Kamis, 07 Juli 2011

Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (VII)

Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

VII
Bagian ini menuruti angka ganjil VII, sebagai letak pemberhentian atas ketaksesuaianku dengan Tardji. Yang bermula igauannya bahwa Tuhan berimajinasi, bermimpi, hingga menggugah diriku mendatangi:

Jika tidak satu pun kritikus dapat memberikan penilaian atau pemahaman yang meyakinkan atau malah hanya sekadar komentar asal bunyi atau lip service saja, maka pengarangnya harus angkat bicara.
Pengarang tidak mati karena karyanya selesai ditulis, tetapi malah harus hidup mendampingi karyanya yang “aneh” itu memberikan komentar, visi, dan penjelasan agar para pembaca yang kebingungan bisa mendapatkan bandingan dari penafsiran pengarang terhadap penafsiran pembacanya. Hal ini perlu karena pembaca tidak mendapatkan bandingan pengalaman dalam membacanya, karena karya itu adalah karya baru yang sebelumnya tidak memiliki pendahulunya.” (Esai pembuka, ihwal personal, dari buku Isyarat Sutardji Calzoum Bahri).
***

Sebuah karya dimaknai seni, dihasilkan para seniman, apakah lukisan, patung, musik, sastra dan lain-lain, hakikatnya ialah pengabdian atas hidup demi yang menghidupi. Peribadatan itu dikerjakan dengan sangat hati-hati, cermat-teliti, senantiasa mengolah kandungan nilai yang tengah dilebur dari jiwanya guna hasil-hasil di depan.

Pengarang ini berharap minim cacat, maka perevisian pandang sungguh penting, selain perbarui niatan pula daya termiliki. Hal itu dilakukan agar segar menapaki jenjang perluasan kesadaran akan tapak lelangkah menambah derajat yang dipunyai.

Di sana, usaha keras dituntut, kesuntukan direbut ruang sunyi pun keramaian mengisari. Kian matang direngkuh dalam perolehan orang-orang setelahnya. Akhirnya, kecewa terjadi oleh sikap meremehkan, abai sekitar penggarapan.

Puncak pengetahuan itu merupakan penggalian, mengeruk tanah kucurnya mata air hakiki, menaiki bukit yakin, keniscayaan takdir lekat di badan setanggung jawab, juga mencurigai hasil sebelum dan sesudahnya yang di waktunya kewaspadaan kembangkan jejaring getar menarik isyarat, firasat. Guna kemajuan bertingkat memantulkan balik kepasrahan tunggal, selepas melayarkan sampan pelita hati.

Sebab itu, suatu karya purna tak perlu dijelaskan pencetusnya, kecuali sekadar. Di sana tak menelisik dalam, hanya sejenis abstraksi bagi keliaran pembaca memperoleh kilatan cahaya, dengan sendirinya tahu keberadaan nilai-nilai tersebut dari dalam dirinya, bukan berasal pemahaman penciptanya bulat-bulat. Di sini tanggung jawab sementara itu, dan pengantar dapat dikerjakan orang lain; pengamat, kritikus, kawan, atau musuh kreatif.

Jika seniman menerangkan detail hasil karyanya, itu bukan tangung jawab, melainkan karyanya memang bobrok, sehingga butuh alat pengantar si empunya, meski karyanya dibilang cetusan baru, mazhab aneh sekalipun. Apalagi mantra, bukan asing untuk warga dunia yang membongkar makna di balik alam kebendaan.

Kalau mengudar detail, aku curiga batinnya belum ikhlas melepas. Ada penyesalan di wajah karyanya. Ternyata, ciptaannya memang tak bisa dinikmati dan tidak memuaskan batin. Itu kegagalan seniman. Tidak melempar jejaring komunikasi, wewarna dierami nan pernah disenggamai berkeseluruhan diri.

Dari itulah, pokok karya cipta ialah konsep selalu ditempa. Jika terjadi gelagat kemiringan, lekas dibenahi agar bangunan yang dicanangkan tidak buyar menimpahi penikmat juga dirinya. Nyata, karya diinginkan merentang umur panjang, ambruk sedurung menujah pembaca, tersebab cecabangnya lelaku sekadar perkiraan, belum diuji, meski di tingkatan terendah.

Ini biasanya pada seniman ambisius berkeyakinan tanggung, tapi jarang mencurigai perolehannya dan cukup puas pendapatan yang dikunyah. Padahal bisa saja kunyahan pertama berlapis racun, sebelum mencapai isi buah demi ditanam di ladang kembara.
***

Dua paragraf di bawah ini, kupetik dari esaiku bertitel Intrik Penyair dan Karyanya, dalam buku Trilogi Kesadaran halaman 284:

Puisi ialah masa-masa mati. Terhenti atas kekakuan dirinya yang telah terselubung kelenturan. Ia tidak bisa bergerak terlampau jauh, ketika “kata-kata” sudah mewakili kehadirannya. Maka penciptaan puisi, sejenis latihan bunuh diri berkali-kali”.

Siapa yang mati di sana? Penciptanya, dipermalukan kejujurannya. Meski berselimutkan kerahasiaan, tetaplah ada keinginan untuk diketahui, difahami. Mungkin ini sisi lain kebinalan puisi sebelum mati, sedurung dikubur dalam keranda kata-kata”.
***

Rasa mati itu malu, dipermalukan, karena rahasia terkandung selama ini, hakikat puisi itu terketahui khalayak, meski berselimut nada kata-kata bermakna. Penyairnya menggigil seperti saat mencipta, malu membuatnya senantiasa berkarya, sebentuk nyawa rangkap yang terbit dari api semangat.

Mati berkali-kali laksana latihan bunuh diri. Seseorang seperti menjajal kesaktian dalam mempelajari kekebalan, diuji sampai memantapkan pribadi, dan memahami sejauh tingkat keilmuan yang dipelajari.

Jika mati di awal pertarungan, masih punya ribuan pasukan yang sudah ditempa untuk menuntut balas kekalahan saudaranya. Ini termasuk bentuk tanggung jawab, bukan membantu saat tengah bertarung dengan argumentasi pendamping seperti melemparkan tameng, kalau memang sudah lepas genggaman.

Detik-detik tanggung jawab hadir mengamati kekalahan pun kemenangannya, kala dibenturkan karya lain. Itu dipikul yang demen (kayungyung) kepadanya, karena penulisnya seperti ibu melahirkannya. Tidakkah ibunda malu, jikalau anaknya cacat? Ibunda sang kesatria merelakan anak-anaknya gugur di medan tempuran dengan bangga.

Arti tanggung jawab terletak saat-saat pembuaian, pertumbuhan, wewaktu perevisian. Ketika sudah diterbitkan, anak pasukan mengikuti jalur nasibnya sendiri, sejauh ketentuan dihasrati berdaya gravitasi termiliki atas serangan udara-darat dari angin bertubi perubahan mengendarai hukum alam. Maka kurang tepat jika Tardji memahami tanggung jawab seperti ini:

Dan lebih penting lagi dengan pengarangnya angkat bicara, ia telah menunjukkan tanggung jawabnya sebagai pengarang. Jika ia berdiam diri bisa timbul kesan hanya sekadar beraneh-aneh, cari sensasi, atau menulis secara untung-untungan atau dengan kata lain ia kurang bertanggung jawab atas karyanya”.

Tampak di sana Tardji beraninya main keroyokan kala dilihat anak-anak karyanya diudel-udel, diburaikan isi perut rangkaian ususnya membuyar di medan perang, pembelejetan dalam pengadilan. Kalau ikut cawe-cawe, kian kentara buruk karyanya, karena membuat penikmatnya kebingungan seribu keliling alun-alun.

Jangan salahkan jika pembaca tidak faham lantas dianggap bingung. Tapi perlu juga untuk mencurigai anak karya, apakah sudah ampuh atau masih kacangan yang kalah di arena pertandingan? Watak keroyokan kuanggap bentuk tidak faham tanggung jawab sejati, lebih bobrok menggalang kekuatan demi main keroyok.

Harusnya penyair mawas diri juga pada karyanya, sehingga dinaya yang keluar tidak sia-sia, apalagi menghamburkan kalimat sugesti tanpa dilandasi filosofi. Bersiap-siaplah terjungkal dan terpental keluar sedari lingkaran pengertian yang diharapkan, sebab tidak menempati kursi nyaman di dalam menggumuli karya. Konsep gusar hanya terbit dari mental-mental tanggung. Waspadalah, buah mentah membikin sakit perut!

Lantas apa jadinya pekerjaan pensyarah kitab, penafsir pengetahuan, dan kaum kritikus, kalau seniman yang menciptakan karya, menerangkan hasilnya sampai tetek bengeknya? Sebagaimana tuturan Tardji, “Jika tidak satu pun kritikus dapat memberikan penilaian atau pemahaman yang meyakinkan atau malah hanya sekadar komentar asal bunyi atau lip service saja, maka pengarangnya harus angkat bicara”.

Aku kira itu pantulan keragu-raguan pada karyanya. Ketidakpuasan di atas merupakan hasil temuan kritikus, tidak sesuai dengan dirinya di awal penciptaan. Bisa jadi, ini termasuk bentuk terlalu yakin diri kelewat, di samping para pengudar bayang-bayang. Padahal bayangan penerjemah dapat berlainan tetapi tetap sampai jua. Tidakkah penilaian orang lain cenderung mengisi?

Sepatutnya di sini wilayah keterlepasan. Ibunda para kesatria merestui anak-anaknya ke medan laga dan hanya doa serta usaha secukupnya. Misalkan membikin karya tandingan demi persiapkan gelombang balasan untuk kemajuan wibawa senimannya.

Tidakkah seniman (sastrawan) dituntut menyegarkan pandangan, seperti setiap pagi matahari terbit diganti perubahan bulan menerus, meremaja niatan, tak terlena. Dalam proses itu, tertanam sikap rela memenggal, mengubur lengan sampai seluruh tubuh karya, jikalau tidak punya kekuatan petarung. Jiwa karya bermental kesatria akan menginspirasi karya-karya setelahnya. Oleh sebab itu, kemandirian sikap karya diharuskan hadir, tidak ditutupi dengan angkat bicara yang menambah dangkal kehadirannya, dan membikin wagu keberadaannya sebagai kesatuan utuh sebuah karya cipta.

Pengecualian jika terpaksa, dipaksa, ibunda rohaniah karya ditodong keadaan terjepit. Ini pun harus digarisbawahi. Memberi gambaran di sisinya, mengeluarkan contoh lain sebanding dengan kasus tengah dihadapi agar tidak tampak lucu dan bisa mengurangi kewibawaan karya tersebut. Serupa penyelidik membuat undang-undang dengan menimba berbagai kasus keserupaan demi menurunkan nilai bijak tetap dalam lingkup cita-cita. Hal itu demi membangun sarana penalaran menuju pencerahan yang diingini lawan bicara.

Kalau dengan itu masih menuntut tanggung jawab yang tidak pada tempatnya, anggap saja lain kelas dengan memberi jalan secukupnya. Jalan kupasan tersebut seharusnya masih ada pembatas pada karya, agar tidak seakan menghidupi karya yang dianggap mati pengkritik.

http://sastra-indonesia.com/2011/06/menggugat-tanggung-jawab-kepenyairan-sutardji-calzoum-bachri-vii/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez