Minggu, 22 Agustus 2010

Narasi Sastra Religius

Hamdy Salad
http://www.sastra-indonesia.com/

Segala sastra, baik puisi maupun prosa, tak pernah lahir dari ruang hampa. Selalu saja tersirat di dalamnya jejak-jejak kehidupan manusia. Jejak-jejak yang dapat dibaca secara estetis melalui kenyataan psiko-individual, sosio-kultural, dan religio-spiritual. Itu sebabnya dalam dinamika sejarahnya sampai kini, banyak definisi dan istilah sastra yang berkembang di tengah masyarakat, termasuk di dalamnya apa yang sering disebut dengan – sastra religius.

Sebagai salah satu di antara istilah populer dalam perekembangan sejarahnya, bahasan mengenai sastra relegius telah menjadi perdebatan dari masa ke masa. Bahkan telah dianggap sebagai genre (aliran) tersendiri dalam ranah kesusastraan. Sehingga lahir pula istilah-istilah lain yang berdekatan denganya. Seperti sastra mistik, sastra holistik, sastra transenden, sastra filsafat, sastra pencerahan, sastra terlibat dunia dalam, dan lain sebagainya.

Di tengah laju globalisasi terkini, keberadaan wacana maupun karya sastra relegius terasa penting untuk diaktualisasi. Hal ini diperlukan bukan saja karena dunia sastra membutuhkan keseimbangan, tapi juga disebabkan oleh melubernya praktik-praktik budaya yang semakin jauh dari nilai moral dan keagamaan. Sehingga logika-logika metafisikal yang menjadi bagian utama dari tanda kesempurnaan manusia dalam kehidupan sehari-hari, kian melenyap dan terlupakan.

Oleh karenanya, apapun bentuk dan jenis karya sastra yang terlahir atau dilahirkan dalam ranah religius, memiliki keniscayaan kultural untuk membebabaskan kawasan jiwa manusia dari kemiskinan spiritual. Dengan begitu, keberadaan sastra religius masih berdaya untuk diberi narasi dan dipetik hikmahnya sebagai pelecut kesadaran iman. Sebagai refleksi estetis bagi manusia untuk membangun kembali aspek-aspek relegius, transendensi dan spiritualitas yang tercecer di sekitar lingkungan individu, keluarga, masyarakat dan bangsa. Sekaligus mencuatkan makna apresiasi sastra religius yang lebih lengkap, lebih hidup, lebih indah dan mempesona, dari sekadar media untuk menebarkan doktrin-doktrin agama itu sendiri.

Ekspresi dan Kreativitas

Setiap karya sastra yang memiliki kecenderungan simbolik untuk mendekati manifestasi ide-ide ke-Tuhan-an, baik dalam ranah kehidupan individual maupun sosial, dapat dikategori sebagai - sastra religius. Dengan kata lain, bentuk-bentuk sastra relegius mengandungi ekspresi estetis yang merujuk pada pengalaman dan penghayatan terhadap eksitensi Tuhan dalam kehidupan manusia. Unsur-unsur tematik sastra yang bermuara pada hal-hal yang bersifat metafisik, doa, pujian, permenungan diri, hari kebangkitan, surga dan neraka, atau tema-tema lain yang berkisar pada esensi kepercayaan, merupakan bagian dari dimensi keutamanya. Oleh karena itu, percakapan sastra relegius tidak sepenuhnya dapat dinisbahkan dengan tradisi dan budaya, suku maupun agama tertentu.

Namun demikian, kecenderungan ekspresi sastra relegius secara lebih spesifik dapat dipahami bukan saja sebagai media untuk menghayati eksistensi Tuhan, tapi juga dapat dimaknai sebagai kreativitas estetis untuk mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran agama. Bentuk-bentuk karya sastra relegius yang mengekspresikan ide-ide ke-Tuhan-an, nilai dan ajaran agama tertentu, sering disebut dengan - unsur-unsur relegiusitas dalam karya sastra, sastra bernafaskan agama, atau sastra keagamaan.

Pertumbuhan sastra keagamaan, terutama dalam khazanah budaya Melayu-Indonesia, banyak didominasi teks-teks sastra yang bersumber pada nilai dan ajaran agama Islam. Sehingga munculah ragam istilah yang kemudian dikenal dengan; sastra relegius Islam, sastra bernafaskan Islam, atau sastra bertema ke-Islaman. Dan dalam tulisan ini lebih sepakat untuk menyebutnya sebagai - Sastra Islam.

Penyebutan Sastra Islam, memiliki kecenderungan untuk memasuki wilayah-wilayah estetis maupun teologis yang membias dalam teks sastra maupun proses-proses kreatif yang ditempuh oleh pengarangnya. Secara estetis, sastra Islam memiliki arahan untuk memusatkan maknanya (bentuk dan isinya) yang merujuk pada substansi nilai-nilai keislaman yang bersumber pada al-quran, maupun tradisi dan pengetahuan yang lahir dari penafsiran terhadapnya. Melalui unsur definitif tersebut, kemungkinan Sastra Islam memiliki konsepsi yang lebih mendasar, yang dapat diturunkan dan diuji melalui ruang ekspresi maupun proses-proses kreasi yang membias dalam karya sastra. Sehingga dapat ditemukan gagasan-gagasan utama yang dapat dikembangkan sebagai landasan teoritik dalam proses penciptaan maupun pembacaan. Bahkan dapat juga digunakan untuk mencari dan menemukan perbandingan-perbandinganya dengan wacana kesusastraan di luar dirinya.

Dari Profetik ke Sufistik

Dalam khazanah sastra Indonesia , terutama pada periode klasik, gagasan-gagasan sastra Islam telah lahir dan berkembang bersamaan dengan masuknya pengaruh agama ini ke dalam berbagai wilayah tradisi dan budaya Nusantara. Keberadaan Sastra Melayu (syair, pantun, gurindam), Sastra Jawa (babad, serat, suluk), dan Sastra Pesantren (sastra kitab, singiran, nadhoman) setidaknya dapat direpresentasi sebagai awal dari kelahiran gagasan sastra Islam di Nusantara. Dan ketika sastra Indonesia modern lahir, tumbuh juga di dalamnya gagasan-gagasan Sastra Islam Indonesia Modern dengan berbagai polemik yang menyertainya.

Gagasan-gagasan Sastra Islam Indonesia Modern, secara tidak langsung telah muncul ke permukan sejak tahun 60-70 an. Gagasan-gagasan itu lahir bukan saja dalam bentuk karya, tetapi juga dalam bentuk wacana. Dalam bentuk karya, gagasan termaksud tersebar melalui teks-teks sastra yang dihasilkan oleh sejumlah sastrawan muslim dari berbagai periode angkatan sastra Indonesia sampai terkini. Dalam bentuk wacana, gagasan Sastra Islam Indonesia Modern telah memunculkan ragam istilah yang berbeda, namun memiliki arah dan tujuan yang hampir sama. Beberapa di antaranya ialah; sastra Islami, sastra ibadah, sastra dakwah, sastra dzikir, sastra kaffah, sastra sajadah, sastra qurani, dan lain sebagainya. Istilah-istilah tersebut digunakan oleh para pendukungnya sebagai usaha untuk menjelaskan keberadaan dan kemungkinan-kemungkinan Sastra Islam dalam proses kreatif maupun ekspresi estetiknya. Selain itu, ada dua istilah lagi yang sangat berpengaruh, dan dikembangkan secara paragdimatik oleh penggagasnya sebagai wacana utama dalam dinamika sastra Islam Indonesia modern, yaitu Sastra Profetik dan Sastra Sufistik.

Sebagai istilah, terminologi profetik diperkenalkan untuk pertama kalinya oleh Roger Garaudy (filosof Ateis Perancis menjadi muslim) melalui kajian filsafat. Menurutnya, filsafat Barat telah membunuh “Tuhan dan manusia” dalam kebudayaannya, dan karena itu diperlukan adanya pencerahan baru yang mengajak manusia dan komunitas-komunitas agama maupun kebudayaan untuk mengenali kembali filsafat kenabian, serta berusaha mengaktualisasikannya melalui dimensi sosial dan budaya, seni dan kesusastraan. Gagasan-gagasan profetik dalam ranah seni, dikembangkan lebih jauh oleh Al-Faruqi dan Husein Nasr. Sedangkan dalam ranah sastra telah dieksplor secara kreatif dan mendalam oleh Rumi, Iqbal, Nizar Kabbani, Kasim Ahmad, Emha Ainun Najib, dan lain sebagainya.

Di Indonesia, gagasan budaya profetik dipopulerkan oleh Kuntowijoyo (pada awal 1980-an) ke dalam kajian ilmu sosial, dan kesusastraan. Sehingga di kemudian hari, lahirlah paradigma baru yang disebut – Ilmu Sosial Profetik, dan Sastra Profetik. Gagasan profetik Kunto lebih lanjut dapat dipahami sebagai proses-proses kebudayaan yang mendasarkan aktivitasnya pada tiga dimensi pokok yang merujuk pada wahyu suci al-Islam (Qs. 3: 110), yakni amar makruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi) dan tukminu billah (transendensi). Dimensi pertama, memiliki muatan untuk memanusiakan manusia sesuai dengan peran budaya yang dimiliki. Yang kedua, mengandungi perjuangan untuk membebaskan manusia dari penindasan dan perbudakan sistem budaya yang sedang berlangsung. Yang ketiga, mencakupi perlawanan kreatif yang bersifat relegius dan spiritual terhadap ideologi-ideologi budaya sekuler.

Bentuk-bentuk ekspresi sastra profetik dapat diapresiasi melalui unsur-unsur estetik, kode dan simbol, kisah dan peristiwa, tokoh dan karakter, narasi dan dialog, yang tersirat maupun tersurat dalam teks sastra. Apapun bentuk dan jenis karya sastra, yang mengandungi muatan ketiga dimensi tersebut, dapat dikategori ke dalam kecenderungan ekspresi sastra profetik. Sedangkan karya-karya sastra yang hanya mengandungi salah satu di antaranya, atau didominasi oleh satu demensi saja, tidak termasuk dalam kategori tersebut.

Dalam perkembangan selanjutnya (pada akhir 1980-an), wacana sastra profetik dielaborasi secara spasial oleh Abdul Hadi WM ke dalam terminologi baru yang disebutnya – Sastra Sufistik. Namun demikian, istilah “sufistik” telah digunakan dalam kajian filsafat klasik oleh E.H. Palmer (1867), R.A. Nicholson (1914) dan Muhammad Abdul Quasem (1976), serta sebutan lain yang berdekatan dan dipakai oleh Braginsky (1993) dengan istilah “tasawuf puitik”. Dari kandungan semua istilah termaksud, dengan aras yang berbeda, kemudian digunakan Abdul Hadi untuk mengidentifikasi berbagai kecenderungan estetik sastra Islam, khususnya di Indonesia . Dan sejak itu, wacana sastra sufistik telah mengada, dan menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah sastra Indonesia.

Berbeda dengan sastra profetik yang mensyaratkan adanya dimensi humanisasi, liberasi, dan transendensi, konsepsi sastra sufistik lebih memusatkan penalarannya pada unsur estetik yang bersifat transenden. Nilai-nilai transendensi dapat diidentifikasi melaui ekspresi spiritual (ruhaniyah), baik dalam konteks teologis (hablumminallah) maupun kultural (hablumminnas) yang terkandung dalam teks sastra. Dengan sendirinya, kecenderungan sastra sufistik tidak semata dibatasi oleh masalah -masalah ke-Tuhan-an, tetapi juga memiliki kemungkinan tematik yang digali, dan diangkat dari realitas kehidupan manusia. Makna profetik menekankan pada aspek-aspek perlawanan dan pemberontakan terhadap realitas budaya melalui ruang sosial (peran manusia sebagai khalifah), sedangkan sastra sufistik memiliki kecenderungan untuk menghayati dan merenungkan realitas budaya ke dalam ruang individual (peran manusia sebagai abdillah).

Karena itu pula, konsepsi sastra sufistik memiliki jaringan tekstualitas secara langsung maupun tidak langsung dengan disiplin tasawuf, tarekat, dan ragam ekspresi estetik kaum sufi. Akan tetapi, tidak semua sastrawan yang menghasilkan karya sastra sufistik dapat digolongkan sebagai kaum sufi. Begitupun sebaliknya, tidak semua kaum sufi dapat melahirkan karya sastra, atau disebut sebagai sastrawan.

Dengan demikian, narasi sastra dalam ranah relegiusitas maupun keagamaan, tidaklah bersifat tunggal dan seragam. Tapi memiliki perspektif wacana dan ragam estetika yang berakar pada realitas sosial, tradisi dan kebudayaan di sekitar kehidupan pengarangnya. Sebab ekspresi relegiusitas dalam karya sastra, khususnya Sastra Islam, bukanlah sekadar media untuk menyampaikan, merenungi atau mengkritisi ajaran agama, tetapi juga dapat digeledah sebagai bagian dari sejarah dan perkembangan, perubahan dan pergeseran wacana dalam dunia sastra itu sendiri.

**) Pernah dimuat di Jurnal Kebudayaan The Sandour, edisi III, 2008, PuJa.

Sang Waskito R. Ng. Ronggowarsito (1802-1873)

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=427


R. Ng. Ronggowarsito (15 Mar 1802 - 24 Des 1873), Bagus Burham nama kecilnya. Sang pemilik jiwa waskito;

nasibnya menyerupai batuan kali dijadikan jalan, bebatuan krucuk yang dipukuli, sebelum dibangun tempat berteduh.

Si Celurit Emas dari Batang-Batang

Dwi Fitria
http://www.jurnalnasional.com/

Dalam puisi-puisi Zawawi Imron, muatan lokal yang kuat kerap dipadukan dengan nilai-nilai religi dalam pengertian luas.

Ada dua hal yang menjadi kekhasan puisi-puisi Zawawi Imron. Yang pertama adalah hadirnya idiom-idiom lokal Madura yang merupakan daerah asalnya, dan yang kedua adalah muatan Islam yang kerap muncul.

Dalam puisi-puisi semisal Celurit Emas, atau Ibu, Zawawi berhasil mengangkat sebuah kultur Madura yang mematahkan stereotip yang kerap dikenakan kepada masyarakat Madura.

“Dalam puisi-puisinya, Zawawi mengangkat citra budaya Madura yang positif. Selama ini citra Madura bagi sebagian orang mungkin identik dengan baju kaus lurik, sate, atau celurit. Dalam puisi-puisi Zawawi Imron justru menampilkan sosok orang Madura yang berbeda, yang mencintai lingkungan dan laut sebagai bagian dari kehidupannya,” kata kritikus sastra Maman Mahayana.

Puisi-puisi Zawawi juga kerap menggambarkan idiom-idiom budaya Madura dengan cara yang berbeda. “Garam dari laut adalah sebuah representasi harapan orang Madura. Puisinya Celurit Emas menggambarkan celurit sebagai simbol semangat orang Madura, bukan semata senjata untuk membunuh orang, yang hanya akan digunakan untuk melawan ketidakbenaran,” kata Maman.

Latar belakang pesantren membuat Zawawi juga mengangkat muatan Islam dalam puisinya. Tetapi menurut Maman, muatan Islam dalam puisinya bukan muatan artifisial. Muatan Islam dalam puisi-puisi Zawawi adalah Islam dalam pengertian yang amat luas. “Zawawi menampilkan Islam sebagai agama yang bersaudara dengan apa pun. Termasuk juga dengan lingkungan, dengan laut, dengan pohon, dengan batu. Puisi Zawawi Imron adalah representasi dari semangat islami yang bersaudara dengan makhluk apa pun,” kata Maman.

Sementara jika menyoal muatan islami dalam puisi-puisi Zawawi, menurut Ahmadun Yosi Herfanda, lebih cocok menempatkan penyair yang tenar dipanggil Celurit Emas itu ke dalam golongan penyair religius. “Tak banyak yang menyebutnya sebagai penyair sufi Indonesia. Berbeda dengan Abdul Hadi WM, Jamal D Rahman, Danarto, atau Kuntowijoyo misalnya,” kata Ahmadun.

Puisi-puisi Zawawi memang memiliki muatan religius namun tidak sufistik. “Para penyair sufi lain semisal Abdul Hadi WM memasukkan muatan tasawuf ke dalam puisi-puisinya, ada pengalaman-pengalaman sufistik di sana. Sedangkan puisi-puisi Zawawi lebih bersifat religius yang tak terlalu mendalam membahas muatan Islam jika dibandingkan dengan puisi-puisi sufistik. Puisi religiusnya juga tak sebanyak puisinya yang mengangkat muatan lokal. Paling ada satu dua, misalnya yang berjudul Dzikir,” kata Ahmadun.

Mengusung Muatan Lokal
Dibandingkan dengan para penyair sufi lainnya, muatan lokal masih menjadi kekuatan utama Zawawi, dan membedakannya dengan yang lain. “Pencitraan dan metafor Zawawi amat khas, khas lokal Madura. Sementara para penyair sufistik lain, idiom-idiom dalam puisi mereka jauh lebih universal,” kata Ahmadun.

Ini amat dipengaruhi latar belakang Zawawi. Sementara kebanyakan penyair dan sastrawan lain bergaul luas dengan beragam wacana intelektual, juga karya sastra mancanegara, Zawawi tinggal dan berkarya di desa kelahirannya, Batang-Batang. Yang menakjubkan, tanpa latar belakang pendidikan yang tinggi, Zawawi mampu menghasilkan sajak-sajak yang amat indah.

“Justru di situ letak keunikan puisi-puisi Zawawi, metafor lokalnya kuat, begitu juga dengan citraan-citraan lokalnya. Puisinya menurut hemat saya amatlah eksklusif,” kata Ahmadun Yosi Herfanda.

Penggagas puisi Sufistik Indonesia, Abdul Hadi WM juga berasal dari daerah yang sama dengan Zawawi. Kiprah Abdul Hadi di dunia sastra Indonesia jauh lebih banyak merebut perhatian dibandingkan dengan Zawawi Imron, padahal secara estetika masing-masing memiliki ciri yang amat kuat.

Di awal kepenyairannya, sama dengan Zawawi, Abdul Hadi juga kerap mengangkat idiom-idiom Madura. “Namun semakin lama, Abdul Hadi semakin memfokuskan diri membuat puisi-puisi sufistik. Zawawi di sisi lain mengembangkan tema yang jauh lebih beragam, sosial, kekeluargaan, cinta, juga agama,” kata Ahmadun.

“Kepenyairan seseorang akan makin cepat diakui jika ia juga menuliskan pikiran-pikirannya dalam esai-esai. Zawawi tidak memperkuat kepenyairannya dengan menulis esai. Hanya satu dua esai yang ia tulis. Sementara di sisi lain, Abdul Hadi sangat produktif menulis esai. Ia pernah mengasuh rubrik sastra, yang memungkinkannya menuangkan pikiran-pikirannya dan kreativitasnya setiap minggu,” kata Ahmadun.

Hadir tanpa Menggebrak
Zawawi memang kurang produktif menulis esai-esai sastra yang akan membantu orang-orang memahami kepenyairan dan pemikirannya. Melalui rubrik yang ia asuh, Ahmadun pernah meminta Zawawi untuk menulis esai, namun sayangnya esai itu tak terlalu kuat, meskipun kemudian tetap dimuat.

Cara lain untuk menunjukkan jati diri sebagai seorang penyair adalah dengan melakukan aksi panggung yang menarik perhatian. Ahmadun mengambil contoh Sutardji Calzoum Bachri. “Dia dulu menggebrak dunia kepenyairan dengan membaca puisi sambil membawa kampak, minum bir. Penampilannya yang kontroversial ini membuatnya ternama dalam waktu yang tak terlalu lama.”

Zawawi tak melakukan salah satu di antara kedua hal tadi. Ia hanya berbicara melalui estetika puisinya yang, meminjam istilah Ahmadun Yosi Herfanda, eksklusif dan unik. Namun, ini sudah cukup membuat Zawawi menjadi sosok yang istimewa dalam dunia sastra Indonesia.

Sementara Maman Mahayana berpendapat bahwa waktu kemunculan, latar belakang akademis, dan tempat tinggal berpengaruh pada sorotan yang diterima keduanya. “Abdul Hadi menggebrak dunia sastra dengan mengangkat persoalan kembali ke akar yang sudah ia mulai pada tahun 70-an, sementara Zawawi baru muncul sekitar sepuluh tahun kemudian. Di samping itu kebetulan saja Abdul Hadi berada di Jakarta, sehingga ia memiliki ruang yang jauh lebih luas. Selain itu reputasi akademis Abdul Hadi juga amat menonjol,” kata Maman.

Namun itu semua tak bisa dijadikan tolok ukur untuk melihat estetika puisi kedua sastrawan terkemuka dalam jagat sastra Indonesia tersebut. “Ini tak serta-merta berarti bahwa puisi-puisi Zawawi tak sebagus puisi Abdul Hadi. Keduanya memiliki kelebihan masing-masing. Selalu ada kelebihan dengan puisi-puisi tertentu dan kekurangan dalam puisi-puisi yang lain,” kata Maman.

MOHAMMAD FUDOLI ZAINI: CERPENIS SUFISTIK YANG TERABAIKAN

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Jika kita mencermati dua buku A. Teuuw, Sastra Baru Indonesia I (Ende: Nusa Indah, 1980) dan Sastra Indonesia Modern II (Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), maka kita akan sia-sia mencari nama Mohammad Fudoli Zaini. Agak mengherankan, kritikus sastra Indonesia yang berwibawa dan sangat berpengaruh itu, bisa luput menyinggung nama itu. Padahal, H.B. Jassin dalam Angkatan ’66: Prosa dan Puisi (Jakarta: Gunung Agung, 1976) pernah memuat salah satu cerpen Fudoli yang berjudul “Si Kakek dan Burung Dara” sebuah cerpen yang mendapat pujian dari redaksi majalah Horison untuk cerpen yang dimuat majalah itu tahun 1966—1967. Ajip Rosidi dalam Laut Biru Langit Biru (Jakarta: Pustaka Jaya, 1977) juga memuat cerpen Fudoli yang berjudul “Sabir dan Sepeda”. Belakangan, Abdul Hadi WM (Kembali ke Akar Kembali ke Sumber, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999, hlm. 55—59) memuji cerpen ini –bersama cerpen “Sisifus” dan “Gelap”— sebagai cerpen yang menghadirkan kisah sufistik yang unik dan segar. Cerpen “Sisifus” sendiri tercatat sebagai pemenang Hadiah Hiburan Sayembara Cerpen Horison 1977/1978.

Sementara itu, Satyagraha Hoerip dalam Cerita Pendek Indonesia III (Jakarta: Gramedia, 1986) memuat pula cerpen Fudoli Zaini yang berjudul “Potret Manusia”. Dikatakannya, bahwa Fudoli terhitung di antara lima sastrawan Indonesia yang paling produktif, istimewa di bidang cerita pendek. Sejak 1963, ia selalu menampilkan cerpennya di majalah Sastra dan kemudian majalah Horison. Cerpen Fudoli yang lain yang berjudul “Kemarau” pada tahun 1975 tercatat pula sebagai pemenang Hadiah Hiburan Sayembara Kincir Emas Radio Wereldomroep, Belanda. Cerpen “Kemarau” bersama 14 cerpen lain pemenang sayembara itu kemudian diterbitkan dalam buku Dari Jodoh sampai Supiyah (Jakarta: Djambatan, 1976).

Wildam Yatim dalam kertas kerjanya, “Cerpen Mutakhir Kita” yang disampaikan dalam Diskusi Besar Cerita Pendek Indonesia di Bandung, 14 September 1975 (kemudian dimuat dalam Pamusuk Eneste (Ed.), Cerpen Indonesia Mutakhir, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm. 80—118) mengulas pula sejumlah cerpen Mohammad Fudoli Zaini. Menurut Wildam Yatim, Fudoli tergolong cerpenis yang produktif. Ia banyak mengangkat tema kesepian di perantauan yang jauh dari hubungan wanita—pria atau masalah seksual dan kadang-kadang berfilsafat tentang hidup dan mati.

Bagaimanakah sesungguhnya kiprah Mohammad Fudoli –sering juga menggunakan nama M. Fudoli Zaini— dalam peta kesusastraan Indonesia? Cukup pentingkah dan sejauh manakah karya-karyanya memberi kontribusi bagi perjalanan kesusastraan –khasnya cerpen—Indonesia modern?
***

Mohammad Fudoli lahir di Sumenep, Madura, 8 Juli 1942. Sebagai anak yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren, tentu saja ia sangat dipengaruhi oleh kehidupan tradisi pesantren. Kakeknya memang dikenal sebagai pendiri salah satu pesantren terkemuka di Sumenep. Maka, sejumlah besar cerpennya sering kali menghadirkan kisah-kisah yang hidup dan berkembang di kalangan para santri. Justru dalam hal itulah, cerpen-cerpen Fudoli kerap mengangkat persoalan yang tampak begitu bersahaja, sangat realis dengan tema kehidupan keseharian di pesantren atau kehidupan para santri yang sering kali memunculkan kisah-kisah para aulia lengkap dengan dunia gaibnya. Jadi, di antara gambaran itu, tiba-tiba saja menyelusup kisah-kisah gaib yang irasional dan memberi kesan surealis. Dalam hal itu pula, Fudoli berhasil menempatkan dirinya sangat khas yang berbeda dengan tema yang diangkat cerpenis seperti Djamil Suherman, Kuntowijoyo atau Mohammad Diponegoro.

Masa sekolah dihabiskan Fudoli di tanah kelahirannya. Selepas tamat SMA Negeri Pamekasan, ia melanjutkan kuliah di IAIN Sunan Ampel Surabaya yang diselesaikannya tahun 1966. Pada pertengahan tahun 1968, ia berangkat ke Kairo untuk melanjutkan studinya di Universitas Al-Azhar. Sambil kuliah, Fudoli bekerja sebagai staf Kedutaan Besar Republik Indonesia di Mesir. Meski sangat merepotkan, ia berhasil menyelesaikan studinya di universitas itu dan memperoleh gelar master (MA) untuk bidang syariah dan filsafat dan doktor (Ph.D.) untuk bidang sastra dan filsafat sufi serta sejarah Islam.

Di tengah kesibukannya menyelesaikan studi di Institute of Islamic Studies dan Institute of Arabic Studies di Universitas Al-Azhar, Fudoli masih sempat menghasilkan sejumlah cerpen yang kemudian banyak diterbitkan majalah Horison. Boleh jadi lantaran itu pula, H.B. Jassin, Ajip Rosidi, Wildam Yatim, dan Satyagraha Hoerip menempatkan Fudoli sebagai cerpenis yang produktif. Pada pertengahan tahun 1986, Fudoli kembali ke tanah air dan mengajar di IAIN Sunan Ampel Surabaya untuk mata kuliah Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam dan Hadis.
***

Sebagai sastrawan, Mohammad Fudoli Zaini memulai kariernya lewat cerpen berjudul “Malam-Malam Kelabu” atas nama M. Fudhaly yang dimuat majalah Widjaja, No. 5, Th. XI, 1961, sebuah majalah yang diterbitkan di Kediri. Dengan nama yang sama, cerpen keduanya, “Kuda Kepang” dimuat Minggu Pagi, No. 13, 1964. Pada tahun yang sama, cerpennya “Si Kakek dan Burung Dara” dimuat Pustaka dan Budaja, No. 21, V, 1964 atas nama Mohammad Fudoli. Belakangan, cerpen ini dimuat lagi di majalah Horison yang kemudian mendapat hadiah dari majalah itu tahun 1967. Nama Mohammad Fudoli itulah yang kemudian dipakainya dalam cerpen-cerpen berikutnya. Majalah-majalah yang pernah memuat karyanya, antara lain, Gelora, sebuah majalah populer yang terbit di Surabaya, Sastra, Ulumul Qur’an, dan sebagian besar dimuat majalah Horison. Sampai tahun 1982, Fudoli sedikitnya telah menghasilkan 50-an cerpen.

Setakat ini, Fudoli telah menghasilkan enam buah buku kumpulan cerpen. Antologinya yang pertama berjudul Lagu dari Jalanan (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), sebuah antologi yang menghimpun cerpen yang dihasilkan antara tahun 1962—1965. Antologi ini semula direncanakan terbit tahun 1968, tetapi entah mengapa baru diterbitkan tahun 1982. Antologinya yang kedua berjudul Potret Manusia diterbitkan Balai Pustaka tahun 1983 atas nama M. Fudoli Zaini.

Dua tahun kemudian, terbit antologi berjudul Kota Kelahiran (Balai Pustaka, 1985) yang kemudian terpilih sebagai pemenang Hadiah Yayasan Buku Utama untuk buku-buku sastra yang diterbitkan tahun 1985. Pada tahun itu pula terbit lagi kumpulan cerpennya yang berjudul Arafah (Bandung: Pustaka Salman, 1985) yang dikatakan Abdul Hadi WM sebagai antologi cerpen religius yang hendak menyampaikan pesan sufistik yang halus. Dua antologi lainnya yang terbit belakangan, yaitu Batu-Batu Setan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994) dan Rindu Ladang Padang Ilalang (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002) makin memperlihatkan kecenderungan Fudoli mengangkat tema-tema religius.
***

Mencermati keenam antologi cerpen yang telah dihasilkan Mohammad Fudoli Zaini, tampak ada tiga fase penting yang menandai perjalanan kepengarangannya. Fase pertama secara jelas tergambarkan dalam antologi Lagu dari Jalanan yang mengangkat kehidupan keseharian dunia pesantren. Di sana, tak ada tema besar. Ia seperti hendak mewartakan tentang perilaku dan kepercayaan para santri berikut pergulatan hidupnya. Dalam hal ini, ajaran agama sama sekali tidak muncul secara verbalistik. Fudoli justru menyelusupkan doktrin agama itu dalam gambaran perilaku manusianya. Dengan demikian, kita seperti sengaja dibawa pada kehidupan nyata, sementara pengarang seperti sekadar bertutur tanpa pretensi hendak berdakwah. Meskipun begitu, dalam beberapa cerpennya, khususnya cerpen “Si Kakek dan Burung Dara” kita masih dapat menangkap bahwa di balik kisah yang realistik itu, ada simbol-simbol sufistik yang coba diselusupkan Fudoli secara sangat halus.

Fase kedua ditandai dengan munculnya cerpen-cerpen Fudoli dengan latar Timur Tengah, khususnya Mesir. Dalam Potret Manusia, kecuali cerpen “Kemarau” semuanya berlatarkan Timur Tengah. Dalam antologi ini, kembali kehidupan keseharian yang sesungguhnya sudah sangat biasa, menjadi luar biasa ketika Fudoli mengangkat sisi-sisi humanistiknya. Dalam hal inilah, disadari atau tidak, Fudoli telah memainkan peran sosialnya. Ia telah menunjukkan kepeduliannya terhadap lingkungan sekitar, meskipun ia berada di negeri asing.

Di dalam antologi cerpen berikutnya, Kota Kelahiran dan Arafah, latar tempat tidaklah terlalu dipentingkan lagi. Dalam hal ini, Fudoli mulai menggeser perhatiannya tidak lagi pada potret keseharian kehidupan manusia, melainkan pada hakikat di balik peristiwa-peristiwa keseharian itu. Jadi, keteguhan Sabir dalam cerpen “Sabir dan Sepeda” misalnya, hakikatnya bukanlah terletak peristiwa-peristiwa kasat mata yang dihadapi tokoh itu, melainkan pada keteguhan seseorang dalam menjalankan keimanan dan ketakwaannya.

Dalam sejumlah cerpennya yang terhimpun dalam kedua antologi itu, kita melihat, betapa tokoh-tokoh yang digambarkannya selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan bebas. Dan ketika ia menentukan pilihan, maka yang jauh lebih penting adalah bagaimana kita berteguh pada pilihan itu. Dan hanya dengan takwa, kita akan sampai pada harapan atas pilihan itu.

Fase ketiga dari kepengarangan Fudoli tampak pada dua antologi cerpen yang terbit belakangan, Batu-Batu Setan dan Rindu Ladang Padang Ilalang. Di sini, Fudoli tidak hanya menampakkan kematangannya dalam memanfaatkan metafora dan simbol-simbol sufistik, tetapi juga cenderung mengusung tema-tema tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam cerpen “Burung Kembali ke Sarang” misalnya, peristiwa kematian anak bagi orang tua memanglah membawa pada sebuah kehilangan yang dahsyat. Tetapi, dengan kesadaran “Dari Allah kembali ke Allah. La ilaha illallah” suami-istri itu akhirnya sampai pada kerinduan ilahiah.

Dalam Batu-Batu Setan, kita dihadapkan pada sejumlah peristiwa surealis yang sengaja dihadirkan melalui pikiran-pikiran tokoh cerita. Oleh karena itu, kita seperti dihadapkan pada dunia gaib yang mencekam. Dan tiba-tiba saja –di akhir cerita—kita seperti disadarkan kembali, bahwa segala tindak pikiran dan kegelisahan tokoh-tokohnya itu, sengaja dibangun untuk sampai pada muara kerinduan ilahiah itu.
***

Di tengah derasnya cerpen-cerpen Indonesia mutakhir yang muncul dengan mengusung tema kritik sosial, Mohammad Fudoli Zaini justru mengangkat kisah-kisah sufistik yang kuat. Dan pengetahuannya yang luas tentang filsafat sufi, tentu saja sangat membantu menyelusupkan metafora dan simbol sufistik yang –menurut Abdul Hadi WM—unik dan segar. Pesan itu jadi terasa begitu halus lantaran Fudoli menyampaikannya melalui cara bertutur yang lancar mengalir seperti kita sedang mengikuti arus air anak sungai. Sebuah teknik bercerita yang sangat bersahaja, namun justru sangat mendukung tema yang hendak dihadirkannya.

Jika kita hendak menempatkan kedudukan Mohammad Fudoli Zaini dalam konstelasi cerpen Indonesia, maka sulit bagi kita untuk menafikan sumbangannya dalam memperkaya tema cerpen Indonesia modern. Fudoli seperti sengaja melengkapi tema sejenis yang disampaikan Danarto, Kuntowijoyo, Djamil Suherman atau Mohammad Diponegoro. Dengan demikian, tentu saja menjadi tidak beralasan jika kita bermaksud meniadakan namanya dalam peta kesusastraan Indonesia. Fudoli telah sangat meyakinkan membuat tonggaknya sendiri yang tidak dapat dengan mudah digantikan dengan nama cerpenis lain. Sangat disayangkan jika para pengamat sastra Indonesia mengabaikan karya-karya sufistik seorang Mohammad Fudoli Zaini!

(Maman S. Mahayana, Pensyarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia)

Relevansi Mantiq Al-Tayr Karya Sufi Persia Fariduddin Attar (1)

Abdul Hadi W. M.
http://kompas.co.id/

Alamat apa yang memerlihatkan adanya dunia lain
Di sebalik dunia yang tampak ini?
Perubahan-perubahan besar, terhapusnya masa lalu
Hari baru, malam baru, zaman baru
Dan bahaya-bahaya baru yang mengancam kehidupan
Dalam setiap zaman selalu ada pikiran baru
Kesenangan baru dan juga kekayaan baru
(Jalaluddin Rumi dalam Divan-i Shams Tabriz)

Yang paling dekat adalah Tuhan
Namun sukar dipahami dengan pikiran
Jika bahaya datang mengancam
Baru orang berbondong-bondong cari keselamatan
(Hoelderlin dalam “Patmos”)

DALAM forum ini saya diminta berbicara tentang spiritualitas dalam sastra Islam. Oleh karena pokok berkenaan dengan hal ini sangat luas, saya ingin batasi perbincangan ini dengan membahas salah satu karya sufi yang masyhur, yaitu Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) karangan seorang sufi Persia terkenal Fariduddin `Attar (1132-1222 M). Hingga sekarang karya sufi dari Nisyapur ini masih jadi perbincangan hangat di kalangan sarjana dan masyarakat sufi internasional, di Timur maupun di Barat, disebabkan relevansinya. Tetapi sebelum itu ada baiknya diuraikan secara ringkas sejarah tasawuf sebagai bentuk spiritualitas Islam dan sumbangan sufi terhadap kesusastraan serta kebudayaan Islam secara umum.

Sebelum memperoleh namanya seperti yang kita kenal sekarang, tasawuf muncul awal mulanya sebagai gerakan sosial keagamaan yang dipelopori oleh ahli zuhud (asketik) pada awal abad ke-2 H. Oleh karena itu gerakan ini disebut juga gerakan kaum asketik, yaitu kelompok orang yang mengutamakan ibadah dan kesalehan sosial dalam menjalankan perintah agama. Di antara tokoh yang dipandang cikal baka kelahirannya ialah ahli zuhud seperti Hasan al-Basri, Makruf al-Karkhi, Rabi’ah al-Adawiyah, Hasan al-Muhasibi, Dhu al-Nun al-Misri, Sumnun, Hasan al-Nuri, dan lain sebagainya. Pada mulanya gerakan ini lahir sebagai protes terhadap kecenderungan pada hedonisme dan materialisme yang meluas dalam masyarakat Islam, terutama yang tinggal di kota-kota besar yang merupakan pusat kegiatan politik dan perdagangan ketika itu seperti Damaskus, Baghdad, Basra, dan lain sebagainya. Tetapi lambat laun, dengan berjalannya waktu dan keterlibatan para tokohnya dalam berbagai pemikiran keagamaan, filsafat dan ilmu pengetahuan, wacana pengetahuan dan pemikiran mereka juga meluas merangkumi berbagai aspek persoalan keagamaan dan sosial budaya.

Pada abad ke-10 – 12 M tasawuf muncul bukan saja sebagai gerakan kerohanian (tariqa) yang mengajarkan disiplin kerohanian dalam mencapai kebenaran. Tetapi juga menjadi disiplin ilmu tersendiri dalam Islam, yang dilandasi pula dengan corak pemikiran filsafat tersendiri pula. Demikianlah tasawuf tidak hanya menjelma sebagai gerakan kerohanian (tariqat) dan gerakan sosial keagamaan, tetapi juga sebagai gerakan ilmu keagamaan dan filsafat. Pada abad ke-13 M, karena banyaknya sufi Arab dan Persia mengekspresikan gagasan dan pengalaman kerohanian mereka dalam puisi dan alegori-alegori mistik yang menarik perhatian pembaca sastra, maka tasawuf pun menjelma menjadi gerakan estetik. Sejak itu sampai abad-abad akhir menjelang munculnya gerakan pembaruan dan munculnya pengaruh Barat dalam masyarakat Muslim, para sufi ini memainkan peranan penting dalam perkembangan sastra di Dunia Islam. Peranan penting mereka ini tidak hanya dapat dilihat dalam sejarah kesusastraan Arab dan Persia, tetapi juga dalam sejarah kesusastraan Turki Usmani, Melayu, Urdu, Sindhi, Swahili, dan lain-lain.

Sebagai cabang dari ilmu-ilmu Islam, ahli-ahli tasawuf yang disebut sufi ini menekankan pembahasan pada masalah-masalah berkenaan dengan dimensi batin atau spiritual ajaran Islam. Keseluruhan ilmu dan filsafat mereka mencakup bidang-bidang seperti metafisika, kosmologi, psikologi kerohanian, epistemologi, etika, filsafat ketuhanan, estetika, puitika, hermeneuitika (ta’wil), dan lain sebagainya. Sebagai disiplin kerohanian sering disebut sebagai ilmu suluk atau ilmu makrifat. Suluk artinya jalan kerohanian, dan orang yang menempuh ilmu suluk disebut salik. Disebut ilmu makrifat karena tujuan mereka mempelajari dan mempraktekkan ilmu suluk ialah mencapai makrifat, yaitu pengenalan masalah ketuhanan secara mendalam. Adapun perkumpulan tempat mereka mempelajari ilmu suluk dan prakteknya disebut tariqa (tarekat), yang sering diartikan juga sebagai persaudaraan sufi.

Kata-kata tasawuf sendiri dibentuk dari tiga kata yang artinya berbeda-beda, tetapi masing-masing memiliki kaitan makna dengan erat dengan kegiatan sufi. Pertama, kata suf yang artinya kain dari bulu domba atau wool. Ini berkaitan dengan kebiasaan para sufi yang awal yang selalu mengenakan baju dari bulu domba yang bersahaja, sebagai lambang kesederhanaan. Kebiasaan yang sama sebelumnya tampak di kalangan rahib-rahib Kristen. Bulu domba juga merupakan lambang pengurbanan diri demi tujuan-tujuan ilahiah. Kedua, kata safi yang artinya dalam bahasa Arab ialah suci. Jalan tasawuf ialah penyucian diri (thadkiya al-nafs), yaitu melenyapkan egonsentrisme atau pamrih indvidual dalam setiap laku sosial dan amal ibadah. Ketiga, kata sophia yang dalam bahasa Yunani artinya kearifan atau kebijaksanaan. Tetapi para sufi memandang bahwa kearifan tidak hanya diperoleh melalui logika dan penalaran akal (rasio), tetapi terutama juga menggunakan metode intuitif dan instrospeksi. Misalnya melalui kontemplasi (muraqabah) dan meditasi (tafakkur). Metode intuitif sering dipadankan dengan cinta, yaitu penyaksian mata hati secara langsung atas kebenaran yang ingin dicapai.

Pengertian-pengertian yang diberikan itu sesuai dengan hakikat tasawuf itu sendiri, yaitu sebagai ilmu yang membicarakan cara-cara terbaik jiwa manusia berhubungan dengan Realitas Tertinggi dan mengenal-Nya secara mendalam. Dalam perjalanan-Nya menapai Yang Haqq itu banyak pengalaman yang ditemui para sufi dan setiap pengalaman itu memberi dampak kepada jiwa sang pencari. Karena itu ilmu tasawuf pada dasarnya membicarakan tahapan-tahapan rohani (maqamat) dan keadaaan-keadaan jiwa (ahwal) yang dialami seorang penempuh ilmu suluk sehingga mencapai makrifat. Begitu pula dengan sastra sufi, yang dipaparkan ialah pengalaman dan gagasan sufi berkenaan dengan tahapan rohani dan keadaan jiwa, yaitu yang dialami secara langsung oleh penulisnya.

Pada abad ke-12 dan 13 M, yaitu masa berkecemuknya Perang Salib dan invansi Mongol, yang menyebabkan hancurnya kekhalifataan Baghdad dan terjadinya diaspora besar-besaran orang Islam; tarekat-tarekat sufi berkembang subur dan pecah ke dalam banyak aliran. Mereka memiliki jaringan-jaringan luas di seantaro Dunia Islam. Terdapat juga tarekat memiliki organisasi sosial keagamaan yang disebut futuwwa dan gilde-gilde (organisasi dagang) yang disebut ta`ifa dengan jaringan-jaringan yang luas pula. Pada masi inilah sastra sufi mulai mencapai puncak kesuburan dan kematangannya, yang terus tumbuh pesat setidak-tidaknya hingga abad ke-19 M. Pada abad ke-20 M sekalipun sebagai gerakan estetik telah terhenti, namun pengaruh sastra sufi dan estetikanya tetap tampak di kalangan penulis-penulis Muslim tertentu. Misalnya dalam karya Mohamad Iqbal, Ahmad Sawqi, Salah Abdul Sabur, Amir Hamzah, Sanusi Pane, Danarto, Kuntowijoyo, dan lain-lain.

Fariduddin `Attar adalah sufi Persia terkenal yang dipandang sebagai pelopor kebangkitan sastra sufi dalam kesusastraan Persia bersama-sama dengan Sana’i. Pengaruhnya sangat besar bukan hanya terhadap pengarang-pengarang sufi Persia seperti Jalaluddin Rumi, tetapi juga bagi penulis fusi di Turki, Asia Tengah, India, kepulauan Melayu, dan lain sebagainya. Dio kepulauan Melayu, pengaruh kepenyairannya tampak dalam karya Hamzah Fansuri, sufi Melayu dari Aceh yang hidup pada abad ke-16 M. Disebabkan relevansinya, terutama Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung), sampai sekarang karya-karya `Attar masih luas diperbincangkan di kalangan msyarakat tasawuf dan dijadikan bahan perbincangan di kalangan sarjana-sarjana Timur dan Barat.

Relevansi Mantiq Al-Tayr Karya Sufi Persia Fariduddin Attar (2)

Abdul Hadi W. M.
http://kompas.co.id/

Farriduddin al-`Attar nama lengkapnya ialah Fariduddin Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim, dilahirkan di Nisyapur pada tahun 1142 M dan wafat di kota yang sama pada tahun 1230 M. Menurut cerita sang sufi mati dibunuh oleh tentara Mongol, yang pada tahun 1220 M menyerbu Nisyapur. Dia lebih dikenal sebagai al-`Attar atau `Attar, yang artinya pembuat minyak wangi (parfum) dan obat-obatan (farmasi). Setengah riwayat menceritakan bahwa dia berubah pikiran untuk menjadi seorang sufi setelah mengalami peristiwa ganjil dalam hidupnya.

Pada suatu hari `Attar, bersama-sama seorang rekannya, sedang duduk di depan kedainya. Tiba-tiba datanglah seorang darwis (sufi pengembara) yang melihat ke dalam kedainya. Ketika sang darwis menghirup bau parfum dia menarik nafas panjang dan menangis. `Attar mula-mula berfikir bahwa faqir itu hendak meminta belas kasihan, lalu dia mengusir dari kedainya. Faqir itu kemudian menjawab, “Tidak ada yang dapat menghalang saya untuk meninggalkan tokomu ini. Tak sukar pula bagiku untuk mengucap selamat tinggal kepada dunia yang bobrok ini. Apa yang ada padaku hanyalah jubah bulu domba yang lusuh ini. Tetapi bagaimana dengan kau? Aku sangat kasihan justru pada kau. Bisakah kau mengubah pendirianmu tentang kematian dan bagaimana kau dengan lapang dada mau meninggalkan harta kekayaanmu yang berlimpah ini?”

`Attar terperangah, tetapi kemudian dengan spontan dia menjawab, ”Aku mau hidup sederhana dan karenanya sanggup meninggalkan harta bendaku ini untuk mencari kebenaran. Faqir itu berkata, ”Kuharap kau mau menjadi faqir dan bebas dari belenggu dunia!”. `Attar kembali terkejut, sebab setelah mengucapkan kata-kata itu sang faqir terjatuh dan setelah diperiksa sudah tidak bernyawa lagi. Kejadian ini memberikan pengaruh mendalam kepada `Attar. Selang beberapa hari kemudian dia meninggalkan Nisyapur dan mengembara ke berbagai kota untuk menemui guru-guru tasawuf yang terkemuka pada zaman itu. Sejumlah toko parfum miliknya dia serahkan kepada sanak saudaranya. Banyak guru dia temui, antara lain yang paling banyak memberi bimbingan kerohanian ialah sufi terkemuka Syekh Bukh al-Din.

Selama bertahun-tahun dalam pengembaraannya, `Attar menjalani hidupnya sebagai seorang darwish. Dia akhirnya kembali ke kota kelahirannya dan masa-masa akhir hayatnya sebagai guru kerohanian dan saudagar minyak wangi di kota kelahirannya. Dia bukan saja sukses dan tenar sebagai ahli tasawuf dan sastrawan, tetapi juga sebagai usahawan. Kekayaannya bertambah-tambah, tetapi tidak menyebabkan dia terbelenggu oleh masalah keduniaan. Sebaliknya dengan harta yang diperolehnya dia dapat mendirikan sekolah, pesantren, zawiyah, dan membesarkan gerakan tasawuf yang dipimpinnya. Pada masa ini pulalah karya-karyanya ditulis.

`Attar termasuk penulis yang subur pada zamannya. Dalam karya-karyanya dia banyak mengambil dan menyajikan semula ucapan Nabi Muhammad s.a.w. dan ucapan guru-guru sufi yang masyhur. Hal itu dimaksudkan karena ucapan-ucapan tersebut dapat mengukuhkan keimanan dan aspirasi pembacanya, serta dapat meruntuhkan kesombongan dirinya. `Attar sangat menyukai ucapan-ucapan spiritual para sufi, serta kisah-kisah mereka yang sangat berfaedah untuk pengajaran dan pendidikan akhlaq, sejak pada masa muda lagi. Terlebih-lebih, menurut `Attar, karya-karya yang berkenaan spiritualiti sangat penting ditulis pada zaman di mana dunia dikuasai oleh pemimpin-pemimpin yang jahat, haloba, tidak jujur dan tidak adil. Sedangkan manusia-manusia yang memiliki kearifan dan dapat membimbing manusia di jalan benar telah dilupakan banyak orang.

Di antara karyanya yang masyhur ialah Thadkira al-`Awliya (Anekdot Para Wali), Musibat-Namah (Kitab tentang Bencana), Ilahi-Namah (Kitab Ketuhanan atau Kesucian), Mantiq al-Tayr (Persidangan atau Musyawarah Burung), Asrar-namah (Kitab Rahasia Ketuhanan), dan banyak lagi. Sajak-sajaknya sebagian besar dia dalam bentuk qasidah (pujian), ghazal (sajak cinta) dan ruba`i (sajak empat baris berisi renungan atau pemikiran). Di antara qasidahnya yang terkenal ialah sajak-sajak pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w. (madaih al-nabawiya) yang sampai sekarang dinyanyikan dalam perayaan Maulid Nabi Muhammad di negeri-negeri berbahasa Persia.

Mantiq al-Tayr menceritakan.penerbangan burung-burung mencari raja diraja mereka Simurgh yang berada di puncak gunung Qaf yang sangat jauh dari tempat mereka berada. Perjalanan itu dipimpin oleh Hudhud, burung kesayangan Nabi Sulaiman a.s. yang melambangkan guru sufi yang telah mencapai tingkat makrifat yang tinggi. Sedangkan burung-burung melambangkan jiwa atau roh manusia yang gelisah disebabkan kerinduannya kepada Hakekat Ketuhanan. Simurgh sendiri merupakan lambang diri hakiki mereka dan sekaligus lambang hakekat ketuhanan. Perjalanan itu melalui tujuh lembah, yang mrrupakan lambang tahap-tahap perjalanan sufi menuju cinta ilahi. Dalam tiap tahapan (maqam) seorang penempuh jalan akan mengalami keadaan-keadaan jiwa/rohani (ahwal, kata jamak dari hal). Uraian keadaan rohani yang disajikan `Attar menarik karena menggunakan kisah-kisah perumpamaan. Pada akhir cerita `Attar menyatakan bahwa ternyata hanya tiga puluh ekor burung (si-murgh) yang mencapai tujuan, dan Simurgh tidak lain ialah hakekat diri mereka sendiri.

Lembah-lembah yang dilalui para burung itu ialah: Pertama, lembah talab atau pencarian. Di lembah ini banyak kesukaran, rintangan dan godaan dijumpai oleh seorang salik (penempuh jalan) . Untuk mengatasinya seorang salik harus melakukan berbagai ikhtiar besar dan harus mengubah diri sepenuhnya, dengan membalikkan nilai-nilai yang dipegangnya selama ini. Kecintaan pada dunia harus dilepaskan, baru kemudian ia dapat terselamatkan dari bahaya kehancuran diri dan sebagai labanya dapat menyaksikan cahaya kudus Keagungan Ilahi. Hasrat-hasrat murni kita dengan demikian juga akan berlipat ganda. Seseorang yang berhasil mengatasi diri jasmani dan dunia akan dipenuhi kerinduan kepada yang dicintai dan benar-benar mengabdikan diri kepada Kekasihnya. Tidak ada masalah lain baginya kecuali mengejar tujuan murni hidupnya dan dia pun tidak takut kepada naga-naga kehidupan, yaitu hawa nafsunya. Ia tidak mempermasalahkan lagi keimanan dan kekufuran, sebab dia telah berada dalam Cinta. Kata `Attar, “Apabila kau gemar memilih di antara segala sesuatu yang datang dari Tuhan, maka kau bukan penempuh jalan yang baik. Apabila kau suka memandang dirimu sendiri dimuliakan karena memiliki intan dan emas segudang, dan merasa dihinakan karena hanya memiliki setumpuk batu, maka Tuhan tidak akan menyertaimu. Ingatlah, jangan kau sanjung intan dan kau tolak batu, karena keduanya berasal dari Tuhan. Batu yang dilemparkan oleh kekasih yang setia lebih baik dari intan yang dijatuhkan oleh seorang wanita perusak rumah tangga.”

Di lembah pencarian seseorang harus memiliki cinta dan harapan. Dengan cinta dan harapan orang dapat bersabar. Kata `Attar, “Bersabarlah dan berusahalah terus dengan harapan memperoleh petunjuk jalan (hidayah). Kuasailah dirimu dan jangan biarkan kehidupan lahiriah dan jasmaniah menawan serta menyesatkanmu!”
Kedua, lembah Cinta (`isyq). `Attar melambangkan cinta sebagai api yang bernyala terang, sedangkan pikiran sebagai asap yang mengaburkannya. Tetapi cinta sejati dapat menyingkirkan asap. Di sini `Attar mengartikan cinta sebagai penglihatan batin yang terang, sehingga tembus pandang, artinya dapat menembus bentuk-bentuk formal kemudian menyingkap rahasia-rahasia terdalam dari ciptaan. Orang yang cinta tidak memandang segala sesuatu dengan mata pikiran biasa, melainkan dengan mata batin. Hanya dia yang telah teruji dan bebas dari dunia serta kungkungan benda-benda, berpeluang memiliki penglihatan terang. Caranya ialah dengan penyucian diri.

`Attar sendiri mengatakan, “Dia yang menempuh jalan tasawuf hendaknya memiliki seribu hati, sehingga setiap saat ia dapat mengurbankan yang satu tanpa kehilangan yang lain.” Di sini Cinta dikaitkan dengan pengurbanan. Para sufi merujuk kepada kepatuhan Nabi Ismail a.s. kepada perintah Tuhan. yang bersedia dijadikan qurban oleh ayahnya Nabi Ibrahhim. a.s. Peristiwa inilah yang dijadikan landasan upacara Idul Qurban. Kata-kata qurban berasal dari qurb yang berarti hampir atau dekat. Jadi berkurban dalam cinta berarti berusaha memperdekat langkah kita untuk mencapai tujuan, yaitu Cinta Ilahi.

Salah satu ciri cinta sejati ialah dicapainya penglihatan hati yang terang. Dalam keadaan seperti itu seorang sufi memiliki pandangan yang visioner, dan mampu memahami hakekat terdalam kehidupan. Karena dapat melihat dari arah hakekat, maka seorang pencinta dapat memiliki gambaran yang berbeda dari orang lain tentang dunia dan kehidupan Pencinta sejati bebas dari kungkungan bentuk-bentuk lahir. `Attar menuturkan kurang lebih sebagai berikut:

Ketahuilah wahai yang tak pernah diberi tahu!
Di antara pencinta, burung-burung itu telah bebas
Dari kungkungan sangkarnya sebelum ajal mereka tiba
Mereka memiliki perkiraan dan gambaran lain tentang dunia
Mereka memiliki lidah dan tutur yang berbeda pula
Di hadapan Simurgh mereka luluh dan bersimpuh
Mereka mendapat obat demi kesembuhan mereka dari penyakit
Sebab Simurgh mengetahui bahasa sekalian burung.

Menimbang Ekspresi Sufistik dalam Kata

Theresia Purbandini
http://www.jurnalnasional.com/

Acep Zamzam Noor adalah seorang penyair yang dilahirkan dan dibesarkan di pondok pesantren. Hal ini membuat nuansa keislaman dalam karya-karyanya sangat terasa. Cipasung adalah salah satu karya penyair kelahiran Cipasung, Tasikmalaya ini. Puisi itu menggambarkan keadaan desa yang tenang dan damai, dengan nuansa islami yang kental.

Selain nuansa keislaman, nuansa keindahan alam Jawa Barat pun sangat terasa. Beberapa puisinya, bahkan ada yang ditulis dengan menggunakan bahasa Sunda. Di Pondok pesantren Cipasung pula Acep mendirikan komunitas sastra, yaitu Sanggar Sastra Tasik dan Komunitas Azan, yang bergerak dalam pembinaan dan pemasyarakatan sastra.

Almarhum ayah Acep adalah seorang seorang ulama Nahdlatul Ulama. Namun meskipun dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan pesantren, Acep ternyata tidak mengikuti jejak ayahnya menekuni bidang agama. Dia ternyata lebih memilih jalur kesenian sebagai jalan hidupnya. Karya-karyanya bahkan sudah dihadiahi penghargaan South East Asian (SEA) Write Award dari Kerajaan Thailand pada 2005.

Pengaruh lingkungan
Menurut Nur Zain Hae, penyair yang juga jadi Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta ini, Acep Zamzam Noor tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh lingkungannya sejak kecil, yakni kehidupan pesantren. Tapi Acep telah menemukan jalan kehidupannya sebagai seorang penyair, dan visi keseniannya cukup kokoh; tanpa dibayangi Bapaknya, seorang tokoh NU terkenal.

Kecenderungan Acep adalah menampilkan pengalaman spiritual melalui karyanya. “Acep mencoba menuangkan pengalaman spritual bukan lagi hanya miliknya pribadi, tetapi lebih meluas kepada alam. Cangkul dan lumpur yang dijadikan metafor tiba-tiba jadi milik semua mahluk ciptaan Tuhan yang juga punya jalan untuk memuji atau menujuNya,” ungkap Nur Zain Hae.

Ibarat pelukis ekspresionis, Acep berusaha menyatakan sikapnya dengan alam sebagai metafora, dengan gubahan pengalaman individunya yang juga mendapat pengaruh asing dari penyair asal Meksiko, Octavio Paz peraih Hadiah Nobel Sastra tahun 1990. “Pemikirannya yang terbuka akan pengaruh dari luar, yang membuat saya menyukai karyanya, sehingga masih bisa dirasakan pertumbuhannya,” kata Nur Zain Hae.

Dalam perkembangan puisi modern, menurut Nur Zain Hae, tidak ada penyair yang benar-benar melakoni kehidupan sufi secara klasik. Yang ada kini hanyalah para penyair biasa yang mengalami banyak persoalan dan sebagian besar tidak mengikuti tradisi pemikiran sufistik secara ketat. Tetapi, sebagian mereka mencoba menonjolkan spiritualitas sebagai umat beriman.

Tren atau gejala musiman yang kerap melanda sebagian besar penyair era tahun 80-an, dalam perkembangan puisi modern, nyatanya membuka gerbang kesusasteraan Indonesia menuju kiblat religiusitas. Nur Zain Hae pun memasukkan nama Acep ke dalam daftar penyair yang mengidap tren ini. “Bagi saya, karya-karya Acep ‘fifity-fifity’ (50:50) antara sikapnya yang mengikuti tren dengan berinteraksi mengungkapkan perjalanan agamanya ke dalam bentuk puisi.”

Cara ungkap, bukan tujuan
Menurut Nur Zain Hae, sajak sufistik hanyalah salah satu sarana pengungkapan laku sifistik yang bukan merupakan tujuan. “Seperti ketika membaca biografi Jalaluddin Rumi, dia seperti mengucapkan syair tanpa disengaja dan puisi sufistiknya merupakan identitas laku sufistiknya secara spiritual,” katanya.

Batasan karya sastra sufistik agaknya masih berada dalam garis abu-abu. Tak ada kepastian yang menandakan sejauh mana patokan hasil karya dinilai memiliki roh secara sufistik dalam artian sesungguhnya. Ketika Nur Zain Hae berusaha menafsirkan kejanggalan tren sufistik ini dalam puisi, dinilainya bisa menjadi sebuah jebakan.

“Mudah saja menulis sajak dengan kata ganti Mu, pasti akan dianggap sebagai hasil karya untuk memuja Tuhan. Inilah karya yang bisa dibilang sebagai puisi sufistik masa kini; bukan sufistik klasik. Karena sesungguhnya tidak mudah menciptakan puisi yang beraliran sufistik. Sebab, harus diikuti pula dengan jejak perilaku si penganut sufistik itu. Jadi harus ditinjau, seberapa asli kadar pernyataan-pernyataan sufistik dalam teksnya,” ungkapnya.

Kuncinya menurut Nur Zain adalah apakah sang penyair dapat menyiasati kata ganti Mu, atau juga memiliki sifat pribadi yang sangat khusyuk dalam pengalaman spiritual. Sedangkan kita sebagai pembaca, harus memutuskan hubungan sejenak dengan sang penyair untuk menentukan jenis puisi ini sufistik atau tidak. Layaknya organisme yang otonom, sepanjang pengungkapan spiritual dapat mengugah pembaca, bisa dikatakan ia berhasil sebagai penyair sufistik. Karena membaca puisi bukan membaca biografi sang pengarang, melainkan isi yang tertoreh dalam puisi tersebut.

Spiritualitas dalam Sastra Tidak Pernah Mati

Susianna
http://www.suarakarya-online.com/

Karya sastra bertema spiritualitas ternyata masih diminati dikalangan pembaca. Paling tidak bisa dilihat dari hasil survei Bale Sastra Kecapi yang diadakan September belum lama ini. Berdasarkan hasil survei dari 100 responden di Jakarta dan sekitarnya inilah Bentara Budaya mengusung agenda acara diskusi “Spiritualitas dalam Sastra”, baru-baru ini.

Bekerja sama dengan harian Kompas dan Bale Sastra Kecapi dihadirkan pembicara Yudi Latif (pemikir kebudayaan), Stanislaus (St) Sunardi (ahli sastra dan filsafat Islam), dan Abdul Hadi Wiji Muthari (WM) yang dipandu oleh Radhar Panca Dahana (penyair/esais).

Penyair /peneliti sastra Islam Abduil Hadi membahas Relevansi Mantiq al-Tayr (Musyawarah Burung) karya sufi Persia terkenal Farriduddin al-`Attar, nama lengkapnya Fariduddin Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim (1132-1222 M).

Guru besar dalam bidang Ilmu Falsafah dan Agama Universitas Paramadina itu mengemukakan hingga sekarang karya sufi dari Nisyapur ini masih jadi perbincangan hangat di kalangan sarjana dan masyarakat sufi internasional, di Timur maupun di Barat, disebabkan relevansinya.

Ada beberapa perspektif atau aspek penting yang dapat dikemukakan untuk melihat relevansi karya sufistik atau profetik seperti Mantiq al-Tayr. Pertama, berkenaan dengan wawasan estetika yang melandasi penulisannya, yang sebenarnya mencerminkan kecenderungan umum karya sejenis sufistik, mistikal, transendental, spiritual, profetik, bahkan apokaliptik, dan lain sebagainya. Kedua, aspek kesejarahan yaitu sejarah sosial budaya dan keagamaan yang melatari penulisan karya `Attar. Ketiga, sebagai karya yang berangkat dari perenungan ketuhanan dan masalah keagamaan.

Secara estetik Mantiq al-Tayr memerlihatkan bahwa kaum spiritualis atau mistikus (dalam hal ini sufi) memandang bahwa sastra sebagai penyajian secara simbolik gagasan dan pengalaman kerohanian yang dicapai penulisnya sebagai penempuh jalan kerohanian. Simbol-simbol tersebut diambil dari kitab suci, teks keagamaan, sejarah agama, pristiwa-peristiwa sejarah, budaya, cerita rakyat yang mereka kenal, dan lain sebagainya.

Apa yang dipaparkan di situ tetap ada kaitannya dengan realitas di luarnya. Persoalan-persoalan yang dikemukakan melalui kisah-kisah dalam Mantiq al-Tayr, adalah persoalan keseharian namun berhasil ditransformasikan menjadi persoalan spiritual dan keagamaan.

Surga Anak-Anak
St. Sunardi memaparkan Sebuah Catatan tentang Surga Anak-Anak karya Najnb Mahf{z. yang mengambil tema pendidikan agama dalam masyarakat modern. Berdasarkan pengamatan Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta itu dapat disimpulkan bahwa sastra mempunyai kekuatan spiritualitas justru karena sastra menyuarakan imanensi manusia (batas-batas kemanusiaan) dan bukannya melantunkan suara dari langit. Karena, menurut Sunardi, spiritualitas berkaitan dengan suara manusia yang terus-menerus mencari dan mencari yang lain. Malah, nuansa spiritual tidak musti terkait langsung dengan agama. Dalam konteks ini sastra malah mempunyai caranya sendiri untuk mendefinisikan dan meredifinisikan apa itu “spiritualitas”.

Pengasuh Pesantren Ilmu Kemanusiaan dan Kenegaraan (PeKiK Indonesia ) Yudi Latif, mengemukakan men-tradisi sastra-spiritualitas juga memantul di kepulauan Nusantara, antara lain dengan menggunakan bahasa Melayu. Bahasa Melayu telah mengalami banyak perkembangan sebelum ia digunakan sebagai alat bagi sastra metafisika dan filosofis Islam.

Sementara itu mengenai tema, teori tentang penciptaan dalam sastra Islam sama tuanya dengan ajaran Islam sendiri. Selain itu, sastra Islam juga menggunakan simbol-simbol untuk mengungkapkan kerinduan akan cinta-Nya dan merepresentasikan asal-muasal sumber penciptaan. Amir Hamzah, misalnya, digambarkan oleh Prof A Teeuw sebagai “satu-satunya penyair Melayu ‘modern’ yang kembali pada puisi Melayu religius ‘tradisional’ yang berwarna-mistik, yang pada gilirannya bisa ditelusuri kembali secara langsung atau tidak langsung kepada para mistikus besar Islam.

Memasuki perkembangan budaya kontemporer, tampaknya tema sastra bercorak religius tidak pernah mati. Apakah ia sebagai jawaban atas kekeringan kehidupan batin manusia modern ataukah sebagai pelarian dari kekerasan kehidupan yang masih diliputi konflik antarnegara, sosial, agama, etnis, individu, batin, dan degradasi lingkungan hidup yang membuat dunia sastra mau tak mau harus ambil bagian dalam dunia yang semakin sakit ini. Maka, mau tak mau, dalam dunia seperti ini, untuk meminjam ungkapan Romo Mangunwijaya dua puluh tahun yang lalu, setiap karya sastra yang berkualitas selalu berjiwa religius.

Mengutip ucapan pemikir Islam terkemuka Mohammad Iqbal, bahwa di atas fase penghayatan religius dalam arti pemahaman masih ada penghayatan yang lebih tinggi, yakni yang sering disebut mistik. Mistik di sini bukanlah sebentuk takhayul, melainkan pendewasaan yang lebih menuju ke dalam. Atau bagi Romo Mangun (bukunya Sastra dan Religiositas, 1988) disebut sebagai “religiositas yang dewasa.” Yakni sebuah karya sastra yang mampu menyuguhkan kandungan kadar religiositasnya. Bukan religiositas dalam arti formal keagamaan, tetapi dalam daya kemampuannya membuat orang bertanya pada dan tentang diri: apa maknanya, apa makna hidupnya?

PANORAMA SASTRA RELIGIUS

S Yoga
http://www.surabayapost.co.id/

Perkembangan sastra religius di Jawa Timur (Jatim) mungkin kurang menarik bagi generasi muda. Sehingga bila kita cermati, hingga kini jarang terlahir sastrawan muda yang kesadarannya terhadap religi cukup tinggi. Padahal sastra religius merupakan salah satu aset yang sangat penting. Hal ini dikarenakan dukungan secara kultural sudah sangat mencukupi, di mana basis-basis pesantren tersebar di Jatim. Sehingga hal yang pontensial ini hendaknya mampu melahirkan karya-karya religius yang mampu berbicara di tingkat nasional.

Apalagi kita tahu Sumenep merupakan gudangnya penyair religius, misal Abdul Hadi WM, D Zawawi Imron, Jamal D Rahman dan Ahmad Nurullah. Sedangkan dalam bidang prosa ada M Fudoli Zaini (Alm) dengan karya Arafah dan Batu-Batu Setan. Sementara di daerah lain kita mengenal Djamil Suherman (Alm), novelis kelahiran Surabaya, menghasilkan Perjalanan ke Akhirat dan Umi Kulsum, yang karyanya berlatar belakang pesantren. Muhammad Ali (Alm) juga kelahiran Surabaya dengan karya Di Bawah Naungan Al-Qur`an. Namun mereka umumnya malang melintang pada tahun 1960-1970 dan yang lebih muda tahun 1980-1990. Karena itu kita berharap kepada generasi muda, khususnya mereka yang berkomunitas di lingkungan pesantren. Yang jelas memiliki potensi yang lebih daripada mereka yang berada di luar. Karena ajaran dan kehidupan keagamaan setiap hari mereka pelajari dan jalani.

Pada masa kerajaan-kerajaan di Tanah Air, kita sudah mengenal sastra religi yang pada waktu itu dikenal dengan nama suluk maupun serat. Sehingga kita kenal Suluk Quthub, Suluk Berang-Berang, Suluk Wijil, Suluk Sukma Lelana, Suluk Seh Amongroga, sedangkan serat yang terkenal yang mencerminkan keagamaan adalah Wedhatama dan Wulangreh. Kita juga mengenal adanya lagu atau syair yang diciptakan Sunan Bonang, Tombo Ati dan Sunan Kalijaga, Ilir-ilir dan Kidung Rumeksa Ing Wengi. Tentu saja para sunan menciptakan syair demikian bukan tanpa maksud, karena mereka memahami masyarakat yang senang dengan nyanyian dan gamelan, maka diciptakanlah lagu-lagu yang berisi ajaran tasawuf bagi para pengikutnya. Bahkan hingga sekarang lagu tersebut masih banyak dinyanyikan oleh masayarakat desa dan disenangi oleh banyak orang, seakan-akan sudah menjadi milik masyarakat, guna menetramkan hati dan siar agama.

Ketika menyebut sastra religius, tentu saja yang terngiang dalam pikiran adalah sastra yang menyuarakan keagamaan. Hal ini tidaklah salah, demikian juga ada yang menyebutnya sastra sufi, sastra transendensi dan sastra profetik. Yang kesemuanya bermuara kepada pengertian kesadaran akan rasa ketuhanan, kebenaran yang bersumber pada Tuhan. Dan konsepsi ini bisa berlaku bagi semua agama. Yang di Islam biasanya terfokus pada amar mar’ruf, nahi munkar, tu’ minu billah. Menyuruh berbuat baik, mencegah kemungkaran dan bertaqwa pada Allah.

Pencerahan Rohani
Untuk bisa berbuat sesuai tiga hal tersebut, yang pasti rohani kita harus suci terlebih dahulu. Namun di sisi lain kehidupan kita sekarang ini seringkali tergoda oleh hal-hal duniawai. Karenanya bisa jadi posisi kita berada dalam krisis iman. Belum lagi gempuran materialisme dan sekularisme terus-terusan berada di sekitar kita. Lalu apa yang bisa diperbuat oleh para sastrawan guna menjawab tantangan zaman yang harus segera dibenahi ini. Bagaimana sastrawan Jatim telah mewarnai, memerangi hal-hal buruk yang bisa membuat moral kita terjun bebas menjadi nihil. Alias tak bermoral, yang akhirnya merajalela menjadi kejahatan, yang jauh dari harapan dan kaidah agama. Bahkan bila kita melihat penulis-penulis muda yang ada, seringkali malah berpaling dari sastra religius, dan lebih memilih menekuni sastra liberalisme atau sastra kelamin (mengeksploitasi seks). Dan hal ini akan semakin menjauhkan diri kita untuk mewujudkan kehidupan sastra religius yang lebih berkembang dan sanggup menjawab persoalan kehidupan. Karena krisis iman atau moral hanya bisa diatasi dengan cara meningkatkan transendensi. Sehingga kita semua dapat menemukan pencerahan rohani.

Sementara itu ada pendapat yang mengatakan bahwa karya sastra harus memberi pesan atau amanat yang jelas dan baik. Mengandung nilai-nilai moral yang tinggi. Padahal dalam prakteknya sastra seringkali berlawanan dengan harapan tersebut, karena sastra membeberkan kebobrokan, kenistaan dan kepahitan hidup. Di mana dari kerusakan-kerusakan moral ini akan memuncak dalam sebuah katarsis, pesuncian jiwa. Sehingga dari pengalam membaca sastra, akan kita ambil hikmahnya. Jadi seringkali sastra memberikan pesan atau amanat hanya tersirat saja, tidak tersurat. Dan hal ini membutuhkan diri pembaca untuk aktif berpikir, tidak hanya menerima jadinya saja, yang justru akan membuat diri kita pasif.

Lalu bagaimana mewujudkan karya sastra religius yang bisa dikatakan berhasil, namun juga tidak lepas dari rasa taqwa terhadap Tuhan. Kita tahu pada awal mulanya puisi adalah mantra atau pun doa. Sehingga kehidupan sastra religi, meski pada zaman dulu belum dikenal, sebenarnya sudah ada, yakni dalam ritus-ritus. Sastra religius merupakan doa dalam bentuk ekspresi yang mampu mengetarkan jiwa.

Seringkali kita membaca bahwa sastra religius hanyalah semata-mata memindahkan atau mencomot kata-kata yang ada dalam kitab suci. Sehingga kita tidak menemukan kebaruan dan keunikan di dalamnya. Bahkan sama saja dengan kita mendengarkan rohaniwan berdakwah atau kita membaca buku-buku keagamaan. Padahal bagi seorang penyair yang benar-benar memahami estetika, ia akan dituntut lebih tinggi dalam kemahirannya menerjemahkan doa ke dalam pencitraan baru yang otentik dan kreatif. Kita ambil contoh sebuah puisi, Abdul Hadi WM, Tuhan/Kita begitu dekat/Sebagai api dengan panas/Aku panas dalam apimu/Tuhan/Kita begitu dekat/Seperti kain dengan kapas/aku kapas dalam kainmu/Tuhan/Kita begitu dekan/Seperti angin dan arahnya/Kita begitu dekat/Dalam gelap/kini aku nyala/pada lampu padammu.

Karya ini menunjukkan kedekatan yang sangat intim antara sang penyair dan Tuhannya. Penyair begitu dekat seperti api dan panas, kapas dan kain, angin dan arahnya. Wahdatul wujud begitu sebutanya dalam ilmu tasawuf, sedang dalam mistik Jawa disebut Manunggaling Kawulo Gusti. Menyatunya mahluk dengan Tuhannya. Puisi di atas tidak terjebak dalam konseptual, definitif dan normatif keagamaan. Sehingga justru mampu memberikan pencerahan rohani terhadap pembaca karena sifatnya yang personal, otentik dan sublim. Sehingga mengejutkan dan mampu menciptakan keindahan. Memberikan gambaran penghayatan si penyair akan rasa ketuhanan dengan intreprestasi yang intens dan unik.

Dan salah satu fungsi karya sastra adalah memperingatan sejak dini akan adanya dekadensi moral dan dehumanisasi. Karena itu, ia meruapakan salah satu oase pencerahan. Melihat betapa pentingnya peran sastra religius di masa mendatang, karena rohani kita selalu digempur habis oleh godaan duniawi. Maka kita berharap akan muncul generasi muda para sastrawan di Jatim, yang memiliki daya jelajah religiuitas yang tinggi dalam karya-karyanya. Sehingga dapat menjadi warna tersendiri dalam kehidupan sastra yang selama ini lebih banyak tergoda pada sastra liberal. Tentunya yang benar-benar menjelma menjadi karya sastra yang menyatu antara bentuk dan isi. Mengejutkan, otentik dan tidak normatif. Dan bukan hanya tempelan dogma-dogma agama belaka. Yang justru akan melunturkan nilai-nilai sastra.
***

*) Penyair dan anggota Komite Sastra DK-Jatim.

DAKWAH AGAMA DALAM SASTRA INDONESIA

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Majalah Sastra, Agustus 1968, pernah memuat sebuah cerpen karya Kipanji-kusmin, berjudul “Langit Makin Mendung”. Belakangan, cerpen ini dianggap menghi-na Nabi Muhammad, dan dengan begitu, sekaligus juga berarti melecehkan agama Islam. Reaksi keras dari umat Islam pun mengalir. Pada tanggal 22 Oktober 1968, Kipanjikusmin kemudian menyatakan mencabut cerpennya itu. Tetapi persoalannya tidaklah berhenti sampai di situ. H.B. Jassin, selaku penanggung jawab majalah itu diminta mempertanggungjawabkannya. Paus Sastra itupun lalu diadili di pengadilan.

Itulah salah satu peristiwa penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Perta-nyaannya kini: mengapa terjadi peristiwa semacam itu; bagaimana hubungan antara sastra dan agama dan di mana pula tempat kebebasan berkreasi (licentia poetica), sehingga masyarakat menolak cerpen (:karya sastra) yang seperti itu? Pertanyaan lain tentu saja dapat kita ajukan lebih panjang lagi. Tetapi, dalam konteks ini, kita melihat, bahwa sastra tidak terlepas dari kehidupan sosio-kultural. Ketika sastra menyinggung-nyinggung soal agama, ia dapat menimbulkan masalah atau justru sengaja dijadikan sebagai alat berdakwah. Sesungguhnya, persoalannya sangat bergantung pada cara penyajian dan kemasan yang digunakannya; bagaimana pesan-pesan agama dikemas dan disajikan dalam karya sastra.

Jika ia menampilkan catatan kritis atas penyalahgunaan simbol-simbol agama tanpa memberi ruang bagi penafsiran yang lain, maka sangat mungkin akan muncul reaksi dari masyarakat penganut agama yang bersangkutan. Kasus cerpen “Langit Makin Mendung” adalah contoh, bagaimana simbol-simbol agama disajikan dan dike-mas secara eksplisit dan artifisial. Sebaliknya, jika ia dikemas rapi dan disajikan secara mendalam, hasilnya sangat mungkin justru menjadi karya agung. Jalaluddin Rumi, Rabiah Al-Adawiyah, Fariduddin Attar, Mohammad Iqbal dan sastrawan sufi lainnya adalah sastrawan yang berhasil mengemas pesan agama ke dalam estetika sastra.
***

Dalam sejarah sastra Indonesia, sejumlah pujangga besar yang juga pernah menyampaikan pesan agama tanpa harus meninggalkan estetika sastra, dapatlah disebutkan beberapa di antaranya, Hamzah Fansuri, Raja Ali Haji, Yasadipura I. Dalam deretan sastrawan modern, Amir Hamzah termasuk salah satunya. Belakangan, terutama selepas memasuki dasawarsa tahun 1970-an, kecenderungan mengangkat sastra yang bernafaskan agama, tampak makin semarak. Maka tidak heran jika kemudian muncul usaha-usaha untuk merumuskan karya mereka sebagai sastra religius, sufisme, atau sastra yang berdimensi transendental.

Di bidang drama, misalnya, kita dapat menunjuk karya-karya Arifin C. Noer. Sejumlah besar dramanya, jelas sangat dipengaruhi oleh tradisi keagamaan kaum sufi. Dan Arifin mengangkatnya dalam kemasan keterasingan manusia dalam berhadapan dengan problem masyarakat modern. Lunturnya nilai-nilai keagamaan, dekadensi moral, atau bahaya pencemaran lingkungan merupakan tema-tema dramanya. Simak saja, Kapai-Kapai, Sumur Tanpa Dasar, atau Ozon, terkandung misi keagamaan yang hendak ditawarkannya.

Di bidang prosa, kita juga dapat menemukan dakwah keagamaan pada karya Mohammad Diponegoro (Siklus, 1975), Kuntowijoyo (Khotbah di atas Bukit, 1976), Ahmad Tohari (Kubah, 1980), Motinggo Busye (Sanu, Infinita-Kembar, 1985), dan teristimewa pula pada karya-karya sastrawan sebelumnya. Novel-novel Hamka, Djamil Suherman, Muhammad Ali, El hakim, Idrus, Achdiat Karta Mihardja, secera jelas banyak dipengaruhi oleh sikap religiusitas pengarangnya.

Di Bawah Lindungan Kabah, karya Hamka, misalnya, mengambil latar di Mekah, dan di dalamnya kita dibawa pada suasana keagamaan yang intens. Begitu pula novel Djamil Suherman, Perjalanan ke Akherat (1963) yang menggambarkan alam kubur dan keadaan di surga dan neraka. Suasana keagamaan itu juga terasa begitu kuat pada novel Di Bawah Naungan Al-Quran (1957) karya Muhammad Ali dan Atheis (1948) karya Achdiat Karta Mihardja, meskipun Atheis lebihbanyak mengungkapkan kegelisahan dan ketakutan tokoh Hasan dalam menghadapi akhirat. Sejumlah drama serta novel-novel yang bernapaskan keagamaan, tentu masih dapat kita sebutkan lebih banyak lagi. Itu artinya, baik di bidang drama, maupun prosa, para sastrawan kita secara sadar tak pernah melepaskan diri dari tanggung jawabnya sebagai makhluk Tuhan. Dan dakwah keagamaannya diselusupkan ke dalam karya-karyanya sebagai manifestasi pengabdian kepada Tuhan dan kepada umatnya.

Penyair Taufiq Ismail, misalnya, secara sadar berusaha konsisten dengan sikap keagamaannya. Ia mengatakan bahwa berkarya mesti didasarkan pada “Niat karena Allah, diperuntukkan bagi manusia.” Oleh karena itu, ia menyarankan: “Buatlah kesenian atau kesusastraan yang membuat orang jadi ingat Allah senantiasa. Ciptakan bentuk dan isi keindahan yang membuhul orang dalam hubungan tak putus-putus dengan Allah.”
***

Yang menarik dalam hal menyimak dakwah keagamaan yang dilakukan para sastrawan Indonesia, justru di bidang puisi. Boleh jadi karena bahasa puisi lebih dapat mewakili ekspresi jiwa si penyair, atau mungkin juga karena pengaruh sikap keagamannya yang begitu kuat. Yang jelas, sikap religiusitas sastrawan Indonesia, justru lebih banyak terlihat dalam puisi, dibandingkan dalam drama atau prosa. Di samping itu, para penyairnya juga tidak terbatas pada mereka yang beragama Islam, tetapi juga mereka yang beragama Kristen. J.E. Tatengkeng, misalnya, lewat kumpulan sajaknya, Rindu Dendam (1934), banyak menyuarakan nafas Kristiani. Dan oleh karena itu pula karyanya dipandang lebih berdimensi transendental.

Amir Hamzah, Raja Penyair Pujangga Baru, banyak mengungkapkan kerindu-annya untuk jumpa dengan Tuhan, sebagaimana dapat kita simak dalam Nyanyi Sunyi (1937) dan Buah Rindu (1941). Sajak-sajak Amir Hamzah ini mengesankan adanya pengaruh kuat para penyair sufi, seperti Hamzah Fansuri atau Jalaluddin Rumi.

Ternyata, para penyair kita dewasa ini –sadar atau tidak– banyak pula mengikuti jejak Amir Hamzah. Atau setidak-tidaknya mempunyai kecenderungan yang sama, sungguhpun dalam bentuk, gaya, dan pengucapan yang berbeda. Sekedar menyebut beberapa di antaranya yang menonjol, Mustopa Bisri, Emha Ainun Nadjib, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, D. Zawawi Imron, Abdul Hadi WM, Taufiq Ismail, dan sederetan nama lain yang tentu akan sangat panjang jika dituliskan di sini.

Perhatikanlah, misalnya, sebait puisi karya Abdul Hadi WM yang berjudul “Tuhan, Kita Begitu Dekat” berikut ini:
Tuhan
Kita begitu dekat
Sebagai api dengan panas.
Aku panas dalam apimu.

Perhatikan pula larik-larik terakhir puisi Taufiq Ismail yang berjudul “Ya Rasul” berikut ini:
Dari sela-sela daunan
Sejarah
melintas bayang sosokmu
di antara tahiyat
gerisik gamismu lewat!
Lamat
Lamat
Ya Rasul, Rasulku!

Jika puisi Abdul Hadi memperlihatkan pengagungan si aku liris pada Sang Khalik, maka puisi Taufiq Ismail mengungkapkan kedekatan dan sekaligus kerinduan pada Rasul, meskipun jarak waktu yang panjang memisahkannya.
***

Menyinggung cerpen-cerpen Indonesia yang bernafaskan keagamaan, tentulah kita dapat dengan mudah menyebutkan sejumlah nama, seperti Danarto, Muhammad Diponegoro, Muhammad Fudoli, Djamil Suherman, Kuntowijoyo atau Ahmad Tohari, bahkan tidak hanya menyerap tradisi pesantren yang pernah digelutinya, tetapi juga se-dikit banyak, terpengaruh pemikiran para sastrawan besar Islam dan karya kaum sufi.

Sementara itu, pengaruh tradisi pesantren serta tradisi budaya setempat, seperti Jawa, Sunda, atau Minangkabau, tak dapat mereka lepaskan begitu saja. Maka, karya-karya mereka sudah merupakan percampuran dari berbagai pengaruh. Mohammad Diponegoro, Muhammad Fudoli, dan Djamil Suherman, dibesarkan dalam suasana pesantren dan pendidikan agama yang kuat. Sedangkan Danarto banyak dipengaruhi oleh cerita-cerita wayang dan kebudayaan Jawa, sebagaimana yang tampak dalam kumpulan cerpen Godlob.

Cerpen-cerpen Danarto yang terkumpul dalam Adam Ma’rifat (1982), Godlob (1975) dan Berhala (1987), banyak sekali menampilkan tokoh-tokoh wayang atau yang berkarakter wayang. Oleh karena itu, untuk melihat misi keagamaan dalam cerpen-cerpen Danarto, sedikitnya kita memerlukan acuan dunia pewayangan dan kebudayaan Jawa. Bahkan, cerpennya yang berjudul “Lempengan-Lempengan Cahaya” menampilkan Al-Fatihah sebagai tokoh utamanya.
***

Begitulah, sebenarnya karya sastra Indonesia (cerpen, novel, puisi, dan drama) sangat kaya dengan tema atau nafas keagamaan. Dan tema-tema keagamaan itu niscaya akan terus menyemarakkan khazanah kesusastraan Indonesia. Sebab, bagaimanapun juga, seperti yang dikatakan Seldon Norman Grebstein –kritikus sosio-kultural– bahwa setiap karya sastra adalah hasil dari suatu interaksi sosial dan faktor-faktor kultural yang kompleks, dan karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural yang kompleks. Ia tidak akan dapat dipahami sepenuhnya, jika karya itu dipisahkan dari lingkungan kebudayaan dan masyarakat yang menghasilkannya, termasuk di dalamnya tanggung jawabnya sebagai makhluk Tuhan.

*) Pengajar FSUI, Depok.

Sastra, Santri, dan Film Perempuan Berkalung Sorban

Aning Ayu Kusuma
http://www.republika.co.id/

Setelah sukses menggarap film Ayat-Ayat Cinta, sutradara muda Hanung Bramantyo akan melahirkan lagi sebuah film religi yang sangat kritis dan kontroversial, Perempuan Berkalung Sorban(PBS), yang diangkat dari novel Abidah El Khalieqy.

Sebagaimana pernah dikemukakan Maman S Mahayana dan Ahmadun YH, karya-karya sastra Abidah telah berhasil menyingkap cadar tradisi dunia pesantren, kultur Jawa, dan budaya Arab. Sekaligus juga menawarkan paradigma baru yang lebih substansial untuk menempatkan idealitas perempuan dalam pandangan Islam. Ahmadun bahkan menempatkan Abidah sebagai salah satu novelis terbaik di Indonesia dan novel-novelnya dapat dinilai sebagai puncak sastra Islami — bukan fiksi pop Islami.

Novel-novel Indonesia yang benar-benar menggugat posisi subordinat perempuan belum banyak di tulis. Sementara novel PBS ini banyak ditunjuk menjadi salah satu perintis penulisan fiksi yang secara tegas memperjuangkan kesetaraan gender. Jika diangkat ke layar lebar, jelas akan menambah khazanah keanekaragaman tema film di negeri ini.

PBS adalah novel berbingkai feminisme. Persfektif feminisme lebih mengarahkan pandangannya pada karya-karya sastra yang ditulis perempuan, dan sekaligus juga menampilkan tokoh perempuan dengan berbagai masalahnya. Perspektif dimaksud tidak semata-mata memandang novel dari kacamata estetika, tapi juga memfokuskan kajian pada makna dan hubungannya dengan realitas sosial dan budaya.

Kaum feminis meyakini bahwa tradisi sastra perempuan dan laki-laki memang berbeda. Perbedaan itu dapat ditelusuri jejaknya melalui eksistensi dan kesadaran perempuan pengarang melaui karya sastra yang dihasilkannya. Adakah perempuan pengarang dimaksud mampu menunjukkan usahanya untuk membebaskan diri dari kungkungan sistim patriarkhi, atau justru sebaliknya malah mendukung dan terjebak di dalam sistim tersebut.

Dalam konteks kesusastraan Indonesia mutakhir, di tengah maraknya novel-novel yang ditulis oleh perempuan, karya-karya Abidah memiliki spesifikasi. Selain gaya penulisan dan pilihan diksinya yang puitis, tema-tema yang diangkat tidak terjebak pada tema-tema kebebasan dan seksualitas.

Novel PBS memiliki kandungan ekspresi dan konsistensi fiksional untuk mengutuhkan kepribadian, kecerdasan dan keyakinan tokoh perempuan di dalamnya. Pengutuhan itu bukan saja terbaca dari latar sosial tokohnya, Anisa, tetapi juga emansipasi pemikiran dan keberaniannya untuk melawan dominasi dan diskriminasi tokoh-tokoh antagonis yang bersifat patriarkhis.

Penggambaran posisi dan sikap tokoh perempuan tersebut juga mencerminkan adanya upaya untuk menanggapai dan mencari solusi terhadap masalah gender yang ditimbulkan oleh ketidakadilan sosial dan budaya di sekitar tokoh itu berada.

Dalam bingkai feminisme, kajian gender dalam karya sastra mengarahkan perspektifnya pada beberapa tujuan, yang di antaranya dapat diacu sebagai cara kreatif untuk membebaskan perempuan dalam menulis dan menceritakan pengalamanya sendiri di luar konvensi, aturan, konsep dan premis budaya patriarki. Wacana gender juga berusaha menciptakan androginitas budaya, membangun kesetaraan tatanan sosial yang didasarkan pada nilai-nilai keperempuanan.

Bertolak dari landasan di atas, novel PBS memiliki kecenderungan pokok untuk menempatkan perempuan sebagai subjek budaya. Kecenderungan tersebut dapat dilihat melalui berbagai peristiwa yang sengaja ditampilkan oleh pengarangnya, guna mengungkap dan mengangkat eksistensi kaum perempuan untuk menemukan pengetahuan tentang hak atas tubuhnya. Memahami bagaimana cara menolak, menghindar, memberontak dan melawan terhadap dominasi kekuasaan patriarki.

Selain itu, novel PBS ditulis dengan menggunakan sudat pandang aku-pengarang sebagai tokoh protagonis yang bernama Anisa. Dengan sendirinya, struktur narasi yang digunakan merupakan bagian dari pemikiran tokoh tersebut. Melalui tokoh Anisa, PBS berupaya melakukan perlawanan terhadap tradisi keluarga, ustaz dan kitab-kitab yang diajarkan dalam sebuah pesantren yang diasuh oleh ayahnya sendiri.

Kerena itu, tidak salah jika novel PBS telah dijadikan sarana bagi pengarangnya untuk mencapai tujuan tertentu yang terkait dengan perjuangan kaum feminis, baik tujuan yang bersifat ideologis maupun pragmatis.

Perjuangan kaum feminis dapat dikenali melalui aliran pokok dalam gerakan tersebut, yaitu Feminisme radikal, Feminisme liberal dan Feminisme sosial. Masing-masing aliran tersebut memiliki arah pergerakan dan fokus perjuangan yang berbeda-beda, namun secara esensial memiliki pandangan yang sama. Bahwa perempuan harus dibebaskan dari kungkungan sistim tradisi dan budaya patriarkhi.

Seperti juga tokoh Kejora dalam Genijora (Mahatari, 2004), Anisa dilukiskan sebagai seorang santri yang ideal, berpikiran moderat, cerdas dan kerap kali mendebat para ustaznya terutama untuk hal-hal yang dirasa mengganggu logikanya. Dengan kecerdasannya pula, Anisa berani menolak terhadap segala sesuatu yang dianggap menyimpang dari nilai agama.

Pada akhirnya, setelah Anisa keluar dari pesantren ayahnya, dan menjadi mahasiswi pada sebuah perguruan tinggi, tak putus-putusnya ia berusaha melakukan penafsiran ayat-ayat Alquran dan hadis sebagai sarana juang untuk melindungi dirinya dari penindasan laki-laki. Karena menurutnya, laki-laki juga selalu menggunakan rujukan yang sama untuk menindas perempuan.

Dengan demikian, baik tersurat atau tersirat, novel ini juga memberi kritikan terhadap mereka yang mengaku Islam namun sikap dan perbuatannya amat jauh dari nilai-nilai Islam. Ajaran-ajaran Islam sering disalahgunakan justru sebagai tameng dan pembenaran bagi tingkah laku menyimpang yang seringkali berakibat ketidakadilan bagi perempuan.

Melalui latar sosial dan pemikiran tokoh di dalamnya, novel ini juga telah berhasil mengungkap fakta dominasi, subordinasi, dan marginalisasi yang dialami perempuan dalam ranah keagamaan. Sehingga, asumsi masyarakat terhadap posisi dikotomis perempuan yang semata-mata didasarkan pada mitos, kepercayaan dan tafsir kitab suci, senantiasa dikritik dan diluruskan kembali.

Karena itu, PBS mengajak para pembacanya untuk melakukan perlawanan secara proporsional terhadap sistim budaya patriarkhi. Perlawanan proporsional dimaksud meliputi perlawanan perempuan atas laki-laki, serta perlawanan perempuan terhadap kejumudan dan kelengahan kaumnya sendiri.

Kalau saja Hanung Bramantyo dapat merepresentasikan kisah perempuan yang tak putus-putusnya dihantam badai tradisi dan budaya pesantren sebagaimana tersurat dalam novel PBS, bisa jadi film tersebut akan menjadi fenomenal. Bukan saja melengkapi premisnya dalam Ayat-Ayat Cinta, namun lebih mendasar lagi, menjadi pelajaran berharga dalam sejarah perfilman Indonesia.

*) Dosen sastra UIN Yogyakarta.

SILSILAH INTELEKTUALISME DAN SASTRA DI PESANTREN*

(sebuah perambahan atas tradisi pesantren, sastra, dan sastra pesantren)
M. Faizi
http://m-faizi.blogspot.com/

Pesantren merupakan salah satu kekayaan khazanah pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan yang cenderung pada keagamaan, pemondokan (karantina), serta penerapan pola pendidikan selama 24 jam merupakan salah satu keunikannya. Karena itu pulalah, pesantren dianggap sebagai pengejawantahan local genus pendidikan Nusantara yang sejati.

Kekayaan lektur dan intelektualisme pesantren dibuktikan dengan banyaknya kitab-kitab turats yang ditulis oleh para mushannif (pengarang) berlatar pesantren. Karya-karya ini tidak saja populer di Indonesia, melainkan juga hingga ke tanah Arab. Di antara para pengarang tersebut antara lain adalah: Syekh Abdus Shamad Al-Falimbani, Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Yasin al-Fadani, Kiai Ihsan Jampes, Kiai Ma’shum Ali, Kiai Hasyim Asy’ari, dan lain-lain.

Di samping khazanah intelektualisme, pesantren juga dekat dengan tradisi susastra, khususnya puisi. Bahkan, puisi (syi’ir) menjadi ruh bagi hampir seluruh aktivitas keilmuannya. Berbagai macam disiplin ilmu keagamaan diajarkan melalui bait-bait puisi (nadham). Syi’ir-syi’ir ‘ilmi ini tidak saja dipelajari, melainkan juga dihapalkan. Tradisi nadham dan hapalan menjadi dua serangkai yang nyaris tidak dapat dipisahkan. Sehingga, jika dikatakan seseorang belajar ‘Amrithi atau Alfiyah, maka sejatinya dia sedang belajar ilmu nahwu melalaui puisi-puisi ‘ilmi itu dengan cara menghapalkannya sekaligus.

Di samping itu, silsilah akar sastra di pesantren yang lainnya adalah diba’. Pembacaan antologi puisi karya Imam Abdurrahman Ad-Dayba’i ini dilakukan seminggu sekali oleh masyarakat pesantren. Diba’, bahkan secara “magis”, juga dianggap sebagai doa untuk kepentingan penyembuhan dan doa keselamatan.

Belakangan, muncul istilah sastra pesantren. Wacana ini berkembang sekitar tahun 2000-an, tepatnya ketika Abdurrahman wahid (Gus Dur) menjabat sebagai presiden RI. Besar kemungkinan, kepresidenan Abdurrahman Wahid menjadi pertanda bagi bangkitnya kelompok masyarakat yang bergerak di jalur kultural (pesantren) yang selama Orde Baru mereka tidak memiliki kesempatan. Gus Dur menjadi juru bicara orang-orang pesantren untuk masyarakat nonpesantren, termasuk masyarakat asing.

Akan tetapi, ternyata, wacana sastra pesantren tidak pernah tuntas dibahas. Di satu sisi, sastra pesantren dianggap sebagai nama bagi genre (yang secara teoretis, hal ini tidak mendapatkan alasan pendukung), sementara di sisi yang lain sastra pesantren dianggap sebagai bagian dari “gosip sastra”; dan di sisi lain lagi, penamaan tersebut dianggap sebagai usaha para sastrawan, wartawan, juga pemerhati kesusastraan sekadar untuk menandai para sastrawan yang lahir/berlatar pendidikan di pesantren dan atau pula karya sastra, baik puisi maupun prosa, yang mengangkat tema, latar, serta visi-misi yang senantiasa mengacu pada pesantren dan nilai-nilai kesantrian.

Kata-kata kunci: Intelektualisme. Sastra. Pesantren

Berpuluh-puluh tahun lamanya, di negeri ini, dan terutama pada era Orde Baru, orang-orang pesantren selalu dicekam oleh perasaan minder dalam segala aspek kehidupannya. Tidak hanya minder, mereka juga merasa tidak mempunyai wilayah yang memadai untuk mengembangkan karir: politik, ekonomi, dan bahkan di ranah pendidikan sekalipun: suatu ranah yang seharusnya menjadi dasar pijakannya. Sebab, dalam banyak penelitian, pesantren dianggap sebagai pralambang model pendidikan sejati di Nusantara.

Secara lahiriah, orang-orang pesantren ini dapat dengan mudah dikenali. Kelompok ini dapat dicirikan dengan peci, bawahan sarung, alas kaki bakiak (terompah), ke mana-mana membawa kitab gundul, belajar di musholla, dan seterusnya. Memang, identifikasi ini tampaknya istimewa dan mudah diingat karena telah menjadi “kode” yang digunakan oleh beberapa antropolog untuk mencirikan kaum santri (M. Faizi: 2007). Meskipun pencitraan ini realistis, namun ada kesan inferioritas di sana. Sebab, pencitraan seperti di atas, galibnya, juga disertai dengan pencitraan yang berhubungan dengan klenik, berbau kuno/klasik, dan seolah-olah anti-modernitas. Tak heran, banyak orang yang mengait-ngaitkan pesantren dengan hal-hal yang hanya berlandaskan keyakinan mistis, takhyul, dan tidak mau mengikuti perkembangan zaman.

Beruntung, sejak Abdurrahaman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden, sedikit demi sedikit, kaum santri seolah-olah baru saja mendapatkan juru bicara terbaiknya untuk memperbaiki citra miring tersebut itu, terutama kepada masyarakat/pers asing dan kaum cerdik-pandai, bahwa santri (pesantren) tidak sekumuh dan tidak sekuno seperti yang ada di dalam benak pencitraan mereka. Walaupun dalam jagad politik Gus Dur kerap kali melakukan manuver-manuver yang cenderung kontra-produktif sehingga banyak ditentang oleh banyak kelompok masyarakat, namun dalam hal menyuarakan identitas santri dan kepesantrenan kepada publik non-pesantren, tidak ada yang keberatan jika dikatakan bahwa Gus Dur-lah yang punya peran vital. Data-data yang telah digali dan ditera oleh Mastuhu dalam Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren maupun Zamakhsyari Dhofier dalam Tradisi Pesantren itu telah disempurkan dengan baik olehnya, lalu disampaikan secara lugas dan meyakinkan bagi orang-orang non-pesantren, bahkan termasuk kepada mereka yang selama ini “memusuhi” pesantren.

TRADISI INTELEKTUALISME DI PESANTEN
Dalam laporan-laporan penelitian, dengan data-data yang valid dan akurat, disebutkan bahwa tradisi (keilmuan) di pesantren sangatlah kaya. Bahkan, ada pula yang telah sampai pada kesimpulan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang asli Nusantara dengan khazanah intelektual yang luar biasa. Salah satu dari kekayaan itu adalah model pendidikan 24 jam, yakni model pengasramaan (karantina/pondok). Ironisnya, saat ini, model pendidikan karantina (asrama/pondok) telah diterjemahkan dan diusung ke Barat, dan justru maju lebih pesat. Sementara pesantren telah dilupakan oleh banyak orang, bahwa model pendidikan ini merupakan model pendidikannya yang sejati.

Di samping itu, tesis yang menyatakan bahwa “tradisi keilmuan di pesantren sangatlah kuat” tidak dapat terbantahkan. Akar intelektualisme tokoh-tokoh pesantren, kitab-kitab yang dikarang/ditulis maupun yang diajarkan; tradisi keilmuan—terutama agama—menjadi identitas pesantren yang paling penting. Salah satu ciri penting lainnya adalah tradisi menghapal puisi-puisi berbahasa Arab (syi’ir/nadham).

Transformasi ilmu pengetahuan ini terus-menerus berlangsung di pesantren, juga dari luar ke pesantren, maupun sebaliknya. Akan tetapi, sebelum itu, perlu dicatat bahwa silsilah ilmu pengetahuan ini secara umum dibentuk melalui dua fase. Fase pertama, yakni penyebaran Islam di Nusantara, terjadi pada abad ke-13 sampai abad 15 M. Fase kedua, berlangsung pada abad ke-18 sampai awal abad 20. Pada fase ini, ulama-ulama menuntut ilmu ke pusat Islam di Timur Tengah dan membawanya pulang kembali ke negeri asal mereka (Zamiel el-Muttaqien: 2005). Ulama-ulama ini kemudian menjadi tokoh dan banyak memberikan warna pada kehidupan masyarakat, termasuk mengambil peran dalam memperkenalkan dan kemudian mengajarkan sumber-sumber referensi agama Islam yang tentunya dari Bahasa Arab.

Tradisi keilmuan pesantren berbasis agama (Islam) notabene berasal dari tanah Arab (Baghdad, Hijaz, Mesir, dll.). Karena itu, hampir semua sumber otoritatif untuk itu menggunakan bahasa Arab. Di pesantren, para santri mempelajari bahasa Arab agar dapat mendalami ilmu pengetahuan tersebut langsung pada sumber aslinya, yakni kitab-kitab turats yang hampir seluruhnya menggunakan bahasa ini.

Sumber rujukan ini berbentuk dua macam; natsar (prosa) dan syi’ir/nadham (puisi/versifikasi). Inilah cetak biru yang dapat kita mulai untuk membicarakan perihal hubungan kelit-kelindan antara pesantren dan sastra pada akhirnya.

Dalam mempelajari ilmu, penggunaan teknik hapalan lebih bersifat dasar alasan, bukan asas tujuan. Karena, tujuan utamanya adalah memahami, sementara hapalan, yang tentu saja dimaksudkan untuk lebih mudah mengingat, juga menjadi acuan/referensi sebagai argumen, siapa tahu suatu saat dibutuhkan sebagai dalil/jawaban. Dan umumnya, yang dihapalkan oleh para santri ini adalah syi’ir/nadham.

Pada zaman Jahiliyah, seorang juru bicara kabilah adalah seorang penyair. Dan penyair ini memiliki peranan penting untuk menentukan penghargaan dan penghormatan kabilah lain kepada kabilahnya. Karena itulah, mengarang syi’ir/nadham, dalam tradisi Arab sejak zaman Jahiliyah, merupakan suatu kebanggaan. Bahkan, tradisi sastra Arab identik dengan puisi. Fenomena adu puisi di momen sastra “Pasar ‘Ukkaz” dan juga puisi-puisi terbait digantungkan di Ka’bah (mu’allaqat) merupakan bukti nyata yang dicatat oleh para ahli sejarah.

Meskipun orang-orang Jahiliyah pandai menggubah puisi, namun teori penciptaan puisi baru “terlembagakan” dan dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri setelah munculnya Al-Khalil bin Ahmad. Dialah peletak batu pertama ‘Ilmu ‘Arudl, sebuah disiplin ilmu yang membahasa perihal penciptaan rima dan matra dalam puisi.

Salah satu keunggulan tradisi bersastra dalam masyarakat Arab ini adalah penyajian konsep/teori disiplin suatu ilmu melalui puisi. Teori-teori itu dipaparkan melalui bait-bait puisi, dihimpun, dan diberi judul dalam suatu kitab. Hampir tak ada satu pun disiplin ilmu di dunia ini yang ditulis menggunakan media puisi, kecuali oleh mereka. Lazimnya, yang kita tahu adalah: disiplin ilmu disajikan melalui gaya penulisan prosa (deskripsi-eksposisi). Memang betul, banyak buku pengetahuan yang ditulis dengan bahasa “puitis”. Namun, sekali lagi, hanya sebatas puitis, bukan puisi. Sementara orang Arab menuliskan gagasan ilmiahnya secara konseptual melalui media puisi. Ini adalah sebuah tradisi yang luhur dan ajaib. Yang paling masyhur bagi kita antara lain adalah buku kumpulan puisi “Alfiyah” karya Ibnu Malik. Kitab ini berisi 1000 larik puisi tentang ilmu tata bahasa Arab (gramatika). Mendampingi “Alfiyah”, ada pula nadham Maqshud, puisi yang mempelajari ilmu konjugasi/perubahan bentuk kata.

Setelah orang-orang nonmuslim dan Eropa berhasil menghancurkan pusat-pusat tamaddun Islam di Irak (Baghdad), Andalusia, juga Turki, lalu mengusung kekayaan intelektualnya ke negeri-negeri mereka, kini tinggal satu yang tersisa, yang senantiasa gemilang di Timur (Arab): itulah “transformasi ilmu pengetahuan melalui puisi”. Inilah satu kekayaan, keunikan, dan keajaiban yang tidak dapat diterapkan dalam kehidupan ilmiah mereka.
***

Tradisi “tansformasi ilmu pengetahuan melalui puisi” merupakan keistimewaan, bahkan, barangkali merupakan acuan paling dasar dari semua pembicaran tentang silsilah/referensi ilmiah di pesantren. Berbagai disiplin ilmu pengetahuan diturunkan melalui puisi, mulai dari teori-teori hukum fiqh, gramatika, teori rima dan matra, hingga linguistik.

Sekadar perbandingan: para pemikir, filsuf, dan tokoh-tokoh garda depan, seperti Nietszche dan Camus, serta juga banyak filsuf besar yang lain, kerap kali menyampaikan gagasan dan pemikirannya secara umum melalui karya sastra, seperti Zarathustra dan La Paste misalnya. Namun, karya pemikiran mereka itu berbentuk prosa, bukan puisi. Prosa yang puitis sekali pun tetaplah prosa, bukan puisi. Jarang, atau bahkan mungkin nyaris tiada, dari kalangan Barat (non-Arab) yang benar-benar berhasil dalam menuliskan teori disiplin ilmu tertentu secara konseptual dan praksis melalui puisi. Kalaupun ada, barangkali silsilah rujukannya dapat dipastikan juga dari tradisi Arab juga.

Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa khazanah pemikiran Arab-Islam Klasik juga memiliki pucuk silsilah dari tradisi intelektualisme Yunani Kuno, namun orang-orang Arab telah berhasil memodifikasi, menerjemahkan, dan menyadur karya-karya para pemikir Yunani tersebut lalu menjaganya dalam sebuah tradisi intelektual yang terus berlangsung hingga hari ini.

Berkebalikan dengan itu semua, hampir setiap para pemikir Arab dapat dipastikan punya dasar bersastra yang kuat. Di Arab, terutama dalam tradisi kehidupan ilmiah klasik, tokoh-tokoh ilmu pengetahuan biasanya juga seorang “merangkap” sebagai sastrawan: seorang fisikawan sekaligus sastrawan; atau musikus juga sebagai penyair; dan seterusnya. Sebut saja nama Al-Farabi yang disandingkan tanpa jarak dengan musik. Namun begitu, ia juga dikenal sebagai filosof dan juga seniman. Demikian pula dengan Kamaluddin ad-Dumairi, filosof yang ahli biologi ini juga dikenal luas di Eropa sebagai pakar susastra.

Lebih dari itu, para ilmuwan Arab-Islam adalah polymath, dan sebagian lagi juga poliglot. Secara umum, mereka dapat dan pernah menulis karya sastra, terutama anotolgi puisi. Bahkan, disebutkan bahwa Syihabuddin Ahmad bin Majid yang dikenal sebagai pelaut, juga menulis dua antologi puisi (diwan) penting; Al-Qashidah li Ibni Majid dan al-Qashidatul Musammah bil Mahriyyah. Konon, dialah yang menolong Vasco Da Gama menemukan Tanjung Harapan. Ia bahkan memetakan cara melakukan pelayaran di berbagai kawasan yang berbeda untuk melintasi Laut Merah. Perlu dicatat: ia menuliskan teori pelayaran itu dalam bait-bait puisi! Bahkan, beberapa orang yakin kalau oang-orang Portugis tidak akan pernah dapat melintasi Samudra Hindia andai tanpa bantuan petunjuk dari puisi Syihabuddin ibnu Majid ini. Kini, puisi tersebut dimuseumkan dalam sebuah manuskrip yang tesimpan di sebuah institut di Leningrad (Saint Petersburg), Rusia (Muhammad Ali Usman, 2007: 215-216).

Imam mazhab (fiqh) yang paling populer di Nusantara, yaitu Imam Syafi’i, juga menulis puisi. Belakangan, beberapa puisinya telah diterbitkan ulang dalam cetakan baru yang diberi judul “Diwan asy-Syafi’i.” Demikian juga Abu Nuwas, yang dikenal luas sebagai cendekia jenaka, tetapi juga sering kali dinisbatkan sebagai filsuf/tokoh sufi, juga menulis puisi. Antologi puisinya yang paling masyhur adalah kumpulan puisi khamriyyat (anggur-isme).

Dalam banyak hal, puisi jauh lebih dekat kepada masyarakat santri (pesantren) di Indonesia daripada genre sastra yang lain. Tradisi ini, kalau dirunut, sepenuhnya mengakar pada tradisi Arab tadi, dan bukan lainnya, kecuali hanya mungkin perkecualian semata, seperti dari tradisi Inggris atau Belanda. Puisi, dalam pengertian nadham, sangat akrab dengan masyarakat meskipun tidak berarti ia menjadi bukti kalau selera bersastra Indonesia sepenuhnya didasarkan pada tradisi ini. Namun, yang pasti, puisi yang mula-mula berkembang sangat identik dengan Arabisme, dan Arabisme—awal mulanya—senantiasa identik dengan keislaman: kira-kira, demikianlah silsilah penjabarannya.

Di Madura misalnya, tradisi bersya’ir (syi’ir) cukup kuat tertanam dalam di kehidupan masyarakat, bahkan di luar pesantren sekalipun. Kecenderungan ini sepenuhnya dapat dimaklumi dengan mengetahui bahwa bahasa Arab—bagi masyarakat pesantren—nyaris menyerupai “bahasa kedua”. Bahkan, pada beberapa masyarakat di lingkungan pesantren di Madura, tidak sulit untuk menemukan orang yang kefasihan bahasa Arabnya lebih baik daripada ketika dia menggunakan bahasa Indonesia. Menurut Jack Goody, kasus serupa sebenarnya juga tampak di daerah Afrika Barat, dengan pengecualian atas beberapa pengucapan beberapa suku gurun Arab. Pendidikan muslim tradisional mengambil posisi di dalam bahasa Kitab, lebih Arabis, melebihi pengucapan penduduk setempat (Goody, 1987:194).

Sebetulnya, akar sejarah ini berkembang dan diturunkan dari tradisi Melayu yang segala seluk-beluknya sangat kental dengan nuansa keislaman. Hal ini tidak terjadi di Jawa yang identik dengan Hindu. Keterpengaruhan orang-orang Melayu cukup nampak dalam hal-hal penggunaan mereka terhadap term-term (peristilahan/kata kunci berbahasa Arab), juga seperti halnya dapat dengan mudah kita temukan dalam diksi-diksi Melayu lama. Sebagaiamana dinyatakan oleh Amin Sweeney, mayoritas penggunaan peristilahan untuk konsep asli dalam beberapa penulisan adalah bahasa Arab (Sweeney, 1987:199).
***

Silsilah akar sastra yang lain di pesantren adalah diba’. Pembacaan antologi puisi karya Imam Abdurrahman Ad-Dayba’i ini nyaris dilakukan setiap minggu oleh masyarakat pesantren, bahkan terkadang hingga dua kali seminggu. Selebihnya, tradisi pembacaan diba’ ini biasanya juga dihelat pada acara pernikahan dan acara-acara ritual yang lain. Puisi-puisi ini bukan sekadar dibaca, melainkan juga dihapalkan. Diba’, bahkan secara “magis”, juga dianggap sebagai doa untuk kepentingan penyembuhan dan keselamatan. Adalah sebuah keyakinan yang luar biasa di sini: membacakan puisi sebagai doa penyembuhan!

Tradisi syi’ir/nadham dan hapalan adalah dua serangkai yang nyaris tidak dapat dipisahkan. Sehingga, jika dikatakan seseorang belajar ‘Amrithi atau Alfiyah, maka sejatinya dia sedang belajar ilmu nahwu melalaui puisi-puisi ‘ilmi itu dengan cara menghapalkannya sekaligus.

Demikianlah, sesungguhnya gambaran di atas cukup signifikan untuk dijadikan sebagai gambaran kedekatan orang-orang pesantren/santri dengan tradisi sastra, nadham, dan kelisanan dalam konteks disiplin keilmuan. Kemampuan berikutnya ditunjukkan dengan baik oleh civitas pesantren dalam bentuk kompetensi di bidang karang-mengarang, sastra maupun non-sastra. Para kiai, dan sebagian juga oleh santri, menyusun kitab; baik berupa nadham (puisi) maupun natsar (prosa). Sebagian karya-karya mereka diajarkan, dicetak, dan juga diterbitkan, meskipun hanya mencakup dan tersebar di lingkungan terbatas (di lingkungan pesantren tersebut).

Akan tetapi, tak jarang karya ulama yang melampaui batas lingkungannya. Banyak kiai yang menulis kitab dan diterbitkan untuk umum, bahkan masyhur tidak saja di tanah air (Nusantara), melainkan hingga ke luar negeri, bahkan hingga jauh di tanah Arab. Terutama karya-karya ulama zaman dahulu. Sebut saja misalnya Syekh Abdus Shamad Al-Falimbani, Syekh Nawawi al-Bantani (Nihayat az-Zain, Marahu Labid/Tafsir Munir), Syekh Yasin al-Fadani (Fawaidul Janiyyah, Hasyiyah Faraidul Bahiyyah), Kiai Ihsan Jampes (Siraj at-Thalibin), Kiai Ma’shum Ali (Amtsilat at-Thashrif), Kiai Hasyim Asy’ari (At-Tanbihat al-Wajibat) dan juga, yang muncul belakangan, Shohib Khaironi El Jawy yang menulis kitab panduan tata bahasa Arab dengan metode skema dan diagram yang memudahkan pembaca yang ingin mendalami ilmu nahwu-sharaf. Kitab karangannya ini, Audhlahul Manahij, bahkan telah “diakui” kompetensinya di negara-negara Arab (Em Syuhada’: 2008). Ulama-ulama Nusantara yang disebutkan di atas telah berkiprah cukup baik dalam tradisi kepengarangan di tanah air dan luar negeri. Selengkapnya, biodata mereka antara lain dieksiklopedikan oleh Mastuki HS dan Ishom El-Saha dalam buku “Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Keemasan Pesantren”, dan sebagian juga disitir dalam “Transformasi Otoritas Keagamaan: Pengalaman di Indonesia”, suntingan Jajat Burhanuddin dan Ahmad Baedowi: diterbitkan oleh Gramedia—kerjasama dengan PPIM-UIN Jakarta dan Basic Education Project (DEPAG), tahun 2003.
***

Pada perkembangan berikutnya, pesantren mengalami banyak pembenahan. Pembenahan ini tidak saja terjadi pada ranah kurikulum, melainkan juga pada “ideologi kepesantrenan”. Tradisi salaf dan modern kemudian mengemuka dan menjadi wacana khusus. Seiring dengan wacana ini, para penulis dan tokoh dari kedua model institusi ini pun bermunculan. Biasanya, para penulis dari pesantren salaf menulis kitab (nadham) dan para penulis dari pesantren non-salaf menulis karyanya dalam bahasa Indonesia, baik berupa puisi maupun prosa; baik fiksi maupun non-fiksi.

Akan tetapi, jika dihitung dari usia awal mula pesantren dikenal di Nusantara, bahkan sebagai cikal-bakal model lembaga pendidikan “asli” Nusantara, munculnya penulis-penulis berlatar pesantren ini terhitung lambat (dengan catatan: jika yang dimaksud “menulis” itu adalah “menulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia”). Nama-nama tokoh, yang nota bene merupakan penulis (eseis/sastrawan), seperti Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholis Madjid, maupun Emha Ainun Nadjib, muncul dan berkiprah dalam kancah pemikiran penting di tanah air. Belakangan, muncul nama Kiai Muhyiddin, Agoes Masyhuri, Kiai Husein, Said Agil Siradj, dll.

Meskipun para penulis tersebut tidak menekuni bidang karya sastra secara khusus, tetapi dapat dipastikan kalau selama bergelut di pesantren dahulu, pastilah tradisi kepengarangan mereka diawali dari tradisi menulis karya sastra, menulis puisi dan cerpen misalnya. Sebab, di samping seperti telah diungkap di muka, tradisi bersastra begitu kuat di mana pun pesantren, bahkan bukti-bukti untuk itu masih terekam dalam jejak yang jelas hingga saat ini.

Ada pula beberapa penulis yang memang secara khusus menekuni jalan hidupnya di jalur kesusastraan. Sebut saja nama Djamil Suherman, Gus Mus, M. Fudoli Zaini, Zainal Arifin Toha, dan seterusnya. Dan jika dihitung siapa saja santri/alumni yang menjadi sastrawan/penyair, yang lahir dan pernah belajar di pesantren meskipun mereka sendiri tidak mengangkat tema-tema kepesantrenan, bahkan mungkin secara ekstrem “menolak” nilai-nilai kepesantrenan, barangkali jumlahnya akan ada sekian puluh, atau mungkin ratusan.

SASTRA DAN SASTRA PESANTREN
Tidak dapat disangkal, suka atau tidak suka, Gus Dur-lah yang telah membukakan pintu gerbang kepesantrenan: pintu tempat orang-orang luar masuk dan melihat-lihat pesantren, dan dia pulalah yang mengajak civitas pesantren untuk keluar dan menunjukkan diri kepada dunia.

Sebelum pemerintahan Gus Dur, kalaupun banyak penulis yang berasal dari pesantren, publik tidak pernah mengenal mereka dengan baik karena para penulis (sastrawan) itu memang tidak menampakkan diri. Di era presiden RI ke-4 itulah orang-orang pesantren, terutama yang bergerak di bidang kebudayaan dan kesusastraan mulai dipertimbangkan.

Memang betul, bahwa beberapa nama yang disebut di atas telah dikenal sebelum kepemimpinan Gus Dur, namun di era Gus Dur lah, setidaknya, para penulis/sastrawan menemukan rasa percaya dirinya semakin membaik. Lihatlah misalnya, kini banyak sekali kita temukan para penulis yang merasa mantab untuk membubuhkan identitas setelah namanya dengan, misalnya, “penulis/penyair adalah alumni pesantren ini”, atau “pernah nyantri di pesantren anu”. Dulu, di era Orde Baru, rasanya sangat asing jika ada yang menuliskan identitas diri semacam itu: bisa disebabkan karena minder, atau karena “pesantren” dianggap tidak akan memberikan nilai tambah bagi popularitas, bahkan justru mengambrukkannya.

Walaupun pencitraan pesantren telah diangkat dalam karya sastra puluhan tahun yang lalu, lewat karya Djamil Suherman, maupun Saifuddin Zuhri, dan juga M. Fudoli Zaini, namun wacana “sastra pesantren” sama sekali tidak pernah diperbincangkan. Istilah ini, meskipun terus diperdebatkan hingga hari ini, secara praktis muncul sejak adanya kecenderungan dari penulis-penulis alumni pesantren, atau yang berlatar pesantren, dan atau pelajar yang sedang mondok (status santri di sebuah pondok pesantren), mulai menulis di koran dan secara meyakinkan mewartakan identitas dirinya sebagai orang pesantren. Jadi, bisa dipastikan, awal mula kemunculannya, bukunlah dilartarbelakangi oleh isu kesastraan, melainkan oleh isu gagasan (tema, seting) dan personal (sastrawannya).

Wacana sastra pesantren semakin kuat manakala beberapa penerbit di Jogjakarta, termasuk di antaranya Navila, secara konsisten menerbitkan karya-karya sastra terjemahan dari Timur Tengah, yang barangkali, dianggap masih punya kekerabatan silsilah yang dekat dengan dunia pesantren (faktor bahasa Arab). Meskipun alasan ini terasa agak naif, namun nyatanya upaya Navila untuk itu tetap konsisten. Navila menerbitkan dan menerjemahkan karya-karya dari bahasa Arab, seperti karya-karya Musthafa Lutfi, Syekh Nizhami, dan banyak penulis Arab (terutama Mesir) lain. Cara ini ditempuh untuk membidik konsumen santri/pesantren. Tidak hanya menerbitkan karya-karya sastra Arab, Navila juga melakukan silaturrahmi ke pesantren-pesantren. Penerbit ini bahkan juga memprakarsai lahirnya majalah “Fadilah” yang secara tegas mengusung slogan “majalah sastra pesantren”. Tetapi, sayang, “Fadilah” akhirnya gulung tikar sebelum mencapai usia selusin edisi.

Sebelumnya, LKiS pernah memprakasai terbitnya majalah “Kinanah”, sebuah majalah hasil kerjasama lembaga kajian dan penerbit itu dengan para pelajar/mahasiswa Indonesia Mesir, yang kala itu—kalau tak salah—diawaki, di antaranya oleh Aguk Irawan dan Habiburrahman. “Kinanah” diproyeksikan sebagai media sastra bagi santri, khususnya bagi mereka yang ingin menuangkan gagasan di bidang karya sastra, dan juga sebagai media silaturrahim para pelajar Indonesia dengan rekan-rekan mereka yang berada di Mesir. Majalah yang muncul di awal-awal tahun 2000-an ini, meskipun terbit kurang dari tiga kali, juga menjadi catatan penting sebagai titik mula munculnya wacana sastra pesantren.

Selepas itu, mungkin karena “Kinanah” dianggap mati suri, pada awal tahun 2003 Jadul Maula dan LKiS tetap berniat baik untuk menindaklajuti isu ini. Bertempat di pendopo LKiS Sorowajan, bersama Sholeh UG dari Navila, LKiS mengundang tokoh-tokoh kesusastraan yang diangap paling bertanggungjawab terhadap wacana ini. Kala itu, yang hadir antara lain adalah Acep Zamzam Noor, Zainal Arifin Toha, Aning Ayu Kusuma, Hamdi Salad, Ahmad Fikri, dll. Saat itu, dihelat sebuah acara peluncuran buku terbitan Gita Nagari yang diberi label “buku sastra pesantren”, sebuah buku bunga rampai yang dikatapengantari oleh Ahmad Tohari: Kopiah dan Kun Fayakun (2003).

Dalam kesempatan itu, Acep Zamzam Noor menyatakan kurang setuju dengan pelabelan “sastra pesantren” atau “sastra santri”. Sebab, pelabelan ini, menurutnya, akan menjadi beban yang berat bagi para penulis kalangan pesantren untuk selalu menggarap tema-tema tertentu, misalnya soal kehidupan pesantren atau tema-tema yang berbau dakwah. Bukan hanya beban, bahkan pelabelan ini bisa jadi menghambat kreativitas penulisnya itu sendiri. Menurutnya, ukuran sastra sebagai karya adalah kreativitas, tanpa harus mempedulikan siapa dan dari kalangan mana penulisnya, begitu juga tema yang diangkatnya (Acep Zamzam Noor: 2006).

Respon awal gagasan Navila ini sangat baik. Dengan niat baik hendak mengangkat martabat pesantren dalam wacana kesusastraan di tanah air, serta didasari oleh keinginan yang kuat untuk mengumpulkan dan mencari penulis-penulis berbakat dari pesantren, Navila mengirimkan “undangan untuk menulis” kepada sekitar 200 pesantren. Terbukti, responnya cukup positif. Sekitar 40 pesantren meresponnya dengan mengirimkan karya-karya para santrinya. Setelah melalui proses pilah-pilih, akhirnya 17 cerpen dikumpulkan dalam buku Kopiyah dan Kun Fayakun (Neneng Yanti, 2003).

Hampir bersamaan dengan usaha Navila, Diva Press, juga di Jogjakarta, melakukan hal yang serupa. Bedanya, Diva lebih meringkaskan ruang lingkup penulisnya. Penerbit Diva meminta beberapa santri, terutama di Madura (Annuqayah Guluk-Guluk dan Al-Amien Prenduan) dan akhrinya menerbitkan beberapa buku kumpulan cerita pendek. Di antaranya adalah Balada Seorang Virgie, Ayah, dan antologi Harapan yang Terkoyak. Ketiga kumpulan cerpen ini terbit pada bulan dan tahun yang sama; September 2002.

Setelah itu, hampir tiga tahunan lamanya, isu sastra pesantren seolah-olah sepi pembicaraan, kecuali hanya letupan-letupan kecil di koran saja. Baru pada akhir tahun 2005-an, muncullah nama Matapena (kelompok LKiS), sebuah penerbit yang memunculkan wacana sastra pesantren kembali dengan membubuhi embel-embel “pop”: sastra pop pesantren!

Tampaknya, kemunculan penerbit dan wacana ini diproyeksikan untuk mengimbangi dua arus besar gelombang produk-produk bacaan pop yang menyerbu wilayah pembaca remaja, tak terkecuali para remaja santri di pesantren. Fenomena buku best seller nasional sejak tahun 2003-an yang dipegang oleh penulis-penulis pendatang baru seperti Esti yang menulis Fairish dan Dyan dengan Dealova ataupun Nothing But Love yang ditulis Laire inilah yang menjadi pemantik utamanya. Salah satu pemainnya, yaitu Gramedia, pada tahun itu langsung merajai pasar buku fiksi remaja di Indonesia (M. Faizi: 2005). Tanpa harus perlu mendebatkan soal kualitas, setidaknya, secara finansial, ketiga nama di atas menjadi tambang emas bagi penulis dan penerbit. Secara “ideologis”, tema, seting, bahkan semuanya, karya-karya sejenis ini jauh berbeda dengan dunia kesantrian. Itulah karya “fiksi populer”, tanpa imbuhan kata lagi di belakangnya, begitulah jenis ini dikenal. Di samping Gramedia, pabrik fiksi untuk jenis ini antara lain adalah Gagas Media, Kata Kita, Diva, Galang, dsb.

Sementara Gramedia dan kelompok penerbit fiksi populer lainnya mengangkat tema kehidupan “remaja-metropolitan-sekolah/kampus” (“metropop”), di lajur sebelah ada kelompok DarMizan, Asy-Syamil, dkk. Mereka membawa semangat “islami”, tetapi latar karya produk pada umumnya menampilkan fenomena “remaja-kota-kampus”. Fiksi populer islami, fiksi islami, atau “fikri” (fiksi remaja islami): demikian istilahnya (ada tambahan kata “islami”-nya). Gayanya membidik segmen remaja dan secara kental bercorak unsur keislaman, serta mengemban “misi dakwah”. Produk-produk model inilah yang mula-mula melabelkan gelar “islami” untuk terbitannya: cerpen islami, novel islami, dll.

Untuk itu, Matapena seolah-olah hendak menempuh jalur “santri-Islam-pesantren/desa” demi mendekatakan “jagad bacaan” dengan “realitas pembaca”. Produk mereka itulah yang kemudian disebut “sastra pop pesantren”. Terbit pertama kali dengan novel “Santri Semelekete” karya Ma’rifatun Baroroh, Matapena menuai sukses. “Genre” ini sukses mendapat hati di pembaca santri pada khususnya yang selama ini hanya mendapat suguhan chicklit/teenlit dan novel-novel berbendera “islami” itu. Selanjutnya, Matapena menerbitkan karya-karya yang lain, di antaranya “Bola-Bola Santri” (Shachree M Daroini), “Kidung Cinta Puisi Pegon” (Pijer Sri Laswiji), dan seterusnya.

PERDEBATAN SASTRA PESANTREN
Kini, semakin jauh pembahasan, yang kita dapatkan justru definisi yang semakin mengabur. Ketika disandingkan dengan kata “sastra” ataupun frase “sastra pop”, kata “pesantren” semakin tampak hanya sebagai institusi semata: pesantren sebagai sebuah latar/seting, sedangkan aktivitas kelembagaannya sebagai tema.

Nah, untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang apa sesungguhnya sastra pesantren itu, maka kita harus mempersoalkannya (seperti diisyaratkan oleh Faruk HT, seorang kritukus sastra Indonesia kontemporer) melalui beberapa pertanyaan: apakah definisi “pesantren” dalam konteks pembicaraan “sastra pesantren” itu memang sesuai dengan apa yang dipikirkan dan dialami oleh “orang pesantren”? Pesantren: apakah pesantren yang dimaksud suatu tempat, suatu ideologi, suatu tipe doktrin, atau kesatuan sosial, komunal, dan kultural? Apakah seseorang yang mengekspos kehidupan homoseks di pesantren dan ditulis dalam sebuah karya (novel/cerpen) dapat disebut sebagai sastra pesantren? Bisa saja. Tapi, apakah pemahaman sejenis ini dapat disetujui oleh civitas pesantren?

Lazim diketahui, term sastra pesantren didefinisikan sebagai produk/karya sastra yang bertema keislaman, kesantrian, dan kepesantrenan; atau diidentifikasi sebagai karya sastra yang berurusan dengan nilai keislaman; atau karya sastra para pengarang yang punya pengalaman kehidupan pesantren, karya pengarang berbahasa Indonesia yang bermuatan tema keislaman, kesantrian, atau kepesantrenan; atau pula pengarang yang punya hubungan sejarah atau silsilah dengan pesantren. Dalam pandangan Ridwan Munawwar (Ridwan Munawwar, 2007), kategori di atas tampaknya menghendaki tema/wilayah pembahasan sastra pesantren ke arah tema-tema nilai esoterik keagamaan; cinta illahiyyah, pengalaman-pengalaman sufistik, cinta sosial (habluminannaas), atau ekspresi dan impresi transendental keindahan alam semesta (makrokosmos).

Meskipun demikian istilah “sastra pesantren” lazim didefinisikan, tampaknya ada pula yang melebarkan pengertiannya, seperti pendapat salah seorang dosen di UIN Jojga, Damami. Ia justru mengacukan wacana sastra pesantren kepada kitab-kitab klasik produk kiai/santri di pesantren, dengan menyebut contoh Siraj at-Talibin-nya Kiai Ihsan dan kitab Al-Miftah sebagai contoh dari produk sastra pesantren itu. Hal yang hampir senada juga dilansir oleh D. Zawawi Imron dalam kesempatan seminar di dalam rangkaian Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) XIII 27-30 September 2004 di Surabaya. D. Zawawi Imron menjelaskan bahwa keberadaan sastra yang lahir dari lingkungan pesantren merupakan bagian tak terpisahkan dari sastra Indonesia. Baginya, sastra pesantren itu telah hadir sejak masuknya Islam di Indonesia sekitar abad ke-12 sekaligus merupakan bagian tak terpisahkan dari sastra Indonesia.

Pernyataan ini mengindikasikan bahwa kategori penyebutan sastra pesantren selalu dititikberatkan pada unsur personal, pada pengaranganya, bukan pada latar dan temanya. Akan tetapi, ketika ia menyebut beberapa nama (Djamil Suherman, Syu’bah Asa, Fudoli Zaini , Emha Ainun Nadjib, KH Mustofa Bisri, Jamal D Rahman, Acep Zamzam Noor, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Abidah El-Khalieqy, Mathori A Elwa, Hamdi Salad, Nasruddin Anshory, juga Kuswaidi Syafi’ie), mudah dipahami bahwa yang dimaksudkan D. Zawawi Imron dengan “sastra pesantren” adalah “sastrawan santri”, yakni sastrawan yang punya latar pesantren meskipun karya-karyanya tidak selalu bernuansa kesantrian dan kepersantrenan. Orientasinya bertumpu pada pengarang.

Bagi Ahmad Tohari, definisi sastra pesantren dititikberatkan pada gagasan yang dibawanya. Sastra pesantren adalah pengejawantahan “ma” dalam ayat lillahi ma fissamawati wa ma fil ardhi dan dikemas dengan kualitas sastra yang “horison”, yang lalu membinarkan kekuasaan Tuhan atas “ma” di langit dan bumi. Dengan begitu, Islam muncul sebagai nilai yang universal, melampaui simbol dan nilai-nilai normatif. Sastra pesantren harus membawa misi “pembebasan”. Intinya, Tohari sepakat bawah setiap produk yang membawa pesan pencerahan, maka itulah sastra pesantren; tak peduli dari latar belakang apa (agama/budaya/bangsa) karya itu lahir.

Pernyaatan tersebut selaras dengan statemen Jamal D. Rahman yang dapat dijadikan garis bawah, bahwa salah satu ciri “kepesantrenan”, termasuk pula dalam sastra, adalah “unsur perlawanan”. Misalnya, perlawanan kaum santri pada kolonial yang nota bene non-muslim. Salah satu contohnya adalah: jika dulu kolonial menggunakan celana, maka santri menggunakan sarung. Semangat ini tentu dapat diterjemahkan oleh para sastrawan ke dalam karya sastra dengan baik.

Gambaran umum yang tampaknya cukup baik hadir sebagai jawaban bagi perdebatan sastra pesantren adalah pendapat Zainal Arifin Toha. Menurutnya, sastra pesantren adalah karya sastra yang ditulis, baik oleh orang pesantren maupun luar pesantren, yang mengangkat pandangan-dunia pesantren, baik terhadap dunia pesantren itu sendiri, maupun dunia luar pesantren (Aba Ahmad Mujtaba: 2003). Pernyataan ini menyempit pada persoalan sastra dan urusan kepesantrenan. Artinya, bagaimana pun, membicarakan sastra jika itu dikaitkan dengan pesantren, haruslah tetap memegang kata kunci “pesantren”: pandangan-dunia pesantren.

Walaupun definisi sastra pesantren sudah cukup banyak didedah, pada awal-awal munculnya wacana ini di media massa, pengertian sastra pesantren cukup membingungkan banyak orang, bahkan termasuk para sastrawan senior dan pakar sastra. Di antara mereka adalah Taufik Ismail yang kaget karena tiba-tiba ada istilah baru bernama “sastra pesantren”; Suminto A. Sayuti yang enggan memeberikan definisi, hingga Radhar Panca Dahana yang beranggapan bahwa penamaan “sastra pesantren” bersifat problematis dan sengaja dibuat-buat untuk sekedar membedakan diri dari yang lain, mencoba-coba membentuk karakter sendiri. Menurut Binhad Nurrohmat, definisi sastra pesantren itu tetap rancu dan problematik. Sebab, apa yang dimaksud dengan karya/genre sastra pesantren selama ini tidak jauh berbeda dengan karya sastra lain pada umumnya kecuali hanya pada persoalan tema. Padahal, tema bukanlah ukuran pembentuk genre sastra. Menurutnya, identifikasi pada apa yang disebut sebagai sastra pesantren itu sebatas berurusan dengan aktualisasi tema atau latar belakang pengarangnya yang berhubungan dengan keislaman, kesantrian, dan kepesantrenan; dan bukan berdasarkan unsur-unsur atau kecenderungan “bentuk” kesusastraan yang khas dimiliki oleh apa yang disebut sebagai sastra pesantren itu (Binhad Nurrohmat, 2007).

Dari sekian pendapat di atas, cukup jelas untuk membuat asumsi awal, bahwa wacana sastra pesantren belum punya definisi yang meyakinkan dan dapat dipertanggungjawabkan dalam teori kesusastraan, tetapi telah kuat mengakar dalam “gosip” kesusastraan di tanah air. Lebih-lebih, masih ada kejanggalan dalam setiap pembicaraan sastra pesantren: pembicaraan sastra pesantren cenderung hanya mengacu kepada produk fiksi/prosa, dan sangat sedikit yang mengaitkannya dengan produk puisi. Kalaupun ada, maka sastra pesantren genre puisi yang dimaksud pastilah merupakan nadhaman (yang notabene berbahasa Arab) kitab-kitab ajian di pesantren. Padahal, jika ditilik dari sejarahnya, sebagaimana dilukiskan dalam paragraf-paragraf di muka, cikal-bakal tradisi sastra di pesantren justru diawali dari wacana sastra genre puisi.

Sampai di sini, kita dapat membuat kesimpulan sementara atas dua gagasan penting tentang sastra pesantren. Pertama, sesuai dengan “gosip” yang berkembang di dalam media, yang dimaksud sastra pesantren adalah karya santri yang lahir dan atau berkreativitas di pesantren dan atau yang kini tengah mekar di luar pesantren; kedua, gagasan yang khas pesantren, sejenis nubuwah yang harus disampaiakan kepada khalayak ramai; wa bil-khusus, mengemban gagasan dan cara pandang kepesantrenan.

Atas dasar pernyataan di atas, semakin sulit bagi kita untuk membedakan sastra pesantren dengan “sastra profetik” seperti yang telah digagas oleh Kuntowijoyo di awal tahun 90-an itu. Lebih jauh lagi, kita dapat mengajukan pertanyaan: apa yang dapat diistimewakan sastra pesantren daripada “sastra Islam” atau “sastra islami” jika kategori tema yang diusungnya relatif sama? Tentunya, pembahasan ini harus ditarik lebih jauh lagi pada persoalan sastra Islam.

Polemik dan perdebatan tentang sastra dan kesenian Islam sejatinya telah lama digulirakan. Di antara forum yang sempat menggulirkannya secara serius adalah Festival Istiqlal pada tahun 1990-an dulu. Majelis seni/sastra—tentunya dengan embel-embel “Islam”—pun ramai dibicarakan, didebat, ditanggapi, seperti biasanya: lama-kelamaan menjadi sepi, hilang dengan sendirinya.

Memang, sulit rasanya melekatkan institusi (agama) pada kegiatan sastra sebagai sebuah genre, seperti Sastra Islam, Sastra Hindu, Sastra Kristen, dan seterusnya. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena kagiatan bersastra atau produk sastra itu sendiri lebih berkait-erat dengan “unsur dalaman”, yakni nilai (keislaman/keagamaan). Penggunaan istilah nisbah, seperti Sastra Islami (dan bukan “Sastra Islam”), agaknya lebih mudah dipahami. Kalaupun ia tetap akan digunakan, istilah tersebut akan beralih-fungsi sebagai nama bagi era lahirnya karya (periodisasi). Misalnya; Sastra Jahiliyah, Sastra Abbasiyah, Sastra Klasik, Sastra Angkatan ’45, dan seterusnya. Ini menjadi galib dan lazim karena penggunaan istilah sastra dan label yang mengikutinya itu berhubungan dengan masa dan produk sastra yang dihasilkannya.

CATATAN AKHIR
Berdasarkan pernyataan-pernyataan dan gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan isu/wacana sastra pesantren yang selama ini diperdebatkan adalah “sastra pesantren” sebagai sebuah produk karya sastra saja atau juga sebagai genre, atau subgenre. Perkembangan perdebatan itu mencakup tiga orientasi.

Yang pertama adalah orientasi yang didasarkan pada “siapa”, yakni pada sastrawan (penulisnya): berdasarkan kategori ini, yang disebut karya sastra pesantren adalah karya yang ditulis oleh santri/kiai/civitas pesantren, dan atau juga yang punya silsilah sosial/intelektual dengan pesantren. Contoh untuk ini maka kita dapat menyebut nama Ahmad Tohari dan Jamal D. Rahman, meskipun karya-karya mereka tidak menyebut dan bernuansa pesantren secara langsung). Tampaknya, kategori ini lebih pas jika dikelompokkan dengan sebutan “sastrawan santri”, yaitu civitas pesantren (santri/alumni) yang menulis karya sastra. Bahkan, jika kita kembangkan bahwa penulis sastra pesantren yang penting adalah civitas pesantren (santri/alumni), maka tentu novel Mairil (Syarifuddin) dan Kuda Ranjang (Binhad Nurrohmat) yang nota bene dirisihkan oleh orang-orang pesantren karena mengekspos ketabuan seks akan dikategorikan ke dalam peristilahan sastra pesantren.

Orientasi yang lain adalah berdasarkan tema/seting, yakni sastra pesantren yang diasumsikan berdasarkan seting/latar cerita dan tema. Nah, barangkali, untuk mengambil contoh kategori ini akan sangat banyak. Novel “Geni Jora” karya Abidah el-Khalieqy dan “Hubbu” karya Mashuri (keduanya sama-sama memenangkan lomba penulisan novel/roman yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada tahun yang berbeda) adalah salah satu contohnya, mengingat seting cerita yang diangkat adalah seting pesantren. Lebih-lebih, jika kita berikan contoh novel-novel pop remaja Matapena yang memang secara khusus mengangkat tema dan latar pesantren, seperti Bola-Bola Santri (Sachree M. Daroini) dan Jerawat Santri (Isma Kazee), dan seterusnya, maka ini juga masuk dalam contoh.

Orientasi yang ketiga: apabila sastra pesantren harus dikelompokkan berdasarkan genrenya—dengan tetap bertahan pada definisi genre dalam pandangan sarjana-sarjana sastra—maka yang dimaksud sastra pesantren adalah nadhaman, syi’iran, yang nota bene berbahasa Arab dan bahasa daerah (Jawa, Sunda, Madura), dan bukan berbahasa Indonesia. Sebab, hanya genre syi’ir ini yang dapat kita kelompkkan pada genre, yakni jenis produk karya sastra (seperti puisi dan prosa), dan temanya jelas-jelas mengangkat masalah-masalah (ilmu-ilmu) keagamaan dan bahasa (nahwu-sharraf).

Kalau definisi sastra pesantren ditarik lebih keluar, misalnya dengan menyitir pernyatan bahwa karya sastra pesantren adalah setiap karya yang menyiratkan nuansa sufistik, risalah keagamaan, dan seterusnya, tentu kita tidak boleh keberatan untuk memasukkan karya-karya Abdul Hadi WM di dalamnya, meksipun dia sendiri bukanlah civitas pesantren. Bahkan, secara lebih ekstrem, kita juga harus merelakan karya-karya Romo Mangunwijaya, Rabindranath Tagore, hingga Khalil Gibran, sebagai karya yang berlabel “sastra pesantren” meskipun mereka sendiri adalah non-muslim. Itu artinya, sastra pesantren tak jauh adalah berbeda dengan sastra profetik.

Definisi sastra pesantren yang berkembang di media pada saat ini tentu bukan sekadar karya-karya santri yang ada/berproses kreatif di pesantren. Kelengkapan definisi ini adalah: lebih-lebih jika hasil karya tulis mereka menyiratkan spirit religiusitas yang “khas” santri dan sudut pandang nilai-nilai kepesantrenan. Lebih gamblang, sastra pesantren adalah karya sastra santri yang bertema hal-ihwal kesantrian dan kepesantrenan dengan membawa semangat kesantrian (religiusitas), baik secara langsung maupun tidak.

Oleh karena itu, membuat kategori (definisi dan pelabelan) untuk produk-produk karya sastra yang ditulis oleh sastrawan santri, sastrawan muslim, atau kiai, dengan memberi nama “sastra pesantren” adalah sah-sah saja sebatas itu sekadar untuk kepentingan “pemberian nama” untuk ditandai, bukan untuk dijadikan sebagai eksklusivitas sebagai proklamasi atas munculnya sebuah genre. Karena sesungguhnya, kita belum menemukan secara pasti apakah produk yang kita sebut dengan sastra pesantren itu, apakah itu nadham/puisi/syi’ir ataupun prosa (novel/cerpen) dalam bentuk kekhasan sebagai sebuah produk, dan seterusnya.

PENUTUP
Nama pesantren begitu besar dan punya pengaruh yang kuat dalam akar sejarah dan tradisi bangsa Indonesia. Karena itu, pesantren dan segala yang berhubungan dengan pesantren pasti “layak dijual”. Salah satu trik dagangnya adalah dengan cara diberi nama. Kita tidak benar-benar tahu, apa yang sesungguhnya terjadi di luar kita. Barangkali, penamaan dan kategorisasi sastra pesantren hanya kebutuhan media untuk memudahkan “pemberian nama” itu. Atau juga—tapi ini prasangka buruk—karena faktor “politik sastra” dan “politik kapitalisme” sehingga kita mudah dipermainkan setelah “diberi nama” (semoga saja tidak). Kita mengakui nama itu karena hegemoni media, dan kaum civitas pesantren tidak dapat berbuat apa-apa lagi dengan yang dibuatnya, kecuali harus menyetujui terhadap si pemberi nama.

Atau, pemberian nama itu hanya sekadar untuk memudahkan pengelompokan, yang entah itu untuk kepentignan penelitian ilmiah atau untuk kepentingan-kepentingan “politik” lainnya?

Setiap orang berhak memberi nama, membuat kategori. Setiap kategori bisa didasarkan atas definisi yang beragam. Terbukti, kata pesantren dalam sastra pesantren saja masih ambivalen; apakah sebagai lembaga pendidikan, sebagai ideologi, ataukah sebagai sebuah sistem tanda kebudayaan? Ini mengingatkan kita pada genre musik, yang nota bene lebih mudah dikategorikan genrenya. Sebab, musik punya banyak instrumen penilaian untuk itu; tempo, alat yang dipakai, ketukan, ritme, serta unsur-unsur yang lain. Terbukti, kategorisasi genre yang dilekatkan media/pengamat musik tidak serta-merta disetujui oleh kelompok musik yang diberi nama.

Saat melangsungkan tur dunia untuk promo “black cover album” pada tahun 1993 lalu, Metallica disebut-sebut sebagai grup musik beraliran “thrash metal” oleh pers Indonesia. Namun, James Hetfield tidak terima ketika mengatahui hal itu dan ia ngotot untuk tetap menyebut musiknya sebagai “heavy metal”; Konon, Rhoma Irama yang menjadi ikon dangdut di tanah air tiba-tiba dinobatkan sebagai gitaris rock terbaik dalam subuah survei pers di luar negeri karena gaya musik/permainan yang lebih dekat pada Ritchie Balckmore (Deep Purple) daripada pada jenis musik dangdut sendiri; Khalil Gibran yang di Indonesia dianggap penyair dengan banyak sekali melahirkan puisi sebetulnya dia tidak pernah menulis puisi kecuali hanya satu, Al-Mawakib. Hal ini disebabkan karena puisi bagi orang Arab—kala itu—adalah nadham/syi’ir (yang harus ditentukan oleh ‘aruld, termasuk qafiyah dan bahar, sebagai disiplin ilmu yang baku untuk menulis puisi) dan tidak seperti puisi dalam pengertian benak orang Indonesia yang melihatnya dari sudut pandang teori sastra yang nota bene bukan dari Arab (Barat).

Itulah beberapa contoh kasus penamaan. Semua perdebatan dan anggapan itu tidak sekadar karena dasar pertimbagan tema saja, melainkan disebabkan oleh sesuatu yang jauh lebih prinsip: genre. Tapi, begitulah penamaan! Dalam proses itu, reduksi akan selalu saja terjadi. Dan yang demikian itulah yang sedang menimpa kita: telah lama kita tahu, Mazhab Praha, Mazhab Yale, Mazhab Frankfurt, hingga Mazhab Rawamangun pun (bahkan, yang terakhir mungkin perlu juga disertakan: Mazhab DKJ) selalu punya orientasi dalam melihat sebuah karya sastra. Dan kita tetap menerimanya begitu saja setelah lebih dulu bergulat melalui pemahaman-ketakpahaman. Beda persepsi, perbedaan kategori, dan salah paham memang selalu diawali dari letak kita berdiri untuk melihat objek dalam sebuah sudut titik pandang.

Memberikan definisi sastra pesantren berdasarkan kategori sebagai jenis produk karya sastra (genre) yang telah kita lihat hingga saat ini, dari karya “Perjalanan ke Akhirat”-nya Djamil Suherman hingga “Ronggeng Dukuh Paruk”-nya Ahmad Tohari; dari “Tadarus”-nya Kiai Mustofa Bisri hingga novel-novel sastra pop pesantren yang diterbitkan oleh Matapena itu, belumlah memuaskan. Akan tetapi, jika hanya berdasarkan kategori wacana sastra, dan jika memang itu yang dimaksudkan, maka tentu demikianlah adanya sastra pesantren itu.

Atau, mungkin kita tetap masih harus menuggu sampai suatu saat ada sebuah karya yang benar-benar memiliki trade mark atau karakteristik kepesantrenan dalam arti sesempit-semptinya, sekhusus-khususnya, dan karya itu belum pernah ditulis oleh orang lain sebelumnya. Artinya, karya itu menjadi sebuah “genre” yang “direstui” oleh teori sastra sekaligus menjadi isu yang disepakati sebagai wacana sastra. Sehingga, “alamat kelahiran” yang pertama kali muncul itu, akan menjadi satu-satunya mercu suar yang dapat diliahat oleh semua orang yang ada di bawahnya. Kemudian, orang-orang itu akan merasa yakin, itulah “sastra pesantren”. Pada akhrinya, ia akan menjadi acuan, menjadi referensi, menjadi pakem: sehingga untuk disebut sebagai “sastra pesantren”, sebuah karya haruslah punya karakteristik seperti mercu suar itu.

Jika tidak ada orang yang mau segera berbuat untuk itu, maka pilihannya adalah menunggu. Padahal, semua orang tahu: menunggu adalah pekerjaan yang benar-benar membosankan.

Wallahu a’lam.

SUMBER BACAAN
Goody, Jack, 1987. The Inteface Between the Written and the Oral, Cambridge University Press
Sweeney, Amin, 1987. A Full Hearing, University of California Press
Yanti, KH., Neneng. 2002. Perdebatan di Seputar Isu Sastra Pesantren. Makalah
El-Muttaqien, M. Zamiel. Akar Tradisi Sastra Pesantren. Kompas Jatim 11/06/2005
Aba Ahmad Mujtaba, Sastra Pesantren: Harapan Kenyataan dan Tantangan, Majalah Fadilah edisi VII Desemebr 2003
Faizi, M. 2007. Pesantren Ikon Pendidikan Nonformal. Majalah Basis Juli-Agustus 2007.
_____________. Chicklit dan Minat Baca Remaja, Jawa Pos 29-05-2005
Mastuki HS, M.Ag, dan Ishom El-Saha, M.Ag, (ed.), 2003. Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Keemasan Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka
‘Usman, Muhammad ‘Ali. 2007. Para Ilmuwan Muslim Paling Berpengaruh Terhadap Peradaban Dunia. Jogjakarta: Diva
Em Syuhada’, Secercah Sinar dari Lirboyo, Jawa Pos 20 Apr 2008
Kompas, Sastra Pesantren Bagian dari Sastra Indonesia, edisi 29 September 2004
Sumber URL:
Nurrohmat, Binhad. Gincu Merah Sastra Pesantren. Suara Karya Online; 24/03/07. URL= http://www.suarakarya-online.com/news.html. diakses pada tanggal 05/05/08
Munawwar, Ridwan. Ledakan Sastra Pesantren Mutakhir: Cinta, Kritisisme, dan Industri. Suara Karya Online; 03/03/07. URL= www.suarakarya-online.com/news.html?id=167741; diakses pada tanggal 05/05/08
Http://www.indomedia.com/bernas/2009/14/UTAMA/14hib1.htm: Sastra Pesantren Saatnya “Membuka Diri”
Acep Zamzam Noor. Pesantren, Sastra, dan Pilkada. 25 Januari 2006.
URL=http://www.rumahdunia.net/wmview.php?ArtID=573&page=2: diakses pada 05/05/2008.
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=4373: Tinggal Bagaimana Sastra Pesantren Memberi Kekhasan Sikap. Sabtu, 18 Februari 2006 12:15: diakses pada 05/05/2008.
http://www.masjidistiqlal.com/index.php?modul=text&page=detail&textID=2919; Dalam Sejarahnya Budaya Pesantren Bersebrangan dengan Perkotaan; Rabu, 16 safar 1428 H / 6 maret 2007; diakses pada 05/05/2008

*) Jurnal Anil ISLAM, edisi ke-1, Juni 2008.

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez