Rabu, 03 Agustus 2011

“juru peta” sastra Indonesia [Hans Bague Jassin]

“Buku-buku para Manifestan dilarang terbit dan beredar.” H.B. Jassin
Leila S. Chudori
http://majalah.tempointeraktif.com/

DI samping mendapat julukan “Paus” Sastra Indonesia, Hans Bague Jassin juga dipanggil administrator dan diktator sastra. Ia pernah memukul Chairil Anwar. Dihukum 1 tahun penjara gara-gara cerpen Langit Makin Mendung. Inilah orang yang telah menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Indonesia. Lahir di Gorontalo, 31 Juli 191 7, mendapat gelar doktor honoris causa dari Universitas Indonesia, juru peta sastra Indonesia yang tak pernah lelah.

Sebagian kisah hidupnya yang disampaikan lewat Leila S. Chudori ini adalah atas permintaan TEMPO. TANGGAL 2 September 1970. Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta Pusat penuh sesak. Ada wartawan, seniman, ulama, mahasiswa, pelajar. Semua memandang saya. Hakim Ketua Anton Abdurrachman Putra, S.H. mengangkat mukanya dan bertanya, “Saudara Jassin, kapan Anda siap membacakan pembelaan Anda?” “Sekarang.”

Suara saya meluncur, tegas dan pasti. Hari itu juga saya memang mantap membacakan pembelaan cerpen Langit Makin Mendung karangan Ki Panji Kusmin. Sudah saya siapkan sejak keributan meletus di Medan, sepanjang 100 halaman, setelah cerpen yang dimuat di majalah Sastra itu beredar. Saya berdiri sambil membaca. Saya lihat Hamka, saksi yang memberatkan, mendengarkan dengan saksama.

Ruang pengadilan begitu hening. Seluruh ruangan hanya terisi oleh suara saya yang bergelombang dan penuh keharuan. Saya amat yakin bahwa dunia imajinasi dan kenyataan adalah dua hal yang berbeda. Dan hingga kini, saya tetap percaya bahwa imajinasi tak layak diadili dan disetarakan dengan dalil agama yang punya sejarahnya sendiri.

Hampir tiga jam saya membacakan pleodoi bagi imajinasi pengarang yang hingga kini belum pernah saya lihat batang hidungnya itu. “Apakah kita harus memaksa seniman mendiamkan hati nuraninya, membutakan matanya, menulikan telinganya, mematikan perasaannya, dan melumpuhkan pikirannya buat hal-hal yang terjadi di sekitarnya?” tanya saya dalam pembelaan itu. Akhirnya hakim menjatuhkan vonis 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun bagi saya. Tapi hingga kini saya tak sempat mengalami pengapnya empat tembok mati itu.

Saijah dan Adinda Jika saya tengok ke belakang dan mengenangperistiwa demi peristiwa satu per satu, rasanya saya sedang membuka dokumen kehidupan. Lihatlah itu, si Jassin kecil yang sedang bermain-main di pekarangan di suatu sore pada 1924. Kala itu saya baru tujuh tahun. Kami berdua, Ibu dan saya, tinggal di Gorontalo. Kata Ibu, Ayah sedang bekerja di Balikpapan. Tapi kemudian saya ketahui bahwa mereka sedang berpisah untuk sementara. Tiba-tiba seorang tuan berdiri tegak di pekarangan. Ia mengenakan helm dan melangkah menghampiri saya. Dipeluknya tubuh saya. Saya memberontak minta dilepaskan. Ternyata, tuan itu adalah ayah saya. Rupanya, Ayah dan Ibu memutuskan untuk rujuk.

Hari-hari bersama Ayah kembali adalah hari penuh disiplin. Sebagai anak tunggal saat itu kakak perempuan saya, Hapsah, meninggal di Sangihe — saya diharapkan Ayah berhasil dalam pendidikan. Ayah saya sendiri seorang otodidak. Bacaannya sangat luas, dari fiksi hingga ilmu bumi dan alam. Meski ia bekerja di BPM (Bataafsche Petroleum Maatschappij) antara 1902 dan 1905, ia tidak memiliki ijazah HIS (Hollandsch Inlandsche School). Tapi karena bacaannya yang luar biasa, ia mampu ujian dan lulus Klein Ambtenaar Examen (ujian persamaan HIS). Mungkin karena itulah Ayah lebih menyukai saya belajar atau membaca buku daripada bermain.

Ayah benar-benar mengondisikan saya untuk terus-menerus akrab dengan bacaan. Tak jarang ia minta saya membacakan koran-koran berbahasa Belanda ketika ia beristirahat makan siang. Selain koran Belanda, Ayah juga berlangganan Suara PBI (Persatuan Bangsa Indonesia), majalah dari partai yang didirikan oleh dr. Soetomo. Itu sebetulnya terlarang bagi seorang kerani BPM yang baik. Lemari buku Ayah selalu saya buka. Saya lalap, termasuk yang terlarang. Bayangkan, Roos van Batavia dan Melati van Agam sudah saya baca, padahal itu bukan bacaan anak-anak.

Karya sastrawan Prancis, Eugene Sue, yang diterjemahkan dalam bahasa Belanda jadi De Verborgenheiden van Parijs (Rahasia-Rahasia Kota Paris) saya lahap pula. Ada lagi empat serial buku Sexuele Zeden in Woord en Beeld (Tingkah laku seksual dalam Kata dan Gambar) yang diam-diam saya nikmati pula …. Karena di kota saya tidak ada HIS, Ayah menyuruh saya berguru pada seorang istri kerani, teman Ayah. Dan ketika HIS didirikan di Gorontalo pada 1926, saya langsung masuk kelas 2. Kegemaran saya membaca buku kemudian ditunjang oleh fasilitas 2 macam perpustakaan: perpustakaan untuk anak-anak dan untuk umum.

Dari perpustakaan umum sering pula saya meminjam buku untuk Ayah. Pelajaran bahasa di sekolah itulah yang kemudian memperluas perhatian saya pada sastra. Ketika itu anak-anak HIS diwajibkan menghafal sajak-sajak Belanda dan membacakannya di muka kelas. Terkadang kami diperintahkan bercerita dalam bahasa Belanda. Maksudnya agar bisa bersentuhan langsung dengan bahasa tersebut tanpa terlalu dipagari tata bahasa. Kami juga belajar bahasa Melayu.

Buku bacaan bahasa Melayu kami yang pertama adalah Rempah-Rempah. Melalui bacaan ini saya masuk ke dalam dunia binatang yang mampu berkomunikasi. Baru kemudian, ketika saya sudah kuliah di Fakultas Sastra, saya ketahui bahwa cerita-cerita itu diambil dari Hitopadesya, buku sastra anak-anak yang sangat terkenal dan tersebar di banyak negara di dunia.

Buku lain yang melekat dalam diri saya ketika anak-anak ialah karya klasik Melayu tulisan Arab, Hikayat si Miskin. Ketika saya duduk di kelas 4 HIS, saya berkenalan dengan sebuah cerita yang di kemudian hari terus-menerus meringkus perhatian saya: Saijah dan Adinda.

Kepala sekolah membacakannya di muka kelas dengan mimik dan intonasi yang sesuai dengan tuntutan cerita. Saijah dan Adinda merupakan bagian dari roman besar Max Havelaar, sebuah roman serius karya pengarang Belanda, Multatuli. Saat itu kami belum dapat menangkap seluruh keindahan karya dalam bahasa Belanda itu. Tapi saya sudah dapat merasakan kesedihan yang diungkapkannya.

Seingat saya, di situlah saya jatuh cinta pada buku-buku sastra. Ketika suatu kali saya jatuh sakit, Ayah bertanya apa yang saya inginkan sebagai oleh-oleh. “Buku,” jawab saya serta-merta. Ia tersenyum dan pulang membawakan buku-buku penuh gambar. Meski saya sedang sakit, betapa bahagianya saya membaca buku-buku itu.

Ketika di HIS itu pula saya belajar menulis. Kami sering dibawa piknik oleh guru-guru, dan pulangnya diwajibkan menulis tentang perjalanan itu. Tulisan yang dianggap baik dibacakan di muka kelas. Dan, ah, si Jassin kecil ketika itu dikenal sebagai voorlezen, si tukang baca cerita yang baik.

Bayangkan, waktu itu saya baru kelas 4 HIS. Saya digandeng untuk membacakan cerita di muka anak kelas 5. Saat itu saya juga mencoba-coba menulis puisi. Lahirnya puisi ini karena kekaguman saya pada seorang gadis manis bernama Mastinah. Ia bersuara merdu dan pandai mengaji. Saya tidak mengenalnya, hanya melihat fotonya di album. Ada perasaan untuk berkomunikasi dengannya. Tapi saya tak tahu alamatnya. Maka, lahirlah puisi itu.

Bayangkan, ketika itu saya baru berusia 12 tahun. Tapi celaka. Ayah mencurigai saya. Saya sangat takut dan malu. Ketika itu saya tengah berlayar. Maka, cepat-cepat saya buang sajak itu ke laut. Waduh, sayang sekali …. Sekitar tahun 1933, saya mulai menginjak HBS Medan. Pengetahuan dan kecintaan saya terhadap sastra mulai menukik. Saya berkenalan dengan kesusastraan Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman. Saya harus membaca sekitar 24 buku sastra Belanda, dan untuk bahasa lainnya masing-masing delapan buku.

Saya menelaah buku-buku itu dengan intens, dari persoalan plot hingga karakterisasinya. Inilah perjumpaan awal saya dengan pelajaran evaluasi karya sastra secara akademis. Helai pertama dokumen kehidupan saya di HBS melontarkan saya pada kenangan seorang guru sastra Belanda, Korpershoek. Seorang yang gagah, menarik, dan bersuara bagus. Dialah yang memperkenalkan saya pada pendekatan kritik sastra dan cara mendalami karya-karya klasik. Dia pula yang memperkenalkan saya pada De Tachtigers Beweging, Gerakan 80-an di Belanda. Begitu kagum saya pada pengetahuan sastranya, hingga saya ingin membagi kesenangan saya dengannya.

Saat itu, saya sudah menikmati majalah sastra Pujangga Baru. Nama-nama Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, Armijn Pane, dan Sanusi Pane menumbuhkan kekaguman saya karena karya-karya mereka yang tak kalah dengan sastra Belanda. Maka, dengan penuh semangat, saya tunjukkan majalah itu kepadanya. “Tuan, kami juga memiliki Tachtiger Beweging di Indonesia.” Tapi si tuan hanya melirik dengan ekor matanya. Aduh, sakit hati saya dengan sikap guru yang saya kagumi itu. Rasa nasionalisme saya terpukul. Saya sangat mencintai tanah air dan bahasa saya. Kenapa ia tak menghargai karya sastra Indonesia? Sejak itulah saya bertekad bekerja penuh bagi sastra Indonesia.

Rupanya, kekecewaan terhadap Korpershoek ada hikmahnya, menumbuhkan tekad pada diri saya. Lembaran dokumen kehidupan saya selanjutnya adalah surat-surat Leila. Ah, mengingat Medan artinya mengingat Leila. Seorang gadis Tapanuli yang besar di Solok. Seorang gadis yang bertutur lembut dan penuh perhatian. Seorang yang memiliki senyum yang tetap mengikuti saya hingga ke Gorontalo. Saya bertemu dengan Leila di perkumpulan pemuda Inheemse Jeugd Organisatie. Saya sekretaris perkumpulan itu, sedangkan Leila anggotanya. Mulanya biasa saja. Di pertemuan-pertemuan itu, kami sering berbincang. Meski perhatian Leila tumpah pada saya, saya belum menyadari arti Leila hingga saya ke Gorontalo.

Hubungan kami lebih banyak melalui surat-menyurat. Surat-surat itu saya kirim dari Jakarta, karena pada 19 itu saya sudah pindah ke Jakarta, sementara Leila mengirimkan balasannya dari Medan. Surat-menyurat itu mengungkapkan perasaan-perasaan kami. Suatu hari di akhir 1941, ada ketukan di pintu rumah. Ah, senyum Leila mengembang. Kami pun mengisi pertemuan itu dengan jalan-jalan, naik perahu di Tanjungpriok di bawah sinar bulan.

Saat itu, kami belum membicarakan soal pernikahan. Yang saya ingat betul adalah “rasa senang”. Kemudian Jepang datang, dan hubungan kami pun terputus. Dan, ah, orangtuanya tak dapat menunggu keadaan yang tak pasti itu. Akhirnya, ia dikawinkan dengan orang lain. Hati saya runtuh. Itulah sebabnya, barangkali, saya tak terlalu bahagia untuk mengenang hal yang sudah lalu.

Jadi Wartawan Medan, bagi saya, juga mengingatkan pada seorang tokoh pers nasional, Adinegoro. Pada akhir 1930-an, semangat pemuda sedang meluap-luap menginginkan kemerdekaan. Ketika itu Adinegoro memimpin dua penerbitan, yaitu harian Pewarta Deli dan majalah Lukisan Dunia. Saat itu saya sudah 17 tahun dan mulai menulis di beberapa media, termasuk di dua penerbitan yang dipimpin Adinegoro itu. Namun, saat itu saya belum membahas sastra secara intens.

Satu-satunya esei yang saya tulis saat itu, tentang aliran romantik. Ketika saya duduk di kelas III HBS, timbul keinginan belajar jurnalistik. Saya ingin membuktikan kemampuan saya menulis. Kebetulan, saya libur dua bulan. Malam-malam, mata saya terbuka lebar memikirkan ide baru ini. Maka, esok paginya, dengan celana pendek, saya bergegas ke rumah Pak Adinegoro. Saya ketuk pintu rumahnya. Ia sendiri yang keluar mengenakan kimono. Rupanya, ia baru siap hendak mandi. “Saya ingin belajar jurnalistik dari Tuan.” “Wah, saya tak punya waktu. Tapi, kalau mau langsung praktek, datang saja ke kantor. Kau bisa belajar menerjemahkan berita-berita yang dikirim kantor berita asing, dan menyusunnya menjadi tulisan. Bagaimana? Kapan mau mulai?” “Sekarang, Tuan,” jawab saya mantap.

Hari itu juga saya berkenalan dengan dunia jurnalistik. Dimulai dari menerjemahkan macam-macam berita dari kantor berita Aneta (yang kemudian menjadi Antara), kemudian belajar memperbaiki dan mengedit hasil laporan wartawan. Saya juga belajar membuat reportase, stenografi, dan sekaligus memotret. Lama-kelamaan saya dipercaya ikut menonton review film-film baru. Karena saya lagi magang, saya tak mendapat gaji. Tapi saya merasakan manfaat jurnalistik yang luar biasa. Terlebih lagi setiap kali tulisan saya dimuat, saya mendapatkan honorarium satu ringit — jumlah yang besar pada masanya.

1939 Masa HBS usai. Sebuah telegram dari Gorontalo dan kiriman uang 75 gulden menginginkan kedatangan saya. Dalam perjalanan pulang ke Gorontalo, saya mampir di Batavia, menginap di rumah keluarga Daud di kawasan Petojo. Saya ajukan keinginan saya yang sangat, untuk bertemu dengan Sutan Takdir Alisjahbana, seorang sastrawan yang namanya sudah menjulang saat itu.

Pertemuan pertama mengesankan. Kami berbicara, berbicara, dan berbicara. Kami sama-sama saling melontarkan pendapat tentang majalah Pujangga Baru, tentang kesusastraan, dan tentang bahasa. Bahkan, kami sudah sempat terbelit dalam sebuah perdebatan. “Bahasa Belanda lebih enak digunakan dibandingkan dengan bahasa Indonesia? Tidak,” kata Takdir dengan tegas dan mata berkilat.

Kilat mata yang masih terus terlihat hingga kini di usianya yang sudah mencapai 82 tahun. Saya bersikeras bahwa bahasa Belanda lebih enak di lidah. Ketika saya berlayar menuju Gorontalo, sesuatu yang lucu terjadi. Rupanya, surat Takdir juga ikut berlayar di kapal yang sama — begitu saya mendarat, saya menerima suratnya. “Di Balai Pustaka ada lowongan untuk pendidikan Hoofdredacteur (pimpinan redaksi). Jika Tuan berminat, datanglah,” bunyi surat itu.

Namun, kegembiraan saya akan tawaran itu harus saya tunda karena keinginan Ayah yang berlainan. Saya harus tinggal beberapa lama di Gorontalo, untuk magang di kantor asisten residen. Sebuah pekerjaan yang tak pernah saya bayangkan. Mengayuh sepeda, bermandi peluh pulang-pergi kantor. Dan setiap akhir bulan, saya hanya menonton rekan-rekan pegawai menghitung lembaran gaji mereka. Tapi, tentu banyak juga yang saya pelajari di kantor ini. Antara lain, bagaimana caranya berkorespondensi yang baik dan melakukan pengarsipan.

Rupanya, kerja administratif inilah yang kemudian membekali saya belajar mendokumentasikan karya-karya sastra di kemudian hari. Tapi, saya merasa itu bukanlah tempat saya. Saya lelah. Dan saya harus ke Batavia untuk bekerja di Balai Pustaka. Ketika akhirnya saya sampaikan keinginan yang tak tertahankan ini, Ayah tak membantah. Maka, saya pun berlayar kembali ke Batavia. Batavia Pagi hari, 1 Februari 1940.

Di kantor redaksi Balai Pustaka, Takdir mengerutkan keningnya, “Tuan siapa?” tanyanya memandangi pemuda berjas dan berdasi yang berdiri di hadapannya. Saya tunjukkan suratnya setelah berlayar bersama saya ke Gorontalo, barulah wajah Takdir mengembangkan senyum, “Ah, ya, ya, ya….” Hari itu juga, saya duduk bersama-sama. Tulis Sutan Sati, Armijn Pane, Aman Dt. Modjoindo, Nur Sutan Iskandar, dan, tentu saja, Takdir Alisjahbana. Saya segera ikut dalam tim untuk meresensi buku-buku yang kemudian dikirimkan ke berbagai media.

Resensi ini saya lakukan dengan sungguh-sungguh. Dan semangat saya mendokumentasikan tulisan-tulisan itu baru terlihat gunanya kemudian ketika semuanya dikompilasikan menjadi Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei yang kemudian mencapai empat jilid. Armijn juga sangat bersemangat memperkenalkan saya kepada banyak pemikiran Barat. Terutama dengan Freud, nama yang begitu banyak mempengaruhi penulisan Armijn dalam romannya, Belenggu, karya sastra Indonesia pertama yang menggunakan segi psikologi dalam.

Armijn juga menganjurkan saya membaca buku-buku filsafat. Begitu lengkapnya perpustakaan Balai Pustaka, hingga saya berkesempatan menjelajahi pemikiran-pemikiran Schopenhauer, Nietzsche, dan beberapa pemikir eksistensialis. Saya mempelajari intensitas hidup Nietzche melalui karyanya Also Sprach Zarathustra. Inilah pemberontakan terhadap moral dan pendidikan di Eropa yang saat itu dibelit oleh doktrin agama Kristen.

Lalu, saya baca pula Schopenhauer. Dia bertentangan dengan Nietzsche. Dunia ini maya, demikian Schopenhauer. Tidak, tolak Nietzsche, dunia ini bukan impian. Dunia ini kita. Manusia. Kitalah yang memutar dunia ini. Sementara itu, eksistensialisme mendarat di Indonesia sekitar tahun 1945. Saya pun berkenalan dengan Sartre, Camus, juga pemula-pemulanya.

Tentu saja, tak hanya pemikiran Barat yang saya geluti masa itu. Saya juga membaca filosof India, seperti Krishnamurti. Kebetulan, waktu itu saya bergabung dalam perkumpulan teosofi Blavatsky Park. Apa yang saya dapatkan dari teosofi? Perasaan bebas. Kebebasan. Suatu perasaan yang amat langka didapatkan dan diberikan. Satu hal yang saya ingat ialah: janganlah kita memaksakan anak-anak kita untuk menjadi apa yang kita kehendaki. Kenapa? Lihatlah alam sekitar kita. Begitu ragam pohon-pohon yang bertumbuhan di sekeliling kita. Ada pohon kelapa, ada pohon mangga, dan yang lain-lain. Mereka semua tumbuh secara alami menurut kodratnya. Tak bisa kita paksakan pohon-pohon ini menjadi pohon yang kita kehendaki. Jalan pikiran ini sangat meresap ke dalam diri saya.

Selain kebebasan, saya juga belajar menemukan diri sendiri. Saya belajar membebaskan dan menempatkan diri dalam hidup ini. Saya belajar banyak dari perkumpulan ini. Jadi, inilah dokumen kehidupan saya di tempat saya mengembara dalam berbagai alam pemikiran. Dari kiri, kanan, utara dan selatan. Saya larut di dalamnya, tapi terlepas dari pertentangan-pertentangan di antara mereka. Karena itu, semua pertentangan di antara berbagai pemikiran filsafat itu tetap harmonis dalam diri saya. Karena sikap saya pada pemikiran-pemikiran ini tak lepas dari keinginan untuk mempelajari perkembangan zaman.

Saya tak ingin seperti Sutan Takdir yang, menurut saya, tak mau menghargai perkembangan-perkembangan generasi muda. Misalnya sikap Takdir yang sulit sekali menghargai penemuan-penemuan dalam sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri. Selain sikap ingin mengikuti perkembangan zaman, keharmonisan dalam diri ini juga didukung oleh penghayatan saya terhadap isi Al Quran.

Rasanya, pemikiran Barat mana pun tak akan mengganggu religiusitas saya. Ini adalah sebuah proses penghayatan yang sangat berbeda. Saya sangat yakin bahwa apa yang tersebut dalam Al Quran itu adalah ayat-ayat yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad. Lihatlah, isinya begitu luas. Begitu tinggi. Begitu dalam. Dan bahasanya sangat indah. Tak ada satu bagian pun yang kurang dari bagian yang lain dalam kebenaran dan keindahannya.

Jadi, biarlah Nietzsche mengatakan “Tuhan telah mati”, atau Lekra memaki-maki saya. Tapi, isi tubuh dan batin saya sangat penuh dengan keyakinan saya pada ayat-ayat Allah. Chairil Anwar Seperti halnya dengan Leila, pertemuan saya dengan Chairil terjadi di perkumpulan kami di Medan. Bedanya, saya sudah melihat nama Chairil tercantum sebagai anggota redaksi Ons MULO Blad. Tulisan-tulisan Chairil, masa itu, berbentuk prosa. Saat itu Chairil baru 14 tahun, sedang saya lima tahun lebih tua.

Di perkumpulan kami yang mengorganisir kegiatan perpustakaan dan olahraga, saya bertemu dengan tubuh kurus itu. Ia senang sekali bermain pingpong. Ia selalu yakin pasti menang. Setiap kali mengalahkan lawan, Chairil berjingkrak, menjerit-jerit, dan bertepuk tangan. Tingkah laku inilah yang menarik perhatian saya. Ah, jadi inilah Chairil Anwar, pikir saya.

Perkenalan saya dengan Chairil selanjutnya terjadi di Batavia. Buat banyak orang, terutama para peminat sastra, mungkin ini satu dokumen yang terpenting dalam hidup saya. Ketika itu Jepang sudah masuk. Saya dipindahkan ke majalah Panji Pustaka yang dipimpin Armijn Pane. Sedangkan saya menjabat wakil pemimpin redaksi. Saat itu saya juga sedang getol menjelajahi toko buku Van Dorp dan kawasan Senen mencari buku-buku bekas.

Buku-buku itu saya kumpulkan karena saya mulai punya keinginan untuk membangun perpustakaan sendiri dan tidak bergantung pada perpustakaan Balai Pustaka belaka. Saya ingat, di antara banyak buku yang saya beli setiap saya terima gaji itu ada tiga buku bahasa Jerman yang saya sukai. Yang pertama berjudul Naturalismus, yang mengulas aliran naturalisme yang kedua Um Banne des Expressionismus yang berbicara tentang ekspresionisme. Sedangkan yang ketiga, Neue Sachlichtheit, yang mendiskusikan kesederhanaan baru.

Saya sangat tertarik pada ekspresionisme yang lebih langsung menyuarakan batin. Berbeda dengan naturalisme yang memberikan segala detail tentang pikiran dan kenyataan dari kelahiran hingga kematian.

Suatu siang, di sekitar 1943. Saya sedang duduk mengamati naskah, ketika seorang kurus, bermata merah, dan berambut kusut memasuki Balai Pustaka. Disodorkannya kertas-kertas itu. “Nih, sajak saya,” kata pemuda kurus itu yang tiada lain dari Chairil Anwar, dengan suara lantang. Nisan untuk Nenekanda Bukan kematian benar menusuk kalbu Keridlaanmu menerima segala tiba Tak kutahu setinggi itu atas debu dan duka maha tuan bertakhta.

Saya tatap wajah kurus dan mata merah itu. Sepasang mata galak yang nyala dan sarat dengan keinginan. “Bagus sekali,” kata saya. Lalu kami mulai membicarakan sajak yang ditulis pada Oktober 1942 itu. Itulah perkenalan saya yang lebih erat dengan Chairil Anwar. Saya usulkan sajak itu dimuat di Panji Pustaka. Namun, Armijn menolaknya karena individualisme Chairil yang terlalu dikedepankan. Padahal, saat itu Jepang sedang sibuk menjejalkan slogan kebersamaan Asia Raya. Dan, menurut Armijn, elemen kebaratan Chairil yang tampil jelas dalam sajaknya tidak tepat dimasyarakatkan. Ini sangat saya sayangkan. Saya merasa sajak Chairil perlu diketahui publik.

Belakangan saya ketik sajak-sajaknya yang berjumlah 20 buah itu rangkap enam. Saya sebarkan pada Takdir, Mohammad Said, Sutan Sjahrir (yang tiada lain paman Chairil) dan teman-teman lain, sedang aslinya saya simpan. Suatu hari Chairil menelepon. “Jassin, aku minta sajak-sajak asliku. ” Saya tanyakan buat apa ia meminta kembali sajak tulisan tangannya itu, karena saya ingin menyimpannya sebagai dokumentasi. “Kau juga untuk apa menyimpan-nyimpan? Itu sajak kan aku punya.” Saya jawab, “Kalau demikian maumu, baiklah.” Sajak tulisan tangan itu saya kembalikan.

Tapi sampai sekarang saya masih menyimpan sajak-sajak tulisan tangan Chairil yang lain. Kenapa saya begitu mempertahankan kelebihan sajak-sajak Chairil? Saya melihat pengaruh ekspresionisme dalam karyanya. Lihatlah baris-baris yang terdiri dari satu atau dua kata dalam sajak yang berjudul 1943: Mengaum! Mengguruh! Dalam buku Drift en Bezinning (Nafsu dan Pengendapan) yang berbicara mengenai persajakan dalam kesusastraan Belanda, diulas sajak-sajak yang harus melalui proses pengendapan dan sublimasi.

Saya kira sajak-sajak demikianlah yang mewarnai karya Chairil. Bait-baitnya tak hanya sekadar letusan-letusan saja. Ia tak akan pernah puas dengan sajak yang sekali jadi. Berhari-hari ia bisa berjalan dengan satu kata, lalu dikombinasikannya dengan kata lain. Ia pikirkan. Ia rasakan. Ia matangkan. Semua harus melalui proses pengendapan yang lama sekali. Kesan saya ini juga semakin kuat ketika terjadi insiden yang tak pernah saya lupakan.

Di tahun yang sama, Jepang mendirikan sebuah pusat kebudayaan. Sementara itu, dengan terbentuknya Himpunan Sastrawan Angkatan Baru, Armijn Pane dan kawan-kawan lain sering mengadakan diskusi sastra. Dalam diskusi itu saya mendapat giliran pertama berceramah. Pada waktu itu, saya masih agak terpengaruh oleh slogan Jepang yang menekankan segalanya untuk Asia Timur Raya. Saya katakan bahwa kita harus memberikan semangat perjuangan melalui karya sastra. Yang saya sebutkan sebagai contoh adalah sajak-sajak Ipih Hadi atau Asmara Hadi. Apa yang terjadi? Malam itu juga Chairil mengejek. “Itu semua cuma teriakan-teriakan. Semua orang juga bisa bikin sajak seperti itu.” Dia lantas melompat ke papan tulis. “Inilah contoh sebuah sajak,” katanya lantang.

Aku. Aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang…. Terjadi perdebatan panas. Chairil menganggap sajak yang saya jadikan contoh tidak jujur keluar dari hati penciptanya. Lama-kelamaan saya terdiam juga dan mulai melihat kebenaran Chairil. Saya sangat menyesal telah membuat ceramah seperti itu. Rosihan Anwar yang saat itu hadir memberi komentar melihat sepak terjang debat Chairil, “tapi kalau Saudara bersikap seperti itu, bisa mati digebuk orang . . . ” Chairil dengan “keakuan”-nya memang menunjukkan ketakpeduliannya.

Buyung Saleh bahkan mengatakan sikap Chairil dalam sajaknya tak baik dan itu hasil dari orang yang tak mau berpikir panjang. Sajak Chairil yang dianggap individualistis ini ditolak oleh harian Asia Raya karena dianggap tidak sesuai dengan cita-cita Asia Timur Raya ketika itu. Akhirnya sajak Aku dimuat di Panji Pustaka. Namun, judulnya terpaksa diganti jadi Semangat. Buat saya, hal itu justru merusak identitas sajak itu sendiri, yakni keindividuannya.

Persahabatan saya dengan Chairil berlangsung terus. Dia memang tidak punya pekerjaan tetap. Dia memilih mengabdi pada seni. “Jassin, dalam kalangan kita sifat setengah-setengah bersimaharajalela benar. Kau tentu tahu ini. Aku memasuki kesenian dengan sepenuh hati . . . ,” demikian tulis Chairil pada saya dalam perjalanannya ke Jawa Timur, 8 Maret 1944.

Chairil sering gelisah dengan sajak-sajaknya. Setiap kata dipikir dan ditimbangnya benar. “Jassin prosaku, puisiku juga, dalamnya tiap kata akan kugali-korek sedalamnya, hingga ke kernword kernbeeld . . . ,” katanya dalam kartu pos dari Paron, Jawa Timur. Chairil datang mengunjungi rumah saya atau kantor, keluar-masuk semaunya saja. Tingkah lakunya sangat seenaknya. Dia akan mengangkat kaki dan berbicara begitu lantang ketika mengkritik orang.

Pengarang-pengarang tua seperti Dt. Modjoindo dan Tulis Sutan Sati banyak yang tak menyukai sikapnya. “Siapa anak muda yang bertingkah seperti itu?” Memang tak mudah untuk menyenangi tingkah laku Chairil. “Gantung saja dia,” kata Dt. Modjoindo dengan muka sebal. Bila dia masuk ke rumah, dan saya tak ada, dia akan meminjam buku-buku atau mesin ketik saya. Ada yang dikembalikan dan ada pula yang tidak, misalnya Belenggu. Saya kesal buku-buku ini tak kembali, karena saya sudah memberi catatan-catatan di pinggirnya.

Terkadang dia datang naik becak, dan dia minta saya membayarnya. Atau dia akan menunjukkan sajak-sajaknya lalu bercerita bahwa pamannya, Sjahrir, tak menyukai sajaknya Diponegoro. Padahal, menurut saya, itu adalah salah satu sajaknya yang menunjukkan bahwa ia juga seorang yang patriotik. Tapi ia gelisah juga jika dikritik pamannya.

Tahun 1945, ketika kami menerbitkan majalah Pantja Raja sebagai pengganti Panji Pustaka, sajak-sajak Chairil mulai bertaburan. Namanya menjulang tinggi. Dan Chairil tetap tak pernah berubah. Aksi militer pertama meletus. Kami semua keluar dari Balai Pustaka, dan jadilah saya penganggur. Tapi itu hanya berlangsung sebentar, karena Anjar Asmara mengajak saya bekerja di Mimbar Indonesia.

Suatu hari, di ruang redaksi, pelukis Baharuddi mengatakan ada sesuatu yang mengejutkan saya. “Menurut Taslim Ali, ada kemiripan antara sajak Krawang-Bekasi karya Chairil dan The Dead Young Soldiers tulisan Archibald MacLeash.” Saya sempat kecewa juga mendengar pernyataan ini, meskipun saat itu saya belum pernah membaca sajak MacLeash. Tapi saya tetap bertanya-tanya, kalau pun itu sajak plagiat, kenapa bisa begitu bagus. Apakah memang sajaknya yang bagus atau terjemahannya yang bagus? Terjadilah debat di antara kawan-kawan. “Ini bahasa Chairil. Tak mungkin sajak ini hasil plagiat. Rasa hidup yang tercermin dalam Krawang-Bekasi adalah rasa hidup Chairil,” kata pengarang Balfas yang menyenangi karya-karya Chairil. Saya masih bertahan pada keraguan.

Saya pikir, kalau pun ada persamaan, saya rasa tak mungkin sajak itu jiplakan. Ketika suatu kali sajak The Dead Young Soldiers tiba di meja saya, saya perhatikan dengan saksama. Ternyata, ada beberapa perbedaan yang mendasar antara kedua sajak itu. Lihatlah, kata-kata dalam sajak Chairil begitu bagus dan gambarannya lain sama sekali dengan sajak MacLeash. Memang mereka membicarakan hal yang sama. Tapi kalaupun orang mengklaim Krawang-Bekasi adalah sajak terjemahan, ya sebenarnya tidak juga. Saya merasa bahwa sajak ini sungguh-sungguh sesuatu yang dirasakan Chairil Anwar. Katakanlah, sajak MacLeash itu adalah katalisator untuk penggerak dan penciptaan Krawang-Bekasi.

Akhirnya saya menyetujui pendapat Balfas. Oleh karena pengungkapan sajak Chairil ini lain, sajak ini tetap Chairil. Saya tak mengatakan sajak itu asli Chairil. Saya tetap menunjukkan ia dipengaruhi sajak MacLeash, tapi Krawang-Bekasi tetap punya pribadi sendiri. Chairil bukannya manusia yang tidak butuh uang. Suatu kali ia memang membutuhkannya. Lalu ia menerjemahkan sajak pujangga Tiongkok Hsu Chih-Mo, dengan judul Datang Dara Hilang Dara. Dan dicantumkannya namanya sendiri. Dan inilah yang membawa kami pada suatu perkelahian.

Saat itu tahun 1949, saya sedang bermain sandiwara di Gedung Kesenian Jakarta. Di belakang layar, saya duduk dan mencoba memasuki sebuah peran. Malam itu saya bukan Jassin. Saya adalah seorang mantri yang bekerja pada seorang apoteker. Rosihan Anwar yang berperan sebagai apoteker itu menyimpan keinginan untuk menghancurkan musuh dengan alat peledak penemuannya. Dan saya, dalam peran itu, mengetahui rahasia ini. Tapi saya tak boleh membuka mulut. Ini semua sudah diatur dalam lakon Api karya Usmar Ismail yang juga menyutradarai sandiwara ini.

Sementara saya duduk meresapi peran itu, tapi hei, kenapa si kurus itu lalu-lalang di muka saya? “Hmh . . . ,” dia mencibir. Dan segera berkelebat ingatan saya pada tulisan terakhir saya di Mimbar Indonesia berjudul Karya Asli, Saduran dan Plagiat. Dan saya segera tahu arti cibiran itu. Meski saya membela Krawang-Bekasi, tak pelak Chairil merasa tersindir dengan tulisan saya itu. “Kamu cuma bisa menyindir saja! Tak ada yang lain!” teriaknya. Saat itu saya sudah telanjur menghayati tokoh mantri yang tertekan. Dan hati saya jadi panas. “Saya juga bisa lebih dari itu!” kata saya.

Dan buktinya . . . buk! Saya tumbuk dia. Tubuh kurus itu terpelanting. Orang-orang berkerumun. “Ada apa?” teriak Usmar Ismail. Dan layar siap terangkat. “Jassin memukul Chairil,” teriak yang lain. Kami dilerai. Chairil didorong keluar. Nyata sekali ia kaget, karena selama ini saya sangat jarang berbicara dan hampir tak pernah marah. Kawan-kawan pun tercengang, bagaimana seorang Jassin yang begitu penyabar bisa memukul Chairil?

Layar terbuka. Babak demi babak dimulai. Dan ternyata Chairil menonton dan duduk tepat di muka sekali. Semula saya tak memperhatikannya. Tapi saya lihat ia menunjuk-nunjuk saya…. Beberapa waktu kemudian, saya dengar ia suka ke Taman Siswa tempat Affandi biasa melukis. Eh dia latihan angkat besi. Tubuh kurus itu belajar angkat besi. “Aku mau pukul si Jassin,” katanya. Dan suatu sore dia muncul di ruang tamu. Saya bersiap menghadapinya.

Tapi tiba-tiba, “Jassin, saya lapar,” dengan gayanya yang biasa. Gaya Chairil …. Jumat pagi, 26 April 1949. Di atas delman dengan Takdir, kami ikut iring-iringan pemakaman Chairil menuju Karet. Di Karet, di Karet (daerahku yad.) sampai juga deru angin. Beraninya ia mengatakan itu dalam sajaknya, jauh sebelum ia meninggal. Saya kagum pada keberanian itu. Tak pernah saya berani membayangkan daerah di mana saya terbujur nanti.

Pada usia 27 tahun ia sudah berbaring tanpa nyawa. Dan kematiannya ini digunakan oleh kaum republiken untuk memperlihatkan persatuan dan solidaritas. Berbondong-bondong kami mengiringi penyair itu ke Karet.

“Paus” Sastra Indonesia Apa beda Angkatan 45 dengan Angkatan 66?

Memang benar, secara estetika, karya Angkatan 45 dengan 66 tak banyak berbeda. Namun, saya melihat segi sejarah dan politik yang begitu kuat. Bagi saya, timbulnya suatu angkatan selalu harus disertai unsur estetika, politik, dan sejarah. Apakah orang tidak menyetujui atau mengkritik pandangan saya, hal itu saya anggap sebagai pendapat yang lain. Yang jelas, saya mendapat beragam Julukan pada awal 1950-an — karena ada yang menganggap pengaruh saya terlalu besar dalam kesusastraan Indonesia. “Lihatlah pilihan Jassin dalam Gema Tanah Air. Berapa sastrawan yang dipilih itu masih hidup?” tanya Gayus Siagian menanggapi prasaran saya dalam Simposium Sastra Indonesia pertama.

Gayus menganggap pilihan saya tak bernilai, tapi toh “sastrawan selalu senang jika sudah disebut-sebut Jassin,” katanya. Karena ia menganggap saya begitu berkuasa, ia menjuluki saya “Paus Sastra Indonesia”. Nama ini bukanlah sebuah pujian, tetapi kritik untuk saya. Di dalam majalah Siasat Balfas mengatakan bahwa saya bukanlah seorang kritikus sastra yang baik karena ulasan saya kekurangan gagasan. Kritik sastra saya, menurut Balfas, lebih banyak memperhatikan banyaknya penerbitan daripada nilai-nilai buku itu sendiri.

Dan bagi Balfas, saya tak lain seorang administrator karena saya tukang mengumpulkan dokumen dan buku-buku. Tak lama kemudian, eseis Rustandi Kartakusumah menjuluki saya sebagai seorang diktator. Katanya, apa yang saya katakan selalu langsung saja diterima orang dan saya mempergunakan kepercayaan orang-orang itu dalam menilai sastra. Saya tak tahu kenapa Rustandi yang juga berusaha menulis sajak itu harus berpendapat seperti itu. Yang saya tahu, saya memang tak selalu menyukai sajak-sajaknya.

Pekerjaan seorang kritikus adalah menilai. Kita harus bisa menilai sebuah karya sastra dengan perasaan dan sejumlah kriteria. Jika tidak, maka nilai kritik itu tak akan bisa bertahan. Apa pun yang dikatakan Balfas tentang ulasan sastra saya, toh buku-buku saya masih dipakai oleh anak-anak SMA dan mahasiswa fakultas sastra. Orang-orang masih mengutip pendapat yang saya ucapkan 20 atau 30 tahun yang lalu. Saya sendiri heran. Mungkin ulasan saya lontarannya cukup jauh ke depan. Saya tidak sekadar asal ngomong ketika membicarakan karya-karya sastra. Selain saya ingin kritik saya bernilai, saya cukup berhati-hati untuk tidak menyakiti orang.

Pernah juga saya bertanya-tanya pada diri saya tentang kritik saya. Tapi ternyata saya lihat sastrawan pilihan-pilihan saya itu bisa survive. Seperti Amir Hamzah yang saya namakan Raja Penyair Pujangga Baru dan Chairil Anwar yang saya namakan Pelopor Angkatan 45. Dulu saya mengkritik beberapa tulisan, hingga orang yang dikritik itu “mati”. Akibatnya, saya malu bertemu dengan penulisnya. Saya kira sekarang, saya lebih diplomatis dan menonjolkan segi positif karya seseorang.

Jika saya tak membicarakan karya penulis, itu karena tulisannya memang tak baik atau saya sendiri tak mungkin membicarakan semua karya. Metode saya mengkritik juga sering dianggap tidak ilmiah. Saya memang khawatir jika menganalisa sebuah karya sastra dengan pendekatan yang terlalu ilmiah. Saya sangat mementingkan perasaan ketika membaca. Tapi toh saya bisa menghargai kritikus lain yang menggunakan pendekatan ilmiah, misalnya Subagio Sastrowardoyo dan Sri Rahayu Prihatmi. Mereka memang ilmiah, tapi tetap mementingkan kemanusiaan sebuah karya. Mereka menggunakan ilmu sastra, tetapi toh tetap menghargai keharuan.

Ditinggal Arsiti Bukan Leila dari Medan saja yang pernah menghampiri hati saya. Dalam lembaran-lembaran dokumentasi kehidupan saya, ada nama-nama Tine de Bruin, Rumi, Arsiti. Tine de Bruin, seorang perempuan Indo Belanda berkulit putih bersih dan berambut pirang. Jika saya memang mengawininya, bukan karena saya mencintainya. Saya sangat membedakan arti cinta, sayang, nafsu, dan kasihan. Saya iba pada Tine karena nasib yang menimpanya.

Ketika saya mulai berkenalan dengannya Tine di pertengahan 1944, suami Tine ditangkap Jepang. Sejak itu ia harus mengurus kedua anaknya sendiri dari nafkah yang ia dapat dari bekerja sebagai pelayan restoran. Kami memang dekat, tak lepas karena perasaan iba saya kepadanya dan anak-anaknya. Tahun 1946, suatu malam. seorang wanita berparas sederhana mengetuk pintu rumah. Ia datang untuk melamar pekerjaan. Kebetulan pula, saya sedang mencari seseorang yang dapat membantu pekerjaan saya. Maka, ia, Arsiti, saya terima bekerja di rumah.

Arsiti memang tidak berpendidikan tinggi, tapi ia mau belajar. Selama membantu di rumah, ia mengerti kecintaan saya pada buku-buku. Dia juga mengerti tingkah laku kawan-kawan saya, seperti Chairil, yang nyelonong masuk ke rumah dan meminjam buku atau menyantap makanan saya. Secara alami, Arsiti dan saya menjadi sepasang kekasih. Dan kami memutuskan untuk menikah.

Tak terkatakan betapa bahagianya ketika anak kami yang pertama, Hannibal, lahir pada 27 Mei 1947. Suatu malam, 1962, Arsiti mengeluh sakit perut. Mukanya pucat dan badannya panas. Ia berjalan ke serambi seperti setengah tak sadar. Disentuhnya pinggiran kursi. Ia masuk ke kamar lagi dan menatap wajahnya sendiri di muka cermin. Disentuhnya pipinya dan berkata, “Aku sehat, kan? Aku sehat, ya. . . ?” Kemudian ia berjalan ke sana kemari dengan gelisah. “Sebetulnya saya tak rela meninggalkan semua ini,” katanya. Jadi, ia sudah punya firasat.

Suasana di rumah terbangun seperti ada sesuatu yang akan terjadi. Saya merasa ada suara dari dunia lain yang merasuki telinga saya. Esoknya, saya bawa ia ke rumah sakit. Dan sore itu dia meninggal. Kami mengadakan pengajian sampai malam ketujuh. Kami kirimkan doa-doa untuk Arsiti. Malam kedelapan pengajian usai. Dan saya kesepian. Padahal, saya tetap ingin mengirimkan doa itu pada Arsiti. Lalu, timbullah keinginan untuk bisa mengerti apa yang saya baca. Maka, selama itu, setiap kali saya membaca dan meresapi ayat-ayat Al Quran, saya merasa Arsiti tetap hadir dalam kehidupan saya.

Sepertinya ia masih ada dan tetap berkomunikasi. Ketika ia sakit, ia pernah ngompol. Dan sampai ia meninggal, saya tak ingin mengganti sepreinya. Bau pesing itu menjadi nikmat buat saya…. Desember, sembilan bulan setelah Arsiti meninggal Lily — istri saya yang sekarang — sudah sering datang. Ia masih keluarga saya juga dan kami sudah lama saling kenal. Kami pun menikah pada 16 Desember 1962.

Pramudya dan Lekra

Saya sudah mengenal Pramudya Ananta Toer sejak 1946 ketika ia mengirimkan cerpennya ke Pantja Raja. Judulnya Ke Mana. Setahun kemudian ketika ia ditahan karena agresi militer Belanda, kami masih tetap berhubungan karena ia selalu meminjam buku-buku melalui Prof. Resink. Ketika ia bebas dari penjara pada 1949, hubungan kami tetap baik. Sebagai pengarang, Pram sangat produktif dan karya-karyanya yang baik bermunculan di berbagai majalah. Biasanya sebelum diterbitkan, karya-karyanya ditunjukkannya pada saya. Misalnya Mereka yang Dilumpuhkan dan Perburuan.

Pada 1953-54 Pram diundang oleh Sticusa (Stichting Culturele Samenwerking), atau Yayasan Kerja Sama Indonesia-Belanda, ke Belanda. Ternyata, di sana ia mengalami hal-hal yang kurang menyenangkan, sehingga waktu setahun itu tak dihabiskannya. Dalam keadaan frustrasi, ia kembali ke Tanah Air. Dan rupanya rasa frustrasi ini ditampung oleh Lekra. Ia diberi kesempatan berbicara di depan umum dan mengajar kesusastraan dan sejarah di Universitas Res Publika — yang sekarang menjadi Universitas Trisakti.

Jika ada undangan-undangan ke luar negeri, Lekra mengirim Pram sebagai pemimpin rombongan. Dan tentu saja ia harus menyuarakan kecenderungan politik Lekra. Saat itu terlihatlah sikapnya yang sudah kekiri-kirian. Sementara itu, redaksi Sastra selalu dikritik bahwa karangan yang dimuat tak memperlihatkan kerakyatan dan terlalu memihak pada kaum majikan. Kecaman semakin gencar dilancarkan melalui ruangan sastra Lentera di surat kabar Bintang Timur. Pengasuh ruang ini Pram sendiri.

Cerpen-cerpen, esei, dan sajak yang dimuat di situ sifatnya sangat agresif dan menghantam kiri-kanan. Seingat saya tidak banyak karya yang dimuat itu memiliki nilai sastra yang tinggi. Bagi saya ini bukan hal yang baik bagi sastra dan kemanusiaan itu sendiri, karena penekanannya menjadi politis.

Bayangkan, semua tulisan yang bagi mereka tak searah dengan aliran realisme sosial dihantam terus-menerus, baik yang dirnuat di majalah Sastra maupun media lainnya. Melihat sikap keras saya, Lekra berusaha dengan berbagai cara mempengaruhi saya. Pram pernah datang ke rumah. “Bung Jassin, sebenarnya rekan-rekan saya ingin menyerang Bung Jassin habis-habisan. Tapi saya yakinkan bahwa saya bisa bicara empat mata dengan Bung Jassin tentang bagaimana kita melihat sastra. Bung Jassin tak sadar sekarang ini adalah abad milik rakyat. Jadi, ukuran-ukuran sastra yang dipakai harus kerakyatan. Sebaiknya kita menjejakkan kaki ke bumi agar karya bisa mencapai orang-orang kebanyakan,” kata Pram.

Saya kira sastra memiliki ukuran dan nilai-nilainya. Isinya boleh apa saja. Tak harus bicara tentang senjata atau perjuangan secara harfiah, toh sastra itu bisa ditujukan untuk siapa saja. Kita bisa bicara tentang sebuah keluarga dan itu bisa sampai ke rakyat. Namun, selama perdebatan itu, saya memang lebih banyak berdiam diri dan menjawab seperlunya saja. Tapi sudah jelas, kami tak berjumpa dalam suatu titik temu. Apalagi saya tetap menekankan bahwa karya apa pun — apakah dia memakai nama rakyat atau tidak — jika memang tak baik, saya tak bisa menerimanya sebagai karya sastra.

Awal 1960-an, sesudah Bung Karno mengumumkan Dekrit Presiden dan Manipol-Usdek serta Nasakom, jurang pemisah antara Pram dkk. dan saya semakin lebar. Dengan gencar mereka menyerang siapa saja yang dianggap tidak merakyat. Lama-kelamaan serangan mereka bukan hanya terhadap ide sastra kami, tapi juga kepada pribadi-pribadi kami.

Agustus 1963. Kami merasa sudah saatnya menyatakan pemikiran tentang kesenian dan kebudayaan. Banyak seniman dan budayawan yang berdatangan ke redaksi Sastra di Jalan Raden Saleh 24. Ada Bokor Hutasuhut, Wiratmo Soekito, Zaini, Goenawan Mohamad, Arief Budiman, dan banyak lagi. Mereka mengutarakan pemikiran bersama dalam membentuk apa yang kemudian dikenal sebagai Manifes Kebudayaan.

Kelompok ini sebenarnya tidak sengaja dibentuk dan tak pula memiliki kartu anggota atau persyaratan administratif. Kami hanya kumpul-kumpul berdasarkan pemikiran dan perasaan yang sama. Kami tulis pernyataan itu sebagai sebuah antitesis dari slogan Lekra, “politik adalah panglima”. Sebab, amatlah berbahaya jika semua cara dihalalkan demi politik.

Teks Manifes kami lontarkan pertama kali di harian Berita Republik dan mendapat dukungan dari banyak seniman di Jakarta, luar Jakarta, dan bahkan yang sedang tinggal di luar negeri. Teks yang ditandatangani 20 orang pada 17 Agustus 1963 itu juga dimuat di majalah Sastra. Tanggal 8 Mei 1964, pagi hari. RRI mengudarakan larangan resmi Presiden Soekarno terhadap Manifes Kebudayaan.

Kami, para penanda tangan, dianggap kontra revolusi dan menentang ManipolUsdek. Meski saya tak terlalu heran dengan larangan ini, saya kecewa juga. Toh saya mengerti posisi Soekarno yang memang tak bisa berbuat lain. Mungkin, sebagai seorang ayah ia tak ingin anak-anaknya bertengkar terus-menerus. Tentu saja pelarangan inilah yang diinginkan Lekra sejak semula. Sejak hari itu dan seterusnya kami “dibersihkan” habis-habisan: di instansi pemerintah dan nonpemerintah, di kampus-kampus digeser atau langsung dinonaktifkan.

Untuk menghindari pengganyangan yang lebih ganas, kami mengirim telegram permintaan maaf kepada Soekarno. Tapi ini pun hampir tak ada gunanya. Buku-buku para Manifestan dilarang terbit dan beredar. Mendadak buku-buku saya menghilang dari toko buku Gunung Agung. Penerbitnya menceritakan bagaimana Pemuda Rakyat ramai-ramai mendatangi toko itu dan mempertanyakan kenapa buku Jassin masih bercokol di situ. Dan tentu saja penerbitnya ketakutan.

Di Lembaga Bahasa tempat saya bekerja, saya menyadari bahwa sebagian anak buah saya adalah mahasiswa yang sering datang ke Bintang Timur. Saya menyadari bahwa mereka memata-matai saya setiap hari. Tapi saya tak ambil pusing. Bahkan pernah secara terang-terangan salah satu dari mereka menyampaikan pesan Pram agar surat-surat pribadi Pram yang saya simpan dikembalikan. Barangkali ia takut persahabatan saya dengannya dulu itu bisa membahayakannya. Udara busuk dan penuh kedengkian ini mencapai puncaknya ketika saya dibebastugaskan dari tugas mengajar di Fakultas Sastra UI.

Sebelumnya saya sudah mengajukan surat pengunduran diri untuk menghindari korban yang berjatuhan. Saya jadi semakin rajin memperdalam Islam dan ayat-ayat Quran. Di tengah galau tak menentu itu, saya mencoba menerjemahkan The Spirit of Islam karya Syed Ameer Ali menjadi Api Islam. Sementara itu, Masagung, pemilik penerbit dan toko buku Gunung Agung itu, dengan baik hati tetap membayar honor buku-buku saya, meski untuk sementara buku itu dihentikan peredarannya.

Menerjemahkan Al Quran Musim gugur di Leiden, September 1972. Di apartemen Kampung Melayu di mana mahasiswa Indonesia dan Malaysia wira-wiri, saya memandangi daun-daun memerah lantas gugur berderai-derai. Udara yang sejuk itu merangsang saya menerjemahkan ayat demi ayat Al Quran indah yang saya cintai itu. Buku Mulia itu saya tenteng ke mana-mana: London, Paris, dan kota-kota lainnya di Eropa.

Sejak 1950 saya mulai berkenalan akrab dengan Al Quran. Sejak saya masih menjadi mahasiswa Prof. A.S. Alatas, Prof. Prijono, dan Prof. Hussein Djajadiningrat. Di Fakultas Sastra UI, kami diwajibkan belajar sastra Melayu yang banyak menggunakan idiom bahasa Arab serta ayat Quran. Maka, kami harus belajar bahasa Arab, serta ayat Quran. Ketika itulah saya melihat betapa indah dan puitisnya terjemahan Al Quran karya Marmaduke Pickthallt, The lorious Koran. Bandingkanlah dengan terjemahan Mahmud Junus dalam bahasa Indonesia, yang terlalu mengikuti lekuk bahasa Arab, hingga keindahannya berkurang.

Pada saat Arsiti pergi, saya semakin ingin memasukkan ayat-ayat itu ke dalam diri saya dan mengirimkannya kepada orang yang pernah berarti dalam hidup saya. Saya pelajari Al Quran dengan saksama selama 10 tahun 5 bulan. Tidak hanya mempelajari Al Quran secara akademis saja, tapi bahkan ayat-ayat itu menjadi bagian dari diri saya. Di mobil saya selalu menghafal dan membaca ayat Kursi, atau ayat-ayat lain yang saya sukai. Maka, begitu orang mendengar si Jassin yang “tak tahu apa-apa tentang Islam” itu akan menerjemahkan Al Quran, ributlah semua.

Lalu, atas inisiatif Gubernur Ali Sadikin, saya dipertemukan dengan Majelis Ulama cabang Jakarta di rumah Gubernur di Jalan Taman Suropati. Saya bawa dua kopor berisi beberapa Al Quran asli yang saya hayati dari hari ke hari, buku-buku terjemahan dalam bahasa Indonesia, Inggris, Belanda, Jerman, dan Prancis, bermacam kamus Arab dan banyak catatan saya selama mempelajari Quran. Melihat buku-buku bahasa Arab itu dan mendengar penjelasan saya, hilanglah desas-desus bahwa saya menerjemahkan langsung dari bahasa Belanda.

Sekitar 20 orang ahli agama menanyai saya dengan ramah. “Pak Jassin, apakah Pak Jassin mengetahui bahwa menerjemahkan Al Quran itu memerlukan bermacam-macam ilmu. Dan kenapa Pak Jassin ingin menerjemahkan Al Quran?” tanya ulama pertama. “Sebelum saya menjawab pertanyaan Bapak, izinkanlah saya menjelaskan kenapa saya tertarik menerjemahkan Al Quran,” jawab saya.

Maka, saya jelaskan ketertarikan saya, dulu hingga kepergian Arsiti. Saya jelaskan semua proses pemahaman dan penghayatan saya, dari hari ke hari hingga bertahun-tahun. Kemudian saya jelaskan pula bahwa saya ingin Al Quran dimengerti dan dihayati dengan bahasa yang baik dan puitis. Mendengar penjelasan saya panjang-lebar, akhirnya para ulama itu mempercayai usaha saya. Dan akhirnya mereka bersedia membantu menilai hasil terjemahan saya kelak.

Selanjutnya saya dipersilakan memilih sendiri anggota tim penilai itu, di antaranya Bapak Muchtar Luthfi al-Anshory, ulama yang berjiwa seni. Tentu saja, ada berbagai reaksi pada penerbitan terjemahan Al Quran yang saya beri judul Bacaan Mulia itu. Ada hantaman, ada caci-maki, bahkan ada tantangan untuk berdebat di muka umum. Dan ini semua saya hadapi dengan tenang. Tapi, hingga cetakan ketiga yang segera akan terbit, saya kira Allah swt. tetap melindungi saya dan mengetahui maksud baik saya.

Saya ingat keterharuan ulama dan pengarang besar Hamka ketika saya sampaikan keinginan saya menerjemahkan Al Quran — begitu pengadilan kasus Langit Makin Mendung usai. Dia mengerti benar bahwa saya tahu bagaimana menerjemahkan Max Havelaar yang saya lakukan dalam 12 bulan itu, dan bagaimana pula menerjemahkan Al Quran. Bagi saya, yang terakhir ini adalah sebuah tugas yang harus saya lakukan dengan penuh penghayatan. Itulah sebagian kecil dari dokumentasi kehidupan pribadi saya.

Adapun Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Kompleks Taman Ismail Mrzuki, Jakarta, sampai kini menyimpan sekitar 30 ribu buku dan majalah sastra. Jika kau tengok lemari-lemari itu, yang penuh dengan kumpulan map-map tebal yang sudah mulai dikumpulkan sejak 45 tahun lalu, kau bisa lihat dokumentasi kehidupan sastra Indonesia. Impian saya — meski tak seliar mimpi para seniman — ialah mendirikan dokumentasi sastra dunia. Bertingkat-tingkat. Sastra Asia, Afrika, Eropa, Amerika, Amerika Latin. Ya, semuanya. Jadi jika kita memasuki gedung itu, kita seperti memasuki dunianya sastra dunia. Dan itu saya usahakan di hari-hari saya yang tua ini.

Meski sekarang pendengaran saya sudah semakin berkurang, hingga pernah menyerang rasa percaya diri, saya masih tetap memiliki keinginan yang kuat untuk membina sastra Indonesia. Saya masih berjalan kaki pulang-pergi dari rumah ke TIM, untuk bekerja bagi sastra dan seni.

Saya berjalan dan berjalan sambil menghafal ayat Al Quran. Mungkin kematian sama dengan gugurnya daun dari pohonnya. Kematian adalah sesuatu yang alami dan tak perlu disedihkan. Tapi, saya tak mau memikirkannya. Karena itu, setelah lelah berjalan saya hanya beristirahat sebentar. Lalu berjalan lagi, membuka buku-buku itu lagi. Dan, bait-bait sajak Chairil itu terus nyala dalam diri….

30 September 1989

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez