Draft Pembicaraan Atas Kumpulan Cerpen Syekh Bejirum dan Rajah Anjing Fahrudin Nasrulloh
M.S. Nugroho**
http://sastra-indonesia.com/
Membaca cerpen-cerpen Fahrudin Nasrulloh dalam Syekh Bejirum dan Rajah Anjing seperti mengikuti tradisi mawaca langsung dari kitab lama tanpa lagu. Artinya: tegang, sukar, ruwet, berbuih-buih, nglangit, nglangut, sekaligus penting, menantang, dan mengasyikkan.
Mawaca yang pernah saya saksikan dulu (sekitar tahun 1987) justru tanpa membaca kitab. Pembawa mawaca menyadari kalau bahasa yang dipakai sudah melewati masa yang berbeda, budaya yang berbeda, sehingga perlu strategi berbeda untuk menyampaikannya. Kitab itu memang di hadapannya tetapi langsung diterjemahkan dalam ragam lisan yang aktual. Dengan demikian bisa lebih komunikatif. Karena bersastra itu juga berkomunikasi, berkomunikasi yang estetis.
Pemilihan kata, pemilihan tema, dan keseluruhan struktur sastra itu untuk komunikasi tersebut. Komunikasi itu bias gayeng jika komunikan dan komunikator menyepakati simbol-simbol kebahasaan yang sama, atau yang diproyeksikan bersama.
Jika tidak, simbol-simbol kebahasaan itu– dalam kasus cerpen Fahrudin adalah diksi, akan tampak sebagai arkais, anakronis, atau secara umum dalam hal ini tampak sebagai eksotis. Namun ini membuat ruang pandang bahasa cerpen Fahrudin jadi lebih terbatas. Orang yang tidak menguasai istilah bahasa Jawa (misalnya getih, pejuh, cangkem, jedul, ujug-ujug, mungsret, jugrug, dan londo) dan beberapa istilah Arab (maqam, tarkhim) akan asing, atau menurut Umar Kayam kurang comfortable.
Demikian juga dengan tema-tema yang diusung akan berpengaruh pada kenyamanan komunikasi. Pada sisi lain, penggunaan diksi dan morfologis tertentu yang genit ini, (misalnya berkejora, debuan bergeliutan, mengecritkan, ternyana, pletikan, menyauk, dikesiur, diblejeti, sesengkringan, dumadakan, ecek-ecek, dan calang mata) tentu akan menyumbang khasanah bahasa Indonesia. Baik akhirnya berterima maupun tidak.
Kegenitan ini berlebih ketika menggunakan imagery. Contoh pada kutipan berikut.
Saat debur pikiran tersesat ke jurang mimpi yang tak mengenal gelap dan terang, dan ingatan meracau sendiri lewat sunyi lautan kubur api. (Syekh Bejirum dan Rajah Anjing)
Seolah lebih nyinyir dari kematian yang memburu memekik membacok dengkulnya. Menggempur kelopak mripatnya. (Abu Zardak)
Imaji yang ramai justru akan mengaburkan imaji itu sendiri. Bukankah tugas pengarang untuk mencarikan kata yang paling bisa mewakili kenyataan yang digambarkan?
Namun kegenitan itu tidak menampakkan diri ketika dia menggarap tokoh-tokoh lama, baik itu tokoh sejarah ataupun mitos. Biasanya penghadiran tokoh-tokoh seperti itu menimbulkan kegenitan tertentu atau keakraban yang mesra. Di dalam cerpen Fahrudin justru menjadi alienasi dan eksotis karena mungkin penyampaiannya yang melangit atau begitu jarangnya dikatakan atau bahkan dikenalkan. Atau bisa jadi karena tokoh-tokoh dititipi beban mistis dari awal hingga akhir.
Review 11 Cerpen
Cerpen pertama adalah Surabawuk Megatruh. Dikisahkan perdebatan Surabawuk, si pemuda 14 tahun yang luar biasa, dengan Kiai Hasan Besari tentang Tuhan. Pengakhiran yang tiba-tiba. Berhias mantra dan puisi, dialog panjang-panjang, — dan perasaan saya ini mulai pamit dari rumah cerpen.
Abu Zardak mengisahkan akhir misteri Abu Zardak di Dusun Tis di pegunungan wilayah Qulaiwah. Subjudul dalam selubung Bebayang Maya, Riwayat Kaum Pelukis Buta, dan Hikayat Kitab dan Waktu yang Berlorong. Andai setiap subjudul ditampilkan dengan aksi konkret dan bahasan yang dalam, ini tentu bisa menjadi prosa yang sangat menarik.
Arung Beliung bercerita tentang Aku yang mendapatkan rajah rahasia dari mimpinya. Sudut penceritaan berubah-ubah. Akuan, diaan, akuan, diaan. Dialog yang terpengaruh ragam tulis, misalnya … setelah saya telisik-teliti, disari-petilkan dari beberapa kitab: Risâlatu Manâthiqi al-Jin wa al-Junûn fi Allah karya Abi Jihaduddin Al-Kubra (953 M); Burhan al-‘Ilmi fi ‘Akhiri al-Zaman anggitan Ibnu Haramain al-Tubbaniy (1732 M); ‘Isyaratu al-Nujum wa al-Hilal fi Jaufi Manami al-Iblis karangan Ibnu Husain Iskandar al-Malaky (1678 M); Risâlatu al-Sihri wa Dhalâlatuhu karya Umar Huzail al-Madury (1689 M); Asrâr al- Manâm al-Ilâhiyyah inda Sâiri al-Sâlikîn buah tangan Azizuddin bin Azzam al-Qasyri (911 M). Hanya dari keajaiban Allah-lah kebenaran 30 kitab yang diceritakan Kiai Bahlawi tersebut dapat dipertemukan dan dipelajari secermat mungkin.”
Demikian papar Syekh Tumasik Khan Al-Hindy. Prahara Giri Kedaton bercerita tentang penangkapan Sunan Giri Prapen oleh Pangeran Pekik dan Mataram.
(Benarkah sewaktu hidup sudah disebut Sunan?) Penutup yang sangat lembut dengan sub judul Sehabis Empat Puluh Malam dalam Cahaya Ranjang. Kematian Sunan Giri Prapen (dan penyerahan Amongraga dan Tambangraras) disejajarkan dengan 40 hari kisah ranjang dalam Centini. Puisi yang luar biasa.
Sayangnya kurang proporsional karena panjangnya itu. Dari sekitar 1.928 kata, 757 kata (40%) adalah adegan penutup itu. Puputan Walanda Tack berisi adegan perang tanding Kapten Tack dan Surapati. Aksi teateral yang menarik dengan sedikit misteri meskipun di catatan kaki dijabarkan saling silang acuannya.
Memburu Maria Van Paousten. Kisah Bryan Marsden mencari ibu leluhurnya. Semacam cerita detektif yang dibumbui mistik. Penutupnya wajar dan menarik.
Duel Dua Bajingan. Duel Padas Getas dan Sawung Pati. Seperti adegan tempur di ludruk. Dialog berteriak dan kalimat panjang. Mantra-mantra diucapkan dengan jelas. Andai kalimat-kalimat analisis diganti dengan deskripsi yang lebih sederhana, saya kira akan lebih memikat.
Nubuat dari Sabrang. Teka-teki tentang keaslian sebuah tulisan Snouck Hurgronje. Sederhana namun manis. Ungkapan-ungkapan
lama dan umum bak disambar petir, mungkin perlu dipertimbangkan penempatannya.
Huru-Hara Babarong. Kisah serdadu Belanda yang diserang berandal di tempat pelacuran Babarong. Bahasa dibumbui kata sekitar sahwat kelamin. Menarik namun motivasi belum banyak diungkap.
Syekh Bejirum dan Rajah Anjing. Misteri Syekh Bejirum dan kitab lima belas jilid. Pengaluran yang agak “memaksa”. Satu misal saya kutipkan ini.
Inilah catatan berharga (dengan aksen tutur yang khas) yang tersisa darinya sebelum kapal yang mereka tumpangi lebur disapu badai hantu ombak laut: Kurang lebih dua minggu sebelum kapal yang kami tumpangi tinggal keeping-remah dan nyaris tak bersisa di antai utara Pulau Jawa. Gemuruh ombak bergulungan membadai dari segenap penjuru. Saat itu, langit menghitam dihempaskan taufan Jaljalut bersepuh arwah pahit hujan yang pernah dikisahkan para malaikat yang dibantai keturunan Iblis Jasim, dari sinilah asal-usul teka-teki mata tersihir kata, menggerakkan Syekh Bejirum untuk menerjemahkan dan mensyarah kitab entah itu. Bagaimana mungkin Wuragil menuliskan peristiwa yang belum terjadi? Catatan yang diberi keterangan dengan aksen tutur yang khas, tetapi tidak jauh berbeda dengan gaya pencerita.
Montel. Kisah pengalaman mistis Montel, salah satu murid Sunan Giri Prapen. Cerita yang menurut saya paling liris dan menemukan bentuknya yang tepat. Alur yang maju, episodik, hampir statik, dan sirkuler menambah kekuatan puisinya. Sayang pergeseran sudut penceritaan yang tanpa permisi dan tanda baca agak mengganggu kenikmatan resepsi. Karakter Montel juga samar dan datar.
Proyeksi
Saya mengagumi cerita-cerita Fahrudin dalam kumpulan ini. Saya berharap akan menemukan cerita-cerita yang lebih memikat dalam karya berikutnya. Bahasanya yang berhias puisi mungkin karena keinginan bawah sadar untuk menulis puisi? Mengapa tidak menulis prosa lirik saja? Atau puisi naratif dengan tipografi yang total? (Danarto dalam kumpulan cerpen Godlob, yang saya kira masih proporsional saja, menyadari bahwa itu tidak selayaknya. Maka lahirlah kumpulan cerpen Berhala dan Gergasi, yang menurutnya, dan temannya dari Bandung, itulah yang disebut cerpen. Meskipun saya sendiri agak kehilangan greget daya ekspresinya.)
Jika saja karakter cerita-cerita Fahrudin lebih berdarah daging, tidak banyak dititipi misi-misi pengarang, unik yang terbahas, dan penuh drama; bahasa yang komunikatif; dan apalagi ditambah teknik yang kreatif saya yakin akan menemukan Jorge Luis Borges yang baru. (Ha ha ha. Maaf..Maaf).
Alternatif lain. Apresiasi kitab-kitab lama dengan penuh cinta dan keikhlasan. Seperti halnya Annemerie Schimmel dalam Dan Muhammad Utusan Allah yang ketika membacanya saya selalu berderai air mata—bahkan ada teman yang ketika hendak membacanya selalu berwudhu dulu. Padahal isinya berupa apresiasi berbagai penyair tentang Muhammad dan ini bukan cerpen! Ha ha ha. Ini hanya keinginan penggemar. “Tentu saja terserah kaulah.”
* Disampaikan dalam GELADAK SASTRA # 15; BEDAH BUKU “SYKEH BEJIRUM dan RAJAH ANJING”, tanggal 3 April 2011, pukul 09.00 Wib, di Pendopo Al-Muhammady, Ds. Menturo-Kec. Sumobito-Kab, Jombang.
**) M.S. Nugroho, pelukis, tinggal di Jalan A.Yani 110 Mojoagung, Jombang. Epos: msnugroho572@gmail.com.
M.S. Nugroho**
http://sastra-indonesia.com/
Membaca cerpen-cerpen Fahrudin Nasrulloh dalam Syekh Bejirum dan Rajah Anjing seperti mengikuti tradisi mawaca langsung dari kitab lama tanpa lagu. Artinya: tegang, sukar, ruwet, berbuih-buih, nglangit, nglangut, sekaligus penting, menantang, dan mengasyikkan.
Mawaca yang pernah saya saksikan dulu (sekitar tahun 1987) justru tanpa membaca kitab. Pembawa mawaca menyadari kalau bahasa yang dipakai sudah melewati masa yang berbeda, budaya yang berbeda, sehingga perlu strategi berbeda untuk menyampaikannya. Kitab itu memang di hadapannya tetapi langsung diterjemahkan dalam ragam lisan yang aktual. Dengan demikian bisa lebih komunikatif. Karena bersastra itu juga berkomunikasi, berkomunikasi yang estetis.
Pemilihan kata, pemilihan tema, dan keseluruhan struktur sastra itu untuk komunikasi tersebut. Komunikasi itu bias gayeng jika komunikan dan komunikator menyepakati simbol-simbol kebahasaan yang sama, atau yang diproyeksikan bersama.
Jika tidak, simbol-simbol kebahasaan itu– dalam kasus cerpen Fahrudin adalah diksi, akan tampak sebagai arkais, anakronis, atau secara umum dalam hal ini tampak sebagai eksotis. Namun ini membuat ruang pandang bahasa cerpen Fahrudin jadi lebih terbatas. Orang yang tidak menguasai istilah bahasa Jawa (misalnya getih, pejuh, cangkem, jedul, ujug-ujug, mungsret, jugrug, dan londo) dan beberapa istilah Arab (maqam, tarkhim) akan asing, atau menurut Umar Kayam kurang comfortable.
Demikian juga dengan tema-tema yang diusung akan berpengaruh pada kenyamanan komunikasi. Pada sisi lain, penggunaan diksi dan morfologis tertentu yang genit ini, (misalnya berkejora, debuan bergeliutan, mengecritkan, ternyana, pletikan, menyauk, dikesiur, diblejeti, sesengkringan, dumadakan, ecek-ecek, dan calang mata) tentu akan menyumbang khasanah bahasa Indonesia. Baik akhirnya berterima maupun tidak.
Kegenitan ini berlebih ketika menggunakan imagery. Contoh pada kutipan berikut.
Saat debur pikiran tersesat ke jurang mimpi yang tak mengenal gelap dan terang, dan ingatan meracau sendiri lewat sunyi lautan kubur api. (Syekh Bejirum dan Rajah Anjing)
Seolah lebih nyinyir dari kematian yang memburu memekik membacok dengkulnya. Menggempur kelopak mripatnya. (Abu Zardak)
Imaji yang ramai justru akan mengaburkan imaji itu sendiri. Bukankah tugas pengarang untuk mencarikan kata yang paling bisa mewakili kenyataan yang digambarkan?
Namun kegenitan itu tidak menampakkan diri ketika dia menggarap tokoh-tokoh lama, baik itu tokoh sejarah ataupun mitos. Biasanya penghadiran tokoh-tokoh seperti itu menimbulkan kegenitan tertentu atau keakraban yang mesra. Di dalam cerpen Fahrudin justru menjadi alienasi dan eksotis karena mungkin penyampaiannya yang melangit atau begitu jarangnya dikatakan atau bahkan dikenalkan. Atau bisa jadi karena tokoh-tokoh dititipi beban mistis dari awal hingga akhir.
Review 11 Cerpen
Cerpen pertama adalah Surabawuk Megatruh. Dikisahkan perdebatan Surabawuk, si pemuda 14 tahun yang luar biasa, dengan Kiai Hasan Besari tentang Tuhan. Pengakhiran yang tiba-tiba. Berhias mantra dan puisi, dialog panjang-panjang, — dan perasaan saya ini mulai pamit dari rumah cerpen.
Abu Zardak mengisahkan akhir misteri Abu Zardak di Dusun Tis di pegunungan wilayah Qulaiwah. Subjudul dalam selubung Bebayang Maya, Riwayat Kaum Pelukis Buta, dan Hikayat Kitab dan Waktu yang Berlorong. Andai setiap subjudul ditampilkan dengan aksi konkret dan bahasan yang dalam, ini tentu bisa menjadi prosa yang sangat menarik.
Arung Beliung bercerita tentang Aku yang mendapatkan rajah rahasia dari mimpinya. Sudut penceritaan berubah-ubah. Akuan, diaan, akuan, diaan. Dialog yang terpengaruh ragam tulis, misalnya … setelah saya telisik-teliti, disari-petilkan dari beberapa kitab: Risâlatu Manâthiqi al-Jin wa al-Junûn fi Allah karya Abi Jihaduddin Al-Kubra (953 M); Burhan al-‘Ilmi fi ‘Akhiri al-Zaman anggitan Ibnu Haramain al-Tubbaniy (1732 M); ‘Isyaratu al-Nujum wa al-Hilal fi Jaufi Manami al-Iblis karangan Ibnu Husain Iskandar al-Malaky (1678 M); Risâlatu al-Sihri wa Dhalâlatuhu karya Umar Huzail al-Madury (1689 M); Asrâr al- Manâm al-Ilâhiyyah inda Sâiri al-Sâlikîn buah tangan Azizuddin bin Azzam al-Qasyri (911 M). Hanya dari keajaiban Allah-lah kebenaran 30 kitab yang diceritakan Kiai Bahlawi tersebut dapat dipertemukan dan dipelajari secermat mungkin.”
Demikian papar Syekh Tumasik Khan Al-Hindy. Prahara Giri Kedaton bercerita tentang penangkapan Sunan Giri Prapen oleh Pangeran Pekik dan Mataram.
(Benarkah sewaktu hidup sudah disebut Sunan?) Penutup yang sangat lembut dengan sub judul Sehabis Empat Puluh Malam dalam Cahaya Ranjang. Kematian Sunan Giri Prapen (dan penyerahan Amongraga dan Tambangraras) disejajarkan dengan 40 hari kisah ranjang dalam Centini. Puisi yang luar biasa.
Sayangnya kurang proporsional karena panjangnya itu. Dari sekitar 1.928 kata, 757 kata (40%) adalah adegan penutup itu. Puputan Walanda Tack berisi adegan perang tanding Kapten Tack dan Surapati. Aksi teateral yang menarik dengan sedikit misteri meskipun di catatan kaki dijabarkan saling silang acuannya.
Memburu Maria Van Paousten. Kisah Bryan Marsden mencari ibu leluhurnya. Semacam cerita detektif yang dibumbui mistik. Penutupnya wajar dan menarik.
Duel Dua Bajingan. Duel Padas Getas dan Sawung Pati. Seperti adegan tempur di ludruk. Dialog berteriak dan kalimat panjang. Mantra-mantra diucapkan dengan jelas. Andai kalimat-kalimat analisis diganti dengan deskripsi yang lebih sederhana, saya kira akan lebih memikat.
Nubuat dari Sabrang. Teka-teki tentang keaslian sebuah tulisan Snouck Hurgronje. Sederhana namun manis. Ungkapan-ungkapan
lama dan umum bak disambar petir, mungkin perlu dipertimbangkan penempatannya.
Huru-Hara Babarong. Kisah serdadu Belanda yang diserang berandal di tempat pelacuran Babarong. Bahasa dibumbui kata sekitar sahwat kelamin. Menarik namun motivasi belum banyak diungkap.
Syekh Bejirum dan Rajah Anjing. Misteri Syekh Bejirum dan kitab lima belas jilid. Pengaluran yang agak “memaksa”. Satu misal saya kutipkan ini.
Inilah catatan berharga (dengan aksen tutur yang khas) yang tersisa darinya sebelum kapal yang mereka tumpangi lebur disapu badai hantu ombak laut: Kurang lebih dua minggu sebelum kapal yang kami tumpangi tinggal keeping-remah dan nyaris tak bersisa di antai utara Pulau Jawa. Gemuruh ombak bergulungan membadai dari segenap penjuru. Saat itu, langit menghitam dihempaskan taufan Jaljalut bersepuh arwah pahit hujan yang pernah dikisahkan para malaikat yang dibantai keturunan Iblis Jasim, dari sinilah asal-usul teka-teki mata tersihir kata, menggerakkan Syekh Bejirum untuk menerjemahkan dan mensyarah kitab entah itu. Bagaimana mungkin Wuragil menuliskan peristiwa yang belum terjadi? Catatan yang diberi keterangan dengan aksen tutur yang khas, tetapi tidak jauh berbeda dengan gaya pencerita.
Montel. Kisah pengalaman mistis Montel, salah satu murid Sunan Giri Prapen. Cerita yang menurut saya paling liris dan menemukan bentuknya yang tepat. Alur yang maju, episodik, hampir statik, dan sirkuler menambah kekuatan puisinya. Sayang pergeseran sudut penceritaan yang tanpa permisi dan tanda baca agak mengganggu kenikmatan resepsi. Karakter Montel juga samar dan datar.
Proyeksi
Saya mengagumi cerita-cerita Fahrudin dalam kumpulan ini. Saya berharap akan menemukan cerita-cerita yang lebih memikat dalam karya berikutnya. Bahasanya yang berhias puisi mungkin karena keinginan bawah sadar untuk menulis puisi? Mengapa tidak menulis prosa lirik saja? Atau puisi naratif dengan tipografi yang total? (Danarto dalam kumpulan cerpen Godlob, yang saya kira masih proporsional saja, menyadari bahwa itu tidak selayaknya. Maka lahirlah kumpulan cerpen Berhala dan Gergasi, yang menurutnya, dan temannya dari Bandung, itulah yang disebut cerpen. Meskipun saya sendiri agak kehilangan greget daya ekspresinya.)
Jika saja karakter cerita-cerita Fahrudin lebih berdarah daging, tidak banyak dititipi misi-misi pengarang, unik yang terbahas, dan penuh drama; bahasa yang komunikatif; dan apalagi ditambah teknik yang kreatif saya yakin akan menemukan Jorge Luis Borges yang baru. (Ha ha ha. Maaf..Maaf).
Alternatif lain. Apresiasi kitab-kitab lama dengan penuh cinta dan keikhlasan. Seperti halnya Annemerie Schimmel dalam Dan Muhammad Utusan Allah yang ketika membacanya saya selalu berderai air mata—bahkan ada teman yang ketika hendak membacanya selalu berwudhu dulu. Padahal isinya berupa apresiasi berbagai penyair tentang Muhammad dan ini bukan cerpen! Ha ha ha. Ini hanya keinginan penggemar. “Tentu saja terserah kaulah.”
* Disampaikan dalam GELADAK SASTRA # 15; BEDAH BUKU “SYKEH BEJIRUM dan RAJAH ANJING”, tanggal 3 April 2011, pukul 09.00 Wib, di Pendopo Al-Muhammady, Ds. Menturo-Kec. Sumobito-Kab, Jombang.
**) M.S. Nugroho, pelukis, tinggal di Jalan A.Yani 110 Mojoagung, Jombang. Epos: msnugroho572@gmail.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar