar (perkembangan) sastra di dunia pesantren dewasa kini? Tampaknya sulit untuk dijawab. Ranah sastra yang sebetulnya “ada” di komunitas pesantren mulai luntur. Karya-karya sastra Arab para ulama pendahulu hanya dihafal para santri karena alasan kewajiban atau sebagai syarat kenaikan kelas. Akibatnya, mereka tidak memiliki malakah dan ikhtira’ yang diharapkan. Padahal, tujuan mereka sering menggeluti karya sastra agar bisa ber-dzauq sastrawi.
Di sisi lain, para kiai pengasuh pesantren tidak lagi produktif menelurkan karya-karya sastra. Menulis makalah untuk seminar atau kolom opini di media masa lebih diminati daripada menadzamkan hal-hal yang baru. Dalam ajang musabaqah Akhirussanah atau Rojabiyyah yang setiap tahunnya diselenggarakan pesantren juga tidak mencantumkan agenda ”perlombaan membuat syair”.
Jika hal itu terus berlanjut, maka dikhawatirkan pesantran akan kering dari sentuhan sastra. Para santri tidak mampu menghasilkan karya. Sehingga, karya-karya novel atau tenleet remaja gaul akan lebih digemari daripada menikmati bacaan sastra pesantren yang sebenarnya mereka sendiri memiliki potensi besar untuk berkarya. Wallahu A’lam
_______________
*) Penulis adalah mahasiswa Ma’had Aly Tebuireng, bergiat di Pustaka Tebuireng sebagai ketua pelaksana. Email: atunk.oman@gmail.com
http://www.radarmojokerto.co.id/
Kamis malam Jumat (9/6/11), penulis menghadiri undangan sebagai pemateri sastra di FKJS (Forum Kajian Sastra) di Pesantren Langitan Tuban. Meski jumlah peserta hanya 40-an santri dari 1500-an santri, namun mereka sangat antusias sekali. Bayangkan saja, acara dimulai ba’da isya hingga pukul 23.00 WIB. Bagi mereka sastra bukanlah hal yang serius dan sulit, namun sebuah kebiasaan/budaya sehari-hari yang mengasyikkan.
Sebenarnya, di forum tersebut penulis tidak semata-mata mengajarkan apa itu “sastra” kepada mereka. Bagaimana mungkin, lha wong mereka lebih “berjenggot” daripada penulis. Bisa dibilang sebatas saling tukar wacana dan pengalaman tentang dunia yang tidak asing lagi bagi pesantren. Jika diibaratkan, sastra ialah hasil atau produk (isim maf’ûl) sedangkan santri sebagai obyek atau pelaku (isim fâ’il) dan pesantren tak lain adalah tempat santri menghasilkan sastra (isim makân). Memang ada definisi yang mengatakan dari bahasa Sansekerta seperti yang diliris oleh situs wikipedia, tetapi penulis lebih condong ke statement imajinatif penulis sendiri.
Di Pesantren tua yang didirikan pada 1852 M itu, kini memiliki banyak media sebagai wadah kreasi santri. Selain ada majalah Kakilangit yang disebarkan ke masyarakat umum dan alumni, juga ada majalah santri tersendiri Harakah, belum lagi mading-mading di setiap kompleknya. Uniknya, semua media itu dikelola oleh santri yang masih menempuh pendidikan wajib di pesantren. Sungguh menakjubkan. Di sela-sela kesibukan mereka belajar masih sempat meluangkan waktu untuk berkarya. Lantas bagaimana dengan Jombang dan Mojokerto yang memiliki julukan sebagai kota santri? Sudah selayaknya untuk bisa seperti demikian.
Syair di Pesantren
Adalah KH. MA Sahal Mahfudz yang kini menjabat sebagai Ketua Umum PBNU, beliau memiliki banyak karangan kitab nadzam. Salah satunya al-Tsamarât al-Hâjiniyyah berisi 166 bait yang menerangkan istilah-istilah dalam ilmu fikih. Kitab yang diberi ta’lîq (semacam komentar panjang) oleh Kiai Sahal sendiri itu mendapat perhatian khusus dari banyak kiai. Maka tak heran jika Kiai Muhammadun Kajen dan Kiai Zubair Dahlan, ayahanda Kiai Maimun Zubair Sarang Rembang, memberi kata pengantar di awal halaman.
Tidak hanya sang anak, ternyata ayah Kiai Sahal juga mengarang kitab nadzam bertajuk Farâid al-I’râb. Kini kitab tersebut sedang dalam proses publikasi. Pengasuh ponpes Mathali’ul Falah Kajen ini juga memberi kata pengantar berupa syair sebanyak 9 bait pada kitab nazham Sullam al-Tawfîq karya Kiai Hamid Pasuruan yang kemudian disusul pula syair gubahan KH. Aqib bin Yasin pada cover belakang kitab yang merupakan biografi singkat si pengarang.
Tradisi saling memberi komentar berupa syair sebenarnya sudah terjalin sejak lama di kalangan kiai. Ketika Hadratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy’ari mengarang kitab al-Nûr al-Mubîn, Kiai Ma’shum Aly—santri yang juga menantunya—tak lupa melampirkan syair indah menyongsong terbitnya kitab tersebut. Tak kalah uniknya pula, KH. Abdul Hadi Zahid Langitan menerjemahkan kitab Qashîdah al-Munfarijah dengan model kitab makna gandul. Beliau meriwayatkan sanad kitab karya Imam al-Subki itu dari Kiai Bisri Mustofa, Rembang.
Tradisi sastra yang berkembang di kalangan ulama nusantara lainnya adalah menggubah Asmâ’ al-Husnâ (nama-nama indah Tuhan) dalam bentuk syairan. Almarhum Kiai Dimyathi, Tremas mengarang syair Asmâ’ al-Husnâ begitu indah. Bahkan di Pondok Krapyak Yogyakarta—juga di banyak pesantren lainnya—menjadikan nadzham ini sebagai wirid setiap hari menjelang matahari terbit.
Senada dengan Kiai Dimyathi, seorang ulama asal Banjarmasin bernama Ahmad Jamhuri juga menyairkan Asmâ’ al-Husnâ. Kitab yang diberi judul Kanz al-Asnâ itu hampir menyamai Qashîdah al-Burdah karya Imam Bushiri, keduanya sama-sama menggunakan bahar kamil dan diakhiri huruf mim berharakat kasrah (mî).
Begitu pula dengan Kiai Hamid Pasuruan, selain mengarang nadzam Sullam al-Tawfîq, beliau punya syairan Asmâ’ al-Husnâ namun sayang belum terpublikasikan. Di Cirebon, Kiai Nur Khalish Hannan dari Ponpes Al-Hikmah menggarang nadzam 99 nama indah itu bersama dengan Kiai Mahmud Mukhtar yang menyairkan asmâ’ Rasulullah SAW sebanyak 45 bait. Karya keduanya itu diterbitkan oleh Menara Kudus dalam satu buku saku kecil.
Kalau karya-karya di atas berbahasa Arab, berbeda halnya dengan KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus). Kiai yang merupakan teman akrab Gus Dur ini mengarang kitab Asmâ’ al-Husnâ dalam syair bahasa Jawa. Kitab ini memakai lagu shalawat Al-Badriyyah atau seperti lirik lagu Baju Baru Alhamdulillah yang dinyanyikan oleh artis Dea Ananda. Berikut salah satu potongan syairnya;
Ya rahmanu dzat kang welas
Rahimu dzat asih melas
Rahmat tuan sampun jelas
Agung luas mboten melas
Gus Ishom juga pernah menyunting kitab nadzham Asmâ’ al-Husnâ berjudul al- Durr al-Sanâ karya Syekh Ahmad Ibn Muhammad al-Dardiri. Akhirnya kitab mandzumah yang berjumlah 81 bait itu diterbitkan di Tebuireng bersamaan dengan Hizb al-Andzarûn di akhir halaman. Jauh sebelum itu semua, Kiai Ali Manshur Tuban telah mensyairkan asma husna dalam bahasa Arab. Karyanya itu dilampirkan bersamaan shalawt badar yang dikarangnya pada tahun 1898 M, 113 tahun silam.
Sastra dan Pesantren Kini
Bila ditanya, bagaimana kabar (perkembangan) sastra di dunia pesantren dewasa kini? Tampaknya sulit untuk dijawab. Ranah sastra yang sebetulnya “ada” di komunitas pesantren mulai luntur. Karya-karya sastra Arab para ulama pendahulu hanya dihafal para santri karena alasan kewajiban atau sebagai syarat kenaikan kelas. Akibatnya, mereka tidak memiliki malakah dan ikhtira’ yang diharapkan. Padahal, tujuan mereka sering menggeluti karya sastra agar bisa ber-dzauq sastrawi.
Di sisi lain, para kiai pengasuh pesantren tidak lagi produktif menelurkan karya-karya sastra. Menulis makalah untuk seminar atau kolom opini di media masa lebih diminati daripada menadzamkan hal-hal yang baru. Dalam ajang musabaqah Akhirussanah atau Rojabiyyah yang setiap tahunnya diselenggarakan pesantren juga tidak mencantumkan agenda ”perlombaan membuat syair”.
Jika hal itu terus berlanjut, maka dikhawatirkan pesantran akan kering dari sentuhan sastra. Para santri tidak mampu menghasilkan karya. Sehingga, karya-karya novel atau tenleet remaja gaul akan lebih digemari daripada menikmati bacaan sastra pesantren yang sebenarnya mereka sendiri memiliki potensi besar untuk berkarya. Wallahu A’lam
_______________
*) Penulis adalah mahasiswa Ma’had Aly Tebuireng, bergiat di Pustaka Tebuireng sebagai ketua pelaksana. Email: atunk.oman@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar