Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/2011/05/language-of-causality-that-rahmatan-lil-alamin/
Bagian I
Prolog:
Sebelum membahas pokok persoalan, marilah berserah kepada Sang Penyebab segala sebab. Bagaimana dikatakan kegentingan, karena seringkali mengartikan akibat sebagai sebab, atau sebaliknya mengerti sebab padahal itu akibat. Tentu ini menghawatirkan kesehatan iman di alam fikiran. Jika yang terpaparkan nantinya tidak bertepatan dengan ketentuan ayat-ayat-Nya, tinggalkan. Andai ada senyawa tiupan-Nya yang tersirat pun tersurat, bukan dari penulis semata.
Saya berharap saudara memiliki jarak pengamanan agar yang tersampaikan bukan belenggu. Telah banyak para tokoh mengupas kausalitas, tapi perlu menilik ulang untuk mendapati pencarian bersesuaian pribadi. Tidakkah yang baru berangkat biasanya menemukan keganjilan. Harapan saya sanggup memberi kesan terdalam, menempati kedudukan sebab-akibat, atas kesamaan irama tarian Ilahiyah, amin.
Kegagalan teori Darwin terdapat pada pemilihan contoh, yang mana proses perjalanan idenya ditimpakan ke sosok makhluk hidup. Jika evolusinya memaknai kehadiran insan, mungkin hasilnya seperti ini. Secara ringkas saya mengguna teorinya kala menetapkan pijakan. Bahwa proses perubahan hidup manusia, pengalaman naik-turunnya hayati, sebagai penciptaan sebab dari kehendak Sang Penyebab. Lalu saya benturkan ke pandangan Nietzsche, yang menghilangkan tanggung jawab, karena meninggikan subyektivitas lewat melenyapkan fungsi ketuhanan.
Sebelum jauh, saya kemukakan keterangan apa itu: Sang Penyebab segala sebab (1), penyebab yang menyebabkan (2), penyebab mendekati pengakibatan (3), dan pengakibatan menuju pengakibatan akhir atau akibat (4). Dari sini jelas antara saya dan pandangan umum, maupun penggagas Nietzsche. Bedanya, saya menawarkan empat poin, sedangkan kaca mata umum memiliki dua, sebab-akibat. Sebenarnya saya menggunakan karakter tersebut, tetapi mencolok berbeda saat terbeberkan sebagaimana di bawah ini.
(1) Sang Penyebab segala sebab
Kita tidak memungkiri alam semesta yang tersaksikan, diciptakan oleh Penyebab segala sebab. Ketinggian drajad pencipta-Nya dalam keseluruhan permasalahan. Dzat-Nya bukan berasal penciptaan mistis, apalagi abiogenesis. Dia bukan dari ketinggian uap yang naik-turun dan menjelma bebintik makluk hidup, lantas membesar membiak, tidak.
Tidak pula dari unsur-unsur bumi, Dia menciptakan kejadian dan mengambil unsurnya untuk kehidupan insan penghuni dunia. Dia bukan beranak dan tidak diperanakkan, apakah buaian makluk hidup atau batu, tidak. Dia menggerakkan setiap kesadaran dan kelalaian, terlena atas hamparan fatamurgana ujian-Nya. Dia penyebab segala kebaikan, pencipta percoban bagi makluknya dalam keseimbangan karya.
Dia penyeimbang yang bukan dari keadaan diciptakan-Nya, atau Dia penyelesai masalah dari kasus-kasus yang diciptakan-Nya. Dia Maha Mengetahui atas apa yang sedang dilakukan setiap makluknya, sebagai Penguasa sebelum dan sesudahnya kehidupan.
Dia bukan matahari menyinari kehidupan, bukan rembulan yang meneduhkan malam. Dia pencipta planet-planet juga gemintang, menguasai seluruh galaksi yang kita ketahui pun yang tidak tampak. Dia maha berkehendak mempercayakan wakil-wakil-Nya sebagai pengatur kehidupan di muka bumi, dalam kuasa gravitasi dan di luarnya.
Dia penggagas yang tiada siapa pun membandingi kebijakan-Nya yang melampaui material dan bathiniah. Penguasa mikro kosmos dan makro kosmos, serta di luar batasan-batasannya. Dia ketinggian hukum di atas hukum kesementaraan manusia, semua hukum yang diciptakan makhluknya, tunduk atas hukum-Nya.
Dia penguasa absolut sekaligus sulit dijangkau, selain kalbu keimanan: “Sesungguhnya langit-langit dan bumi tidak berdaya menjangkau-Ku, namun Aku telah di jangkau oleh kalbu seorang mu’min.” (Hadits Qudsi, Riwayat Ahmad dari Wahab bin Munabbih).
Sebab dengan kesegaran akal pun manusia terbentur ozon kesuntukan. Tapi hati siapa tertancap cinta terdalam, maka segala kelupaan menemui penggantinya lebih berkebugaran ingatan, di atas penumpukan memori kalbu berpenambahan rindu dan rindu.
(2) penyebab yang menyebabkan
Jika mengambil bagian pertama, Sang Penyebab segala sebab, Tuhan Allah yang menciptakan sebab. Dan seluruh ciptaan-Nya bermakna sebab. Karenanya, kelahiran makhluk kemunculan tanaman, harumnya bebunga, wujud bebuahan, perputarnya bumi mengelilingi surya disamping memusar di porosnya. Ialah kejadian sebab dan bukan otomatis bermakna akibat sedari Pencipta Awal.
Selintas paparan di atas tampak kabur, namun di sinilah makna Rahmatan lil alamin. Insan memiliki wewenang di muka bumi atas izin-Nya. Manusia berdaya kemampuan merenungkan kejadian pengalaman, yang menghadirkan hikmah-hikmah penelitiannya atas rahmat-Nya.
Setiap manusia beriman ialah pemimpin. Ini kajian ayat-ayat Tuhan yang tersirat di alam jagad raya menuju yang tersurat, meski kemampuannya dibatasi kasih sayang-Nya. Lewat keseimbangan psikologi, demi menggapai keilmuan tinggi, hasilnya tidak akan memuaskan, kalau bukan atas ridho-Nya.
Kenapa saya mengatakan insan ialah “penyebab yang menyebabkan?” karena yang membuat penyebab. Hal itu bukan menyamakan sifat manusia kepada sifat ketuhanan. Namun kembali pada persolaan awal, pemberian wewenang menjaga kelangsungan hayat demi selaras serasi timbangan -Nya, yang sudah disampaikan berupa ayat-ayat tersurat pun yang tersirat.
Kenapa proses itu penciptaan sebab, karena kelangsungan kehidupan ini bersinambungan. Memaknai sejarah menarik kesimpulan tanda, bukan pembentukan identifikasi akibat, tetapi pengalaman hidup demi lebih baik. Jadi, pandangan umum berkata akibat, saya hanya namai akibat sementara, atau studi kasus belum mapan.
Terbukti hukum ciptaan manusia seringkali tak terpakai jaman di depannya. Itu terjadi karena aturan dibuatnya sejenis jaminan kasus yang disetujui sebagai pijakan demi penelitian. Ini baik kiranya bukan patokan. Akan parah jika dibakukan, sampai generasi selanjutnya tidak membantah, lantaran hawatir tidak dipercaya, sebab aturan sebelumnya sudah disepakati khalayak.
Jika hukum tersebut memaknai ayat tersirat atas kehendak-Nya, hasilnya sebenar adanya menjamin kebaikan, bukan mengurung ide generasi mendatang. Maka setiap aturan yang sudah disetujui, seyogyanya fleksibel agar adanya relativitas di segenap bidang mata kajian.
Kenapa ditekankan insan itu penyebab yang menyebabkan. Ini demi aliran kebijakan yang membuka terciptanya aturan baik-berkeindahan, penuh angin damai keselarasan.
Aturan dibuat manusia seringkali melukai jiwa kemanusiaan. Kalau aturan makin dibakukan tanpa adanya kemungkinan, maka pertumpahan darah semakin takkan terelak. Walau intrik peperangan pun manusiawi. Di sini memetakan asal peperangan, yang dapat terjadi karena salah faham, dalam memaknai akibat dan penyebab.
Saya yakin insan lahir dalam keadaan fitroh tanpa dosa turunan. Jadi yang mengakibatkan perang itu penerapan hukum yang melukai naluri. Atau terciptanya perang dari sifat kebinatangan; hasut, dengki, dendam, cemburu buta &ll, yang melekati sosok manusia yang menyulut kehitaman panggung sandiwara dunia.
Maka manusia (sebab) yang menyebabkan atau mencipta (proses evolusi nilai kemanusiaan) itu sumber kebaikan. Dengan menanamkan sejarah sebahan kajian, bukan mengambili kesimpulannya demi hukum kekekalan berlangsung. Yang kudunya menerima tiupan angin kekinian, harapan ombak keberjamanan kemanusiaan sekarang.
Seperti pelangi yang berangkat dari keadaan sekitar, mengkondisikan keberjamanan, pancuran air mencipta warna. Bukan pelangi mendatang, tapi kesadaran evolusi nilai kemanusiaan, wewarna cahaya kebersatuan mesra. Dan Timur-Barat hanya kutub pelangi yang menghampiri sungai-sungai peradaban, selepas hujan deras penyadaran universal.
(3) penyebab yang mendekati pengakibatan
Penyebab bagian ini kecakapan insan atas kekuasaan-Nya, guna mencipta penyebaban mengatur siklus kebutuhannya. Menyebabkan proses evolusi nilai penyebab dirinya. Atau proses kerja insan, menuju kelayakan penerimaan baik.
Status ini mendekati pengakibatan. Pengakibatan sendiri proses dimana penyebab mengambil hakikat prosesi, kerja yang dilakukan atas sebelumnya atau finising berasal hayati, evaluasi akhir gerakan jaman. Pada terapan sejarah, proses mendekati pengakibatan bermakna revisi akhir sebelum hari menentukan. Masa tepatnya aturan sesungguhnya, hukum seirama kasih-sayang menyapu kening wakil-wakil-Nya.
Machiavelli mencium kesadaran keberjamanan di buku ke II The Discourses: “Manusia selalu mengagungkan masa lalu, mencari kesalahan masa kini tanpa alasan, dan mendadak saat penuwaan, menyanjung segala yang pernah mereka alami ketika mudanya.”
Dan saya memulai ini dengan percaya, yang dianggap orang sejarah, hanyalah “dongeng” semata, batu-batu monumen dilebihkan sejarawan. Inilah penampakan pribadi kekinian, dan pelajaran berulang mencipta banyak sekali pengalaman.
Kemenjadian itu cermin selalu pembuka nalar kesadaran nyawa, keberadaan tidak menyangsikan esok pasti. Esok ialah sesuatu, tapi sudah ada dari kini menyungguhi hayati, menjanjikan tanpa banyak dekte atas sejarah masa silam.
Fukuyama menyadari kekinian dalam pendahuluan The End Of History and The Last Man. Mungkin buku itu finising karya Hegel, The Philosophy of History. Fukuyama bilang: “Hasrat untuk diakui yang dibarengi perasaan marah, malu dan bangga, merupakan bagian dari kepribadian manusia yang bersifat kritis terhadap kehidupan politik.”
Perasaan marah saya maknai penyelidikan lebih, kesuntukan menggali kehakikian, kemarahan akan kesangsian manusia kini, perbesar situasi kemarin serta lalai kondisi sekarang. Andai benar tetaplah suatu kelenaan, seperti mengartikan akibat dalam kehidupan itu dekaden.
Kebanggaan itu bangkitnya kehalusan budhi, terperangkap nuansa memukau, segala unsur tampak kemilau di sekitar perjalanan sejarah, menjadi bahan bangunan tidak runtuh. Dan kebanggaan, bukan sekadar cita rumusan mekanik, tetapi jiwa halus merambah kemanusiaan penuh damai, kesadaran universal mengisi hayat berkeseimbangan.
Rasa malu memacu syaraf kendor menjelma daya manfaat, petualangan komunikasi antar sesama bukan saling tindih. Namun bertaut memberi pelengkap dengan menanggalkan keculasan, mutu identitas damai diutamakan. Saya harap pembaca terjelaskan, penyebab mendekati pengakibatan. Yakni penilaian gerak jaman yang membuka kemungkinan berakhirnya atribut, melalui memperdalam nilai-nilai tradisi yang selaras kasih-sayang-Nya.
(4) pengakibatan menuju pengakibatan akhir
Inilah hasil bagian satu, dua dan tiga yang mengharapkan makna rahmatan lil alamin. Dalam kajian budaya semacam impian masyarakat madhani, menyadari posisi terkemuka, bahwa pergerakan seyogyanya atas peletakan batu pijakan. Agar tak terjadi salah penentuan, akibat sebagai sebab atau sebab dikelirukan akibat.
Kenapa saya katakan kajian ini membahayakan kesehatan nalar keimanan. Karena jika terjadi kesalahan penempatan dalam menentukan kausalitas, dapat tergelincir ke lembah kebingungan. Dan hasil kausalitas yang keliru, menyesatkan banyak orang. Olehnya perlulah kehati-hatian pada argumen memukau, apologi menggiurkan imaji.
Kudunya perteguh kekuatan bathin berpandangan cermat. Bagian ini ialah akibat yang ditimpakan Tuhan atas proses kemanusiaan, pahala akhir lewat hitungan. Pengakibatan menuju pengakibatan akhir, totalitas evolusi yang mengedepankan jumlah nilai dari prosesi ikhtiar.
Bagian ini perimbangan temuan manusia atas tiupan seruling-Nya. Sejenis kata “atau” untuk melembutkan makna kata “dan.” Atau kata “atau” adalah anak turun kelembutan kata “dan.” Mungkin jenis inilah kesamaan gerak pengakibatan menuju pengakibatan akhir.
Kerepotan memaknai akibat yang tepat, jika tidak melewati tilikan murni semacam kata “dan” serta “atau” yang kerap tertempuh demi penghampiran lebih. Penajaman kehendak lembut sulit ditempuh, jika hanya mengandalkan efektifitas satuan kata “dan” juga “atau” yang dapat menyembunyikan kemungkinan di sekitar persoalan.
Sebagai renungan saya ambil surat an-Najm, ayat 39 sampai 42:
Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasannya usahannya itu kelak akan diperlihatkan kepadanya. Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan paling sempurna, dan bahwasannya kepada Tuhanmulah kesudahan segala susuatu.”
Epilog:
Nietzsche dengan terbuka mengatakan diawal kalimahnya, Empat Kekeliruan Besar dalam buku Senjakala Berhala dan Anti-Krist, kekeliruan sebab sebagai akibat; “tidak ada kekeliruan yang paling berbahaya ketimbang menyangka akibat sebagai sebab, saya sebut ini bentuk instrinsik kejahatan akal.”
Dengan mengambil contoh bukunya Cornaro: “diet itu penyebab dari hidupnya yang panjang, sedangkan syarat kehidupan panjang, metabolisme yang sangat lambat, jumlah makanan sedikit itu sebab.”
Di sinilah awal persinggungan saya. Nietzsche juga Cornaro sama-sama terburu menentukan sebab dan akibat. Saya katakan tergesa, karena Cornaro masih berujar; “jumlah makan yang sedikit sebagai sebab, dalam terjadinya penyebab atau diet, demi kehidupan panjang.”
Makna ini selintas mendekati pandangan saya bagian kedua, penyebab yang menyebabkan atau proses kehidupan insani. Namun dengan sorot lampu lebih cemerlang, kita mendapati bayang kejelasan yang dia harapkan.
Dengan menekankan “kehidupan panjang” seolah jumlah makan sedikit akan melangsungkan kesehatan dengan diet (penyebab). Atau lelaku tirakat bagi penyebab kesehatan. Perbedaan jelas ketika selanjutnya Nietzsche melontarkan contoh: “Rumusan paling umum, yang mendasari setiap agama dan moralitas adalah lakukan ini dan ini, jangan lakukan ini dan ini, dan kamu akan bahagia”
Nietzsche begitu jauh menghakimi moralitas agama, tentu saya maklumi, sebab tak melihat paparan manusia sebagai sebab yang menyebabkan (rahmatan lil alamin), yang tidak memberatkan dirinya dengan diet berlebih. Hingga apa yang diharapkan tirakat sebagai akhir impian dan harapannya, sementara hasrat pelangsingan tubuh sebagai kesehatan ruhani.
Impian-harapan seolah menjanjikan akibat menyenangkan. Sedangkan bagi saya, impian pun harapan di atas, kurang tepat sebelum melewati hukum-hukum yang diyakini sampai kedudukannya berserah. Yang saya maksudkan hasil, tidak menyakiti sisi-sisi kodrati, malah mewakil yang dipercayai.
Marilah mendengar kutipan Derrida di bukunya Specter of Max dari Fukuyama: Baik Hegel maupun Max yakin bahwa evolusi masyarakat-masyarakat manusia bukannya tanpa akhir, tapi akan berakhir ketika umat manusia telah mencapai suatu bentuk masyarakat memuaskan kerinduan-kerinduannya yang paling dalam dan paling mendasar. Kedua pemikir itu dengan demikian mengajukan suatu “akhir sejarah.” bagi Hegel ialah negara liberal, sementara bagi Max, itu masyarakat komunis.
Saya katakan berkapasitas sebagai memiliki kursi di lantai berbeda, namun dalam satu nafas gravitasi kemanusiaan. Bahwa yang Fukuyama katakan, seirama yang dirindukan Cornaro, Nietzsche di lain tempat. Setelah saya melewati pendekatan kata “impian” atau “harapan” di atas pada bahasa Fukuyama, akhir dari evolusi manusia, ketika mencapai bentuk masyarakat memuaskan kerinduan-kerinduan paling dalam dan mendasar.
Penekanan kata pasrah atau berserah, bukan wujud sedari impian ataupun kerinduan terdalam kemanusiaan. Namun memasuki aura Ilahi, keselarasan alam dan penghuninya, bersatunya wacana akan kesadaran peradaban. Dengan menanggalkan pengertian kajian sejarah, bukan proses pengakibatan. Tetapi temuan baru atau kelahiran suatu generasi lebih tinggi, bagi penyebab yang menyebabkan.
Dan pada tahap penyebab yang mengakibatkan, bukan bermakna kefakuman setelah kerinduan terdalam, dan mendasar tercapai. Sebab dengan menggunakan empat tahap evolusi di atas, akan hadir khasana rahmatan lil alamin. Atau saudara sedang membandingkan, antara kepasrahan dengan yang paling mendasar. Kalau saya mendedah maknanya “paling mendasar” itu kebutuhan mengenai kebahagiaan material. Sedang “kepasrahan” melingkupi material dan spiritualitas.
[2005 – 2009, Lamongan, Jawa]
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar