Dahta Gautama
http://www.lampungpost.com/
BETAPA modernisasi telah mengusung peradaban ke dalam dunia global, apa yang tak mungkin pada masa silam menjadi ada di peradaban terkini. Televisi, internet, ponsel, dan film, telah mengubah pola pikir masyarakat kita yang semakin tidak peka ini.
Di tengah arus globalisasi yang deras itu, apa yang bisa dilakukan sastra (puisi)? Hanya sebatas susunan kata-kata yang dipuitiskankah? Atau, cuma contoh tersantun yang menandakan bahwa hati nurani masih ada.
Para sastrawan (penyair) yang masih sudi menulis puisi di tengah kegetiran arus peradaban globalisasi, barangkali patut disebut sebagai pejuang penjaga nurani. Betapa tidak, di tengah maraknya sastra sampah (maaf, mungkin sebutan ini terlalu kasar, namun saya lebih suka menyebutnya demikian), masih ada penyair yang rela menyair dengan daya profetik yang lebih sopan meskipun satir dan getir.
Saya setuju dengan pendapat penyair Oyos Saroso, ia memperpanjang istilah yang telah populer terhadap para penulis perempuan terkini dengan sebutan “sastra wangi”. Oyos menyebut beberapa nama perempuan penulis seperti Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, Nukila Amal, Fira Basuki, Dewi Lestari, Dinar Rahayu, Rieke Diah Pitaloka, dan beberapa penulis perempuan lainnya sebagai jelmaan Enny Arrow dan Fredy Siswanto.
“Bila mereka menulis sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu,” tulis Oyos Saroso HN dalam esai “Teks Sastra di Ladang Anggur” (Lampung Post, 7 November 2004), “mereka hanyalah penulis picisan yang hanya beda tipis dengan stensilan porno Enny Arrow.” Tapi, apa mau dikata, apabila sastrawan besar seperti Sapardi Djoko Damono saja telah membabtis “penulis-penulis manis” itu dengan komentar yang sangat manis “pengarang perempuan terkini lebih bagus, daripada para pengarang pria.”
Sungguh gampang untuk menjadi pengarang terkenal cuma dengan menulis tentang alat kelamin, dubur, dan senggama pada novel. Toko-toko buku pun diserbu para pencari tahu isi tulisan mereka. Ironis.
Lalu, ada apa dengan Binhad Nurrohmat? Yang saya tahu ia adalah jebolan sebuah pesantren. Itu artinya, nilai-nilai relegius seharusnya lebih tertanam dalam puisi-puisinya. Mengapa ia menulis kelamin dan tai dalam kumpulan puisi Kuda Ranjang? Sedang putus asakah ia karena karirnya di dunia kepenyairan biasa-biasa saja, sehingga ia harus atau terpaksa menempuh jalan pintas dengan menulis puisi yang isinya melulu kelamin, zakar, dan bokong?
Saya tidak terlalu terusik dengan puisi Binhad yang berjudul “Berak”, bahkan ada penyair yang lebih dulu menulis puisi sebelum Binhad lahir, F. Rahardi, dan kerab “berjorok-jorok ria” dalam beberapa sajaknya. Seperti puisinya yang berjudul “Kontol Kambing.” Tapi, setelah dibaca secara benar ternyata “Kontol Kambing” tidak sejorok dan senaif judulnya. F. Rahardi sekadar mengingatkan bahwa alat kelamin hewan tersebut ternyata lezat dijadikan makanan sejenis sate.
Namun, puisi Binhad yang berjudul “Berak” menurut saya adalah proses orang buang hajat di jamban. Ia secara detail melukiskan bentuk zakar, bokong, dan sisa kotoran manusia saat buang air besar. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada nilai sastranya. Namun, di sinilah letak keunikan dari sajak-sajak Binhad dalam kumpulan Kuda Ranjang. Ia telah menulis kata-kata sampah. Bukankah, buang hajat (berak) adalah proses pembuangan sisa-sisa makanan yang notabene sampah di dalam lambung manusia. Sekali lagi, ironis! Mengapa harus sampah yang dibaca orang.
Menyikapi maraknya tulisan-tulisan sampah (jorok) dari para sastrawan muda tersebut dan nampaknya tulisan-tulisan mereka diminati masyarakat pembaca, masih adakah dari generasi sastrawan tua, lebih-lebih sastrawan muda untuk membendungnya?
Ternyata komunitas masyarakat sastra masih patut bersyukur karena masih banyak sastrawan (penyair) yang menulis puisinya dengan nurani yang tak terdedah. Masih ada puisi-puisi profetik yang terbungkus dalam gulungan bahasa-bahasa perih, miris, gelisah namun indah dan sastrawi.
Saya masih membaca karya-karya penyair itu? Yang menurut saya, sungguh sangat manusiawi bila masyarakat kita mau membacanya. Dari Lampung ada Isbedy Stiawan ZS, saya begitu terkesan dengan sajak profetiknya yang terbungkus dalam hal-hal yang justru kelihatan biasa-biasa saja dalam kehidupan keseharian kita. Dalam salah satu judul puisinya “Aroma Laut”: kutulis puisi lagi/ketika aroma laut masih mengental/atau warna langit/ yang ranum masih bergetar/karena itulah tenaga bagi kata-kataku.
Dalam puisi tersebut Isbedy hanya bicara tentang laut. Sesungguhnya ia telah menulis sebuah makna dari rapuhnya daya manusia bila telah berhadapan dengan Yang Maha Pencipta. Melihat laut dan langit, ia seperti mencium aroma Tuhan, yang telah menggerakkan tenaganya untuk berkata-kata dalam doa. Puisi yang ramah, manusiawi, bernas, dan yang lebih penting lagi Isbedy berhasil sebagai penyair (sastrawan) tanpa harus “berjorok-jorok ria.”
Penyair nasional dari Lampung lainnya yang begitu kental profetiknya adalah Budi. P Hatees dan Ahmad Julden Erwin. Puisi Budi P. Hatees yang berjudul “Rahasia Sunyi” seakan mengajarkan kepada kita untuk mengenal Tuhan melalui tangan-tangan ghoib-Nya. Berikut penggalan puisi tersebut: rahasia yang tersimpan/kedua bola matamu/adalah misteri kegaiban matahari melahirkan bayi/semua bersinar lembut/hariku/juga pintu-pintu/yang semakin membuka diri/kini tak ada lagi yang terentang/begitu lebar diantara kita/segalanya telah diucapkan/betapa berulangkali aku mencintaimu/mencintainya/keindahan dan kesedihan/yang ditawarkan dunia.
Budi P. Hatees berhasil memandang hidup dengan dunia yang penuh cinta. Di matanya hidup adalah warisan Illahi, penuh misteri. Diwarnai cinta tapi juga ada perih dan kesedihan. Ternyata dalam kepenyairannya Budi. P. Hatees tidak “ikut-ikutan” mengaksesoris puisi-puisinya dengan kata-kata tabu. Serupa dengan Isbedy Stiawan ZS, ia pun mampu menjaga kesinambungan karyanya dengan puisi-puisi yang sopan.
Selain Isbedy Stiawan ZS dan Budi P. Hatees ada Satmoko Budi Santoso, Abdul Wachid B.S, Wijang Wharek AM, Ari Setya Ardhi, Zhazie Al Azis Ys, Harta Pinem, Nurochman Sudibyo, Gunoto Saparie, Raudal Tanjung Banua, Faaizi L. Kaelan, Fauzi Absal, dan beberapa nama lainnya yang begitu konsisten dengan sajak profetiknya.
Ada beberapa penyair yang lebih duhulu konsisten dengan profetik, mereka berangkat dan menulis puisi profetik dari awal karir kepenyairannya. Untuk menyebut beberapa nama antara lain Abdul Hadi WM, (Alm) Hamid Jabbar, Subagio sastrowardoyo, Toto St Radik, Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Mustofa W Hasyim, Piek Ardijanto Soeprijadi dan Kuntowijoyo.
Mari kita simak puisi Zhazie Al Aziz Ys yang berjudul “Satire Lanskap Kemanusiaanku”: dimana lagi mesti kurintihkan/keperihan ini/setelah lelah menyumpahi nasib/yang memuntung/di layar-layar eloktronik/o, betapa bab-bab buku/dan pasal-pasal/telah mengorbankanku jadi manusia plastik/dimana lagi mesti/kumuntahkan khayalan kemanusiaanku/sedang pada kumuh cuaca/dan senyum perempuan malam/tak pernah kutemukan mata angin/o, mataanginku!
Al Azis, namanya memang tak secemerlang Binhad karena telah menulis puisi “Berak”. Namun, kesungguhannya dalam memandang hidup patut kita kagumi. Sajak ini ditulisnya pada 1992, dua belas tahun lalu. Pada masa itu globalisasi yang tak sehebat saat ini telah mampu mempecundangi dirinya. Ia terkurung dan memuntung dalam layar-layar elektronik (televisi), padahal televisi swasta dan acara-acaranya tak sebombastis seperti sekarang ini. Namun, ia tetap menghikmati, bahwa apapun bentuknya, entah itu televisi, radio atau VCD dampaknya bagi tingkah laku manusia begitu hebat. Bab-bab buku dan pasal-pasal telah menjadikannya sebagai manusia plastik. Di sini, Al Azis sesungguhnya mempercayakan ada yang mesti manusia baca, yaitu kitab suci. Manusia, di mata Azis harus kembali ke khitahnya yaitu Tuhan.
Serupa dengan Al Azis, penyair Wijang Wharek AM namanya pun kurang begitu dikenal sebagai penyair. Padahal, pada dekade 1991-an penyair ini bisa dikatakan sebagai penyair yang paling produktif mempublikasikan puisi-puisinya di Harian Semarak Post Bengkulu dan di berbagai media massa di Sumatera. Saya mengenalnya saat bermukim di Bengkulu.
Puisi-puisi Wijang yang datar menurut saya cukup kuat. Terutama nuansa profetiknya. Membaca Wijang saya seperti membaca Abdul Wachid B.S. Meskipun tidak “setenar” F. Rahardi, Iwan Gunadi atau Binhad Nurrohmat, saya mengaguminya sebagai penyair yang gigih. Sama halnya saya mengagumi penyair asal Medan, Harta Pinem.
Saya terkesan pada puisi Wijang Wharek yang berjudul “Mengaji Subuh”: menggigir hari dalam/selimut kabut/suara itu nyaring menggedor/daun pintu/siapa sepagi ini hadir/disitu/sebuah percakapan mendadak terkurung/dalam bahasa gagu/melimbung/aku tersadar gagap mengeja rahasia/alif lam mim-mu.
Mengapa puisi secemerlang itu tidak menghantarkan penulisnya ke menara gading? Ia hanya mampu bertengger di tangkai-tangkai tumbuhan merambat. Ya. Wijang selalu akan menyadari, dimana ia harus berdiri, duduk, tidur dan bertemu mimpi. Ia barangkali sesungguhnya sadar, bahwa puisi ditulis sepenuhnya hanya sebagai media untuk “menyayangi” Tuhan.
Seperti “Sampan Yang Berlayar” Harta Pinem: diam-diam sampanku berlayar/membawa kegelisahan ikan-ikan/melayarkan kesucianku/ke pucuk ombak/gemuruh badai menubruk sampanku/dari abad-ke abad/dilanda kecemasan/hingga hitam air lautku.
Inilah peradaban terkini itu. Penyair yang selalu dibayangi kecemasan. Harta Pinem juga merasakannya. Kegelisahan dilarung ombak peradaban. Kegelisahaan yang meng-abad, mungkin kegelisahan tersebut melebihi usia manusianya.
Lantas, mengapa, apabila yang terjejal hanya gelisah dalam nurani penyair, masih ada sastrawan (penyair) yang meluapkan kegelisahannya pada kalimat-kalimat yang tabu (menulis karya sastra seks)?
Namun, kebutuhan akan sastra propetik-supistik di era globalisasi tak akan terbendung. Di saat hati terdedah dan gundah gulana karena peradaban telah dengan sangat santunnya ditingkahi dengan tayangan-tayangan porno di televisi, baik itu berbentuk iklan atau sinetron. Atau film-film biru di piringan VCD, percayalah manusia akan kembali kepada khitahnya, yaitu bertahajud. Di tengah gegap-gempita duniawi, manusia akan “Tahajud Sunyi”: ketika aku datang pada-Mu/jelaga itu/masih mendekam/dalam jantungku/sedang aku/sejak lama merindukan/cahaya rembulan/untuk menatap/kemolekan wajah-Mu (Budi P. Hatees). ****
*) Penyair dan penulis esai, tinggal di Bandar Lampung.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar