Judul : Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis
Prolog : Prof. Dr. Nur Syam, M.Si
Epilog : Prof. Dr. Abd. A'la, MA
Penerbit : Muara Progresif, Surabaya
Cetakan : I, Desember 2009
Teba : xii+224 hal.
Peresensi : Ach. Tirmidzi Munahwan
http://www.harianbhirawa.co.id/
"Kadang-kadang saya tidak bisa membendung bayang-bayang ilham dan kata-kata yang menyerbu hati dan angan-angan. Karena itu saya menulis, tersendat, dan terus menulis. Lagi dan lagi..." (D. Zawawi Imron).
Tak bisa dipungkiri, ungkapan penyair asal Madura itu merupakan aktivitas penulis. Tak hanya di saat mereka sedang bergairah. Di saat lelap hampir menyapapun seringkali lompatan demi lompatan kerangka tulisan mulai bermunculan dan menggugah untuk segera ditransfer dalam bentuk tulisan.
Setiap kali tragedi terjadi. Setiap orang selalu ingin mengungkapkan rasa berdukanya. Baik itu dalam bentuk do'a, kata-kata, perbuatan, maupun tulisan. Seringkali saat itulah ribuan kata mengerubuti kita seolah berlomba untuk menjadi bagian dari perwakilan rasa.
Karya dalam bentuk tulisan bermacam-macam. Mulai dari opini, essai, novel, resensi buku, semua tak bisa dilepaskan dari referensi. Baik berupa buku, pengalaman langsung maupun alam. Referensi itu tak akan utuh dan akan mudah terlupakan jika kita hanya membaca, dan mendiskusikan saja. Semuanya akan usang jika kita tak mencoba mentransfer pengetahuan dan pemahaman dalam bentuk karya tulis.
Menulis apa saja, butuh keuletan, perjuangan, ketabahan, kegigihan, untuk terus berlatih dan bersabar atas seribu kegagalan. Bahkan untuk mencapai hasil yang maksimal seseorang harus melakukannya (menulis) tak hanya sekali. Tapi, berpuluh, beratus, bahkan mungkin harus beribu tulisan.
Santri, dalam keterbatasan waktunya antara sekolah, mengaji, bahkan dalam segala hal mengantri (mandi, makan) ia harus meluangkan waktunya untuk banyak membaca. Di sela-sela mengaji, mengerjakan tugas, piket, serta keterbatasan kiriman yang sering mereka alami tak mengendorkan tekadnya untuk menambah referensi. Cemoohan dari teman-teman, kecewa tulisan tidak bagus yang akhirnya tidak muncul di media, merupakan sarapan bagi para penulis yang tertuang dalam buku 'Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis'. Mereka (para penulis jalan terjal santri menjadi penulis) walaupun tidak sehebat dan se-terkenal Ahmad Tohari, D. Zawawi Imron, Lan Fang. Namun, semangat mereka untuk terus berkiprah meramaikan dunia kepenulisan tak kalah dengan penulis tenar lainnya. Mungkin itulah usaha mereka untuk terus dan terus berkarya.
Dalam buku ini, mereka mengisahkan pahit-manisnya mencipta karya. Jatuh bangunnya rasa percaya diri yang seringkali pudar saat tulisan dinyatakan tak layak muat. Serta perjuangan mencari guru mereka lalui. Karena mereka berpedoman "kopi tak terasa nikmat jika tak dibubuhi gula". Karya takkan memuaskan sebelum mengalami kesulitan.
"Jika kamu bukan keturunan orang kaya (konglomerat) dan ulama (darah biru) maka jadilah penulis". Fatwa Imam Al-Ghozali inilah yang menjadi petunjuk dan sering mereka pegang teguh agar kehidupan mereka di alam yang fana ini lebih dihargai juga bermamfaat.
Menulis, tak hanya menjadi ajang pengeruk materi. Namun juga tersimpan kepuasan batin saat jerih payah mereka merangkai kata muncul di media. Bahkan dengan menulis, mereka bebas berimajinasi kemanapun, dengan siapapun yang mereka suka. Sebagian dari penulis, juga pernah menikmati hotel, pesawat, bertemu dengan orang-orang penting, serta menikmati suasana kota lain, bahkan beasiswa penuh hingga Wisuda. Luar bisa. Itulah hasil cipta karya mereka yang tak banyak orang menyadari.
Prestasi yang menghasilkan karya tersebut. Tentunya banyak hambatan. Tak hanya tanjakan tapi terjalpun tak luput dari perjalanan mereka. Harapan mereka saat menceritakan pengalaman, pelajaran, perjuangan, dan usaha seperti itulah agar para pembaca dan penulis pemula tak pernah menyerah dengan segala pernak-pernik yang mungkin kerap mengecewakan. Tulisan tak selesai, ditolak, dicemooh, itu merupakan bagian dari proses yang kelak akan menjadi prestasi dan kebanggaan tersendiri buat kalian. Khususnya penulis pemula yang sering merasa kesulitan dalam menghadapi berbagai macam rintangan untuk menghasilkan sebuah karya utuh.
Pesan tersirat yang ingin mereka sampaikan. Jangan pernah menyerah untuk terus maju, jangan malu untuk berproses menjadi lebih baik. Karena dalam tiap usaha dan kerja keras selalu ada hasil yang memuaskan.
Begitu banyak hal yang mereka tuturkan. Mulai dari bagaimana memulai sebuah tulisan, latihan yang mereka lakukan, proses mencoret, membuang, merangkai, hingga menghasilkan karya. Mulai dari menulis opini, essai, cerpen, resensi buku hingga kumpulan cerpen.
Dengan berbagai pengalaman, cara penuturan, serta karakter di tiap-tiap dan beragam pengalaman yang mereka ungkapkan, merupakan hasil usaha mereka untuk membuat sejarah yang diharapkan kelak bisa bermamfaat untuk diri mereka sendiri dan orang lain.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari para penulis yang mayoritas santri, dan sebagian besar telah menempuh Perguruan Tinggi. Juga aktif diberbagai kajian dan aktivitas yang tak jauh dari minat mereka. Mereka adalah Azizah Hefni, Mohammad Suhaidi RB, Salman Rusydi Anwar, Hana Al-Ithriyah, Ach. Syaiful A'la, Muhammadun AS, Ahmad Khotib, Ahmad Muchlish Amrin, Ana FM, Noviana Herliyanti, Rijal Mumazziq Zionis, Nur Faishal, dan Fathorrahman JM. Dalam buku ini, pembaca dapat menikmati kisah, perjuangan dan proses panjang mereka dalam menjelajahi dunia mereka. ***
*) Peresensi Adalah, Direktur Penerbit Muara Progresif Surabaya dan aktif di Pondok Budaya Ikon Surabaya.
Prolog : Prof. Dr. Nur Syam, M.Si
Epilog : Prof. Dr. Abd. A'la, MA
Penerbit : Muara Progresif, Surabaya
Cetakan : I, Desember 2009
Teba : xii+224 hal.
Peresensi : Ach. Tirmidzi Munahwan
http://www.harianbhirawa.co.id/
"Kadang-kadang saya tidak bisa membendung bayang-bayang ilham dan kata-kata yang menyerbu hati dan angan-angan. Karena itu saya menulis, tersendat, dan terus menulis. Lagi dan lagi..." (D. Zawawi Imron).
Tak bisa dipungkiri, ungkapan penyair asal Madura itu merupakan aktivitas penulis. Tak hanya di saat mereka sedang bergairah. Di saat lelap hampir menyapapun seringkali lompatan demi lompatan kerangka tulisan mulai bermunculan dan menggugah untuk segera ditransfer dalam bentuk tulisan.
Setiap kali tragedi terjadi. Setiap orang selalu ingin mengungkapkan rasa berdukanya. Baik itu dalam bentuk do'a, kata-kata, perbuatan, maupun tulisan. Seringkali saat itulah ribuan kata mengerubuti kita seolah berlomba untuk menjadi bagian dari perwakilan rasa.
Karya dalam bentuk tulisan bermacam-macam. Mulai dari opini, essai, novel, resensi buku, semua tak bisa dilepaskan dari referensi. Baik berupa buku, pengalaman langsung maupun alam. Referensi itu tak akan utuh dan akan mudah terlupakan jika kita hanya membaca, dan mendiskusikan saja. Semuanya akan usang jika kita tak mencoba mentransfer pengetahuan dan pemahaman dalam bentuk karya tulis.
Menulis apa saja, butuh keuletan, perjuangan, ketabahan, kegigihan, untuk terus berlatih dan bersabar atas seribu kegagalan. Bahkan untuk mencapai hasil yang maksimal seseorang harus melakukannya (menulis) tak hanya sekali. Tapi, berpuluh, beratus, bahkan mungkin harus beribu tulisan.
Santri, dalam keterbatasan waktunya antara sekolah, mengaji, bahkan dalam segala hal mengantri (mandi, makan) ia harus meluangkan waktunya untuk banyak membaca. Di sela-sela mengaji, mengerjakan tugas, piket, serta keterbatasan kiriman yang sering mereka alami tak mengendorkan tekadnya untuk menambah referensi. Cemoohan dari teman-teman, kecewa tulisan tidak bagus yang akhirnya tidak muncul di media, merupakan sarapan bagi para penulis yang tertuang dalam buku 'Jalan Terjal Santri Menjadi Penulis'. Mereka (para penulis jalan terjal santri menjadi penulis) walaupun tidak sehebat dan se-terkenal Ahmad Tohari, D. Zawawi Imron, Lan Fang. Namun, semangat mereka untuk terus berkiprah meramaikan dunia kepenulisan tak kalah dengan penulis tenar lainnya. Mungkin itulah usaha mereka untuk terus dan terus berkarya.
Dalam buku ini, mereka mengisahkan pahit-manisnya mencipta karya. Jatuh bangunnya rasa percaya diri yang seringkali pudar saat tulisan dinyatakan tak layak muat. Serta perjuangan mencari guru mereka lalui. Karena mereka berpedoman "kopi tak terasa nikmat jika tak dibubuhi gula". Karya takkan memuaskan sebelum mengalami kesulitan.
"Jika kamu bukan keturunan orang kaya (konglomerat) dan ulama (darah biru) maka jadilah penulis". Fatwa Imam Al-Ghozali inilah yang menjadi petunjuk dan sering mereka pegang teguh agar kehidupan mereka di alam yang fana ini lebih dihargai juga bermamfaat.
Menulis, tak hanya menjadi ajang pengeruk materi. Namun juga tersimpan kepuasan batin saat jerih payah mereka merangkai kata muncul di media. Bahkan dengan menulis, mereka bebas berimajinasi kemanapun, dengan siapapun yang mereka suka. Sebagian dari penulis, juga pernah menikmati hotel, pesawat, bertemu dengan orang-orang penting, serta menikmati suasana kota lain, bahkan beasiswa penuh hingga Wisuda. Luar bisa. Itulah hasil cipta karya mereka yang tak banyak orang menyadari.
Prestasi yang menghasilkan karya tersebut. Tentunya banyak hambatan. Tak hanya tanjakan tapi terjalpun tak luput dari perjalanan mereka. Harapan mereka saat menceritakan pengalaman, pelajaran, perjuangan, dan usaha seperti itulah agar para pembaca dan penulis pemula tak pernah menyerah dengan segala pernak-pernik yang mungkin kerap mengecewakan. Tulisan tak selesai, ditolak, dicemooh, itu merupakan bagian dari proses yang kelak akan menjadi prestasi dan kebanggaan tersendiri buat kalian. Khususnya penulis pemula yang sering merasa kesulitan dalam menghadapi berbagai macam rintangan untuk menghasilkan sebuah karya utuh.
Pesan tersirat yang ingin mereka sampaikan. Jangan pernah menyerah untuk terus maju, jangan malu untuk berproses menjadi lebih baik. Karena dalam tiap usaha dan kerja keras selalu ada hasil yang memuaskan.
Begitu banyak hal yang mereka tuturkan. Mulai dari bagaimana memulai sebuah tulisan, latihan yang mereka lakukan, proses mencoret, membuang, merangkai, hingga menghasilkan karya. Mulai dari menulis opini, essai, cerpen, resensi buku hingga kumpulan cerpen.
Dengan berbagai pengalaman, cara penuturan, serta karakter di tiap-tiap dan beragam pengalaman yang mereka ungkapkan, merupakan hasil usaha mereka untuk membuat sejarah yang diharapkan kelak bisa bermamfaat untuk diri mereka sendiri dan orang lain.
Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari para penulis yang mayoritas santri, dan sebagian besar telah menempuh Perguruan Tinggi. Juga aktif diberbagai kajian dan aktivitas yang tak jauh dari minat mereka. Mereka adalah Azizah Hefni, Mohammad Suhaidi RB, Salman Rusydi Anwar, Hana Al-Ithriyah, Ach. Syaiful A'la, Muhammadun AS, Ahmad Khotib, Ahmad Muchlish Amrin, Ana FM, Noviana Herliyanti, Rijal Mumazziq Zionis, Nur Faishal, dan Fathorrahman JM. Dalam buku ini, pembaca dapat menikmati kisah, perjuangan dan proses panjang mereka dalam menjelajahi dunia mereka. ***
*) Peresensi Adalah, Direktur Penerbit Muara Progresif Surabaya dan aktif di Pondok Budaya Ikon Surabaya.
Waah... Para sntri sekarang hebat yaa bisa menulis dan menjadi penulis.
BalasHapusSudah diterbitkan pula.
Selamat untuk mereka dan terus berkarya...!!
Ukir kata untuk salam sastra.