Rabu, 30 Maret 2011

Irshad Manji: Idola Kaum Liberal!

Adian Husaini
http://pemikiranislam.multiply.com/

assalaamu’alaikum wr. wb.

Sejumlah orang yang akan berdialog dengan kaum liberal saya beri saran agar jangan pakai dalil ayat-ayat Al-Qur’an. Sebab, banyak kaum liberal yang sudah tidak percaya lagi pada keotentikan Al-Qur’an, sehingga tidak ada gunanya dalil Al-Qur’an untuk mereka. Memang ada diantara mereka yang masih percaya Al-Qur’an sebagai wahyu Allah, tetapi banyak pula diantara mereka yang memiliki pandangan dan penafsiran yang berbeda.

Jika tafsirnya kita kritik, mereka pun tak segan-segan menyatakan, ”Itu kan penafsiran anda! Penafsiran saya tidak begitu!” Mereka banyak yang sudah berpandangan bahwa hanya Tuhan saja yang tahu penafsiran yang sebenarnya. Manusia boleh menafsirkan Al-Qur’an semaunya, dan semuanya tidak dapat disalahkan. Karena itu, ada yang menyatakan, bahwa perbedaan antara Islam dan Ahmadiyah, hanyalah soal perbedaan tafsir saja, karena itu jangan saling menyalahkan, karena semua penafsiran adalah relatif. Yang tahu kebenaran yang mutlak, hanya Allah saja.

Memang, soal utama antara Islam dan Ahmadiyah, adalah masalah tafsir. Tapi, ada tafsir yang salah dan ada tafsir yang benar. Semua manusia yang masih berakal (tidak gila), bisa saja menafsiran Al-Qur’an. Tapi, tidak semua tafsir itu benar, sebagaimana klaim kaum liberal. Ada tafsir yang salah. Misalnya, kalau ada yang menafsirkan ayat ”Wa-aqimish shalaata lidzikri”, bahwa tujuan salat adalah mengingat Allah. Maka, jika sudah ingat Allah, berarti tujuan sudah tercapai, dan tidak perlu salat lagi. Tafsir semacam ini tentu saja tafsir yang salah.

Contoh lain, dalam buku Eik Ghalthi ka Izalah (Memperbaiki Suatu Kesalahan) karya Mirza Ghulam Ahmad (terbitan Ahmadiyah Cabang Bandung tahun 1993), hal. 5, tertulis pengakuan Ghulam Ahmad yang mendapat wahyu berbunyi: ”Muhammadur Rasulullah wal-ladziina ma’ahu asyiddaa’u ’alal kuffaari ruhamaa’u baynahum.” Lalu, dia komentari ayat tersebut: ”Dalam wahyu ini Allah swt menyebutkan namaku ”Muhammad” dan ”Rasul”.”

Ayat tersebut jelas terdapat dalam Al-Qur’an (QS 48:29). Kaum Muslim yakin seyakin-yakinnya, bahwa ”Muhammadur Rasulullah” di situ menunjuk kepada Nabi Muhammad saw yang lahir di Mekah; bukan merujuk kepada Mirza Ghulam Ahmad yang lahir di India. Jika Ghulam Ahmad membuat tafsir bahwa dia adalah juga Muhammad sebagaimana ditunjuk dalam ayat tersebut, maka tafsir Ghulam Ahmad semacam itu jelas tafsir yang salah.

Akan tetapi, kaum liberal akan menyatakan, bahwa Ghulam Ahmad juga berhak membuat tafsir sendiri, dan tidak boleh disalahkan atau disesatkan. Anehnya, kalau umat Islam punya pandangan dan sikap yang berbeda dengan kaum liberal, maka akan disalah-salahkan, dicap fundamentalis, radikal, tidak toleran, dan sebagainya. Jadi, kita dilarang menyalahkan yang salah, tetapi kaum liberal boleh menyalahkan pendapat yang tidak sesuai dengan mereka.

Sebagaimana pernah kita bahas dalam beberapa CAP, aksi kaum liberal dalam menyerang Al-Qur’an dari waktu ke waktu semakin brutal. Berlindung di balik wacana kebebasan, mereka tidak segan-segan lagi menyerang dan menistakan Al-Qur’an secara terbuka. Apa yang pernah terjadi di IAIN Surabaya tahun 2006, ketika seorang dosen menginjak-injak lafadz Allah yang ditulisnya sendiri, tampaknya hanyalah fenomena gunung es belaka. Sejumlah buku, jurnal, dan artikel terbitan kaum liberal di Indonesia sudah secara terbuka menyerang Al-Qur’an. Kita masih ingat, bagaimana jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang secara semena-mena menyerang Al-Qur’an, dengan menyatakan:

”Karenanya, wajar jika muncul asumsi bahwa pembukuan Qur’an hanya siasat bangsa Quraisy, melalui Usman, untuk mempertahankan hegemoninya atas masyarakat Arab [dan Islam]. Hegemoni itu tampak jelas terpusat pada ranah kekuasaan, agama dan budaya. Dan hanya orang yang mensakralkan Qur’anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.”

Yang kita heran, orang-orang ini adalah bagian dari kalangan akademisi yang seharusnya menjunjung tinggi tradisi intelektual yang sehat. Tapi, faktanya, mereka sering mengungkapkan pendapat tanpa didukung oleh data-data yang memadai. Belakangan ini, kaum liberal di Indonesia sedang gandrung-gandrungnya pada seorang wanita lesbian bernama Irshad Manji. Kedatangannya di Indonesia pada bulan April 2008 disambut meriah. Dia dipuji-puji sebagai wanita Miuslimah yang hebat. Seorang wanita alumnus UIN Jakarta bernama Nong Darol Mahmada menulis sebuah artikel di Jurnal Perempuan (edisi khusus Lesbian, 2008) berjudul: Irshad Manji, Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad. Kata si Nong: ”Manji sangat layak menjadi inspirasi kalangan Islam khususnya perempuan di Indonesia.”

Hari Kamis (14/8/2008), saya diundang untuk menghadiri satu acara bedah buku tentang FPI di kantor Majalah Gatra. Tanpa saya tahu, penerbit buku tentang FPI tersebut (Nun Publisher) adalah juga penerbit buku Irshad Manji yang edisi Indonesianya diberi judul Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini. Di sampul depan buku ini, Manji ditulis sebagai ”Satu dari Tiga Miuslimah Dunia yang Menciptakan Perubahan Positif dalam Islam.” Disebutlah buku ini sebagai ”International Best Seller, New York Times Bestseller, dan telah diterbitkan di 30 negara.” Pokoknya, membaca promosi di sampulnya, sepertinya, buku ini sangat hebat.

Tapi, sebenarnya, isinya kurang memenuhi standar ilmiah. Banyak celotehan Irshad Manji, ke sana kemari, hantam sana, hantam sini, tanpa ada rujukan yang bisa dilacak kebenarannya. Maka, saya heran, bagaimana kaum liberal sampai membangga-banggakan buku karya Irshad Manji ini? Seperti inikah sosok idola kaum liberal, sampai dijuluki ”lesbian mujtahidah”? Apa karena Manji sangat liberal dan secara terbuka menyatakan diri sebagai lesbi, maka sosok ini dijadikan idola?

Buku Manji ini menggugat sejumlah ajaran pokok dalam Islam, termasuk keimanan kepada keotentikan Al-Qur’an dan kema’shuman Nabi Muhammad saw. Manji secara terbuka menggugat ini. Ia katakan:

”Sebagai seorang pedagang buta huruf, Muhammad bergantung pada para pencatat untuk mencatat kata-kata yang didengarnya dari Allah. Kadang-kadang Nabi sendiri mengalami penderitaan yang luar biasa untuk menguraikan apa yang ia dengar. Itulah bagaimana ”ayat-ayat setan” – ayat-ayat yang memuja berhala – dilaporkan pernah diterima oleh Muhammad dan dicatat sebagai ayat otentik untuk Al-Qur’an. Nabi kemudian mencoret ayat-ayat tersebut, menyalahkan tipu daya setan sebagai penyebab kesalahan catat tersebut. Namun, kenyataan bahwa para filosof Muslim selama berabad-abad telah mengisahkan cerita ini sungguh telah memperlihatkan keraguan yang sudah lama ada terhadap kesempurnaan Al-Qur’an.” (hal. 96-97).

Cerita yang diungkap oleh Manji itu memang favorit kaum orientalis untuk menyerang Al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw. Cerita itu populer dikenal sebagai kisah gharanik. Riwayat cerita ini sangat lemah dan palsu. Haekal, dalam buku biografi Nabi Muhammad saw, menyebut cerita tersebut tidak punya dasar, dan merupakan bikinan satu kelompok yang melakukan tipu muslihat terhadap Islam. Karen Armstrong, dalam bukunya, Muhammad: A Biography of the Prophet juga membahas masalah ini dalam satu bab khusus.

Kisah ”ayat-ayat setan” itu kemudian diangkat juga oleh Salman Rushdie menjadi judul novelnya: The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan). Novel yang terbit pertama tahun 1988 ini memang sangat biadab dalam menghina Nabi Muhammad saw., para sahabat, dan istri-istri beliau. Menurut Armstrong, cerita dalam novel Salman Rushdi ini mengulang semua mitos Barat tentang Nabi Muhammad saw. sebagai sosok penipu, ambisius, yang menggunakan wahyu-wahyunya untuk mendapatkan sebanyak-banyak perempuan yang dia inginkan. Para sahabat nabi juga digambarkan dalam novel ini sebagai manusia-manusia tidak berguna dan tidak manusiawi. Tentu saja, judul Novel itu sendiri sudah bertendensi melecehkan Al-Qur’an.

Karen Armstrong mencatat: “It repeats all the old Western myths about the Prophet and makes him out to be an impostor, with purely political ambitions, a lecher who used his revelations as a lisence to take as many women as he wanted, and indicates that his first companions were worthless, inhuman people.”

Armstrong tidaklah keliru! Dan Umat Islam yang sangat menghormati Nabi Muhammad saw., tentu saja sangat tersinggung dengan penerbitan Novel Salman Rushdie yang sangat tidak beradab ini. Novel ini pun – dalam edisi bahasa Inggrisnya – sudah dijual di Jakarta. Rushdie diantaranya menggambarkan istri-istri Nabi Muhammad saw. sebagai penghuni rumah pelacuran bernama ”Hijab”. Rushdie juga menyebut Nabi Muhammad – yang dinamainya ”Mahound” – sebagai “the most pragmatic of prophets.”

Penulis novel yang menghina Nabi Muhammad saw. seperti Salman Rushdie inilah yang dijadikan rujukan oleh Irshad Manji dalam memunculkan isu tentang “ayat-ayat setan”. Memang, dalam bukunya ini pun Manji mengungkapkan, bahwa Salman Rushdie-lah yang mendorongnya untuk menulis buku ini. Manji menceritakan hal ini:

“Apa yang dikatakan Salman Rushdie padaku ketika aku mulai menulis buku ini teringat lagi saat aku berefleksi terhadap hidupku sejak penerbitan buku ini. Aku ingat ketika bertanya kepadanya kenapa dia memberikan semangat kepada seorang Muslim muda sepertiku, untuk menulis sesuatu yang bisa mengundang malapetaka ke dalam kehidupannya, seperti yang telah menimpa dirinya. Tanpa ragu sedikit pun, dia menjawab, “Karena sebuah buku lebih penting ketimbang hidup.” (hal. 322).

Dalam bukunya ini pun Irshad Manji menjadikan pendapat Christoph Luxenberg sebagai rujukan untuk menyatakan bahwa selama ini umat Islam salah memahami Al-Qur’an, yang seharusnya dipahami dalam bahasa Syriac. Tentang surga, dengan nada sinis ia menyatakan, bahwa ada human error yang masuk ke dalam Al-Qur’an. Menurut riset yang baru, tulis Manji, yang diperoleh para martir atas pengorbanan mereka adalah kismis, dan bukan perawan. “Nah, bagaimana bisa Al-Qur’an begitu tidak akurat?” tulisnya.

Pendapat Luxenberg bahwa bahasa Al-Qur’an harus dipahami dalam bahasa Aramaik ditulisnya dalam buku “Die syro-aramaeische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschluesselung der Koransprache”. Pendapat ini pun sangat lemah dan sudah banyak artikel ilmiah yang menanggapinya. Dr. Syamsuddin Arif telah mengupas masalah ini secara tajam dalam bukunya, Orientalis dan Diabolisme Intelektual.

Menurut Syamsuddin, Professor Hans Daiber, misalnya, memberikan seminar terbuka tentang karya polemis itu selama satu semester penuh di departemen Orientalistik Universitas Frankfurt, dimana ia ungkapkan sejumlah kelemahan-kelemahan buku itu secara metodologi dan filologi. Salah satu kelemahan Luxenberg, misalnya, untuk mendukung analisis dan argumen-argumennya, mestinya Luxenberg merujuk pada kamus bahasa Syriac atau Aramaic yang ditulis pada abad ke-7 atau 8 Masehi (zaman Islam), dan bukan menggunakan kamus bahasa Chaldean abad ke-20 karangan Jacques E. Manna terbitan tahun 1.900!

Namun, meskipun sudah dijelaskan secara ilmiah, orang-orang yang memang berniat jahat terhadap Islam, tetap tidak mau tahu dan mendengar semua argumentasi ilmiah tersebut. Irshad Manji, dalam bukunya ini, malah menyandarkan keraguannya terhadap Al-Qur’an pada pendapat Luxenberg (seorang pendeta Kristen asal Lebanon yang menyembunyikan nama aslinya). Kata Manji:

”Jika Al-Qur’an dipengaruhi budaya Yahudi-Kristen – yang sejalan dengan klaim bahwa Al-Qur’an meneruskan wahyu-wahyu sebelumnya – maka bahasa Aramaik mungkin telah diterjemahkan oleh manusia ke dalam bahasa Arab. Atau, salah diterjemahkan dalam kasus hur, dan tak ada yang tahu berapa banyak lagi kata yang diterjemahkan secara kurang tepat. Bagaimana jika semua ayat salah dipahami?” (hal. 96).

Tampaknya, penerbit buku Irshad Manji dan kaum liberal di Indonesia pun sudah tidak peduli dengan perasaan umat Islam dan kehormatan Nabi Muhammad saw. Mereka begitu mudahnya menokohkan wanita lesbian seperti Irshad Manji, yang dengan entengnya melecehkan Nabi Muhammad saw. dan Al-Qur’an. Mereka mungkin sudah tahu bahwa umat Islam akan marah jika Nabi Muhammad saw. dihina. Mereka akan senang melihat umat Islam bangkit rasa marahnya. Jika umat Islam marah, mereka akan tertawa sambil menuding, bahwa umat Islam belum dewasa; umat Islam emosional, dan sebagainya!

Kasus Irshad Manji ini semakin memahamkan kita siapa sebenarnya kaum liberal dan apa maunya mereka. Kita kasihan sekali pada manusia-manusia seperti ini. Apa mereka tidak khawatir, jika anak-anak mereka nanti ditanya oleh gurunya, siapa wanita idola mereka? Maka anak-anak mereka tidak menjawab lagi, ”Idola kami adalah Khadijah, Aisyah, Kartini, Cut Nya Dien, dan sebagainya” tetapi akan menjawab: ”Idola kami Irsyad Manji, sang Miuslimah Lesbian teman baik Salman Rushdie sang penghujat Nabi.” Na’udzubillahi min dzalika.

wassalaamu’alaikum wr. wb.
Sumber: http://pemikiranislam.multiply.com/journal/item/38/Irshad_Manji_Idola_Kaum_Liberal_

Senin, 21 Maret 2011

Memaknai Sastra Religius dari Pesantren

Linda Sarmili
http://www.suarakarya-online.com/

Dewasa ini, secara kualitatif, dinamika sastra pesantren bisa kita analisis. Salah satunya adalah melalui pelbagai macam perubahan serta pergeseran corak orientasi paradigmatik yang menjadi substansi dalam karya sastra yang bersangkutan.

Maka, bertambahlah ‘spesies’ baru, genre baru ke dalam khazanah sastra pesantren mutakhir; sastra pop pesantren dan sastra pesantren yang subversif. Keberadaan dua spesies baru ini tidak hanya melengkapi dan menemani kanon sastra pesantren yang sudah ada, tetapi juga di banyak sisi menyimpan suatu potensi dialektis dan kritis baginya; intertextual clash (benturan intertekstual).

Sebagaimana kita kenal dari jejak historisnya, sastra pesantren kita dikenal sebagai genre sastra yang giat mengangkat tema-tema nilai esoterik keagamaan; Cinta Illahiyyah, pengalaman-pengalaman sufistik, cinta sosial (habluminannaas), atau ekspresi dan impresi transendental keindahan alam semesta (makrokosmos).

Mayoritas begitu kental dengan nuansa religius. Ini terlihat begitu jelas dalam karya-karya sastrawan pesantren tahun 90-an Acep Zamzam Noor, D Zawawi Imron, Zainal Arifin Toha, Jamal D Rahman, Abi-dah el-Khaeliqi, Kuswaidi Syafi’ie, Faizi L. Kaelan dan sastrawan-sastrawan lain yang ruang kreasi mereka bertempat di lingkungan geografis yang bernama pesantren.

Akibat kentalnya nuansa tasawwuf, sastra pesantren sering di-identikan dengan sastra sufistik atau sastra profetik (nubuwwah). Dengan kata lain, karakter sastra sufistik telah menjadi kanon sastra (mainstream literature) dalam tradisi kesusasteraan pesantren.

Dengan Cinta Ilahiyyah dan spirit religius yang menjadi grand theme, paradigma estetika utama dalam etos berkreasi, sastra pesantren sebenarnya membawakan relevansi yang cukup signifikan terhadap vitalitas tradisi keilmuan di pesantren itu sendiri; sastra pesantren menjadi salah satu media alternatif bagi para apresian untuk mengenal dunia tasawwuf.

Dengan apresiasi yang kontinyu, paling tidak sedikit demi sedikit nilai estetika dan kearifan humanis-teologis yang inheren dalam karya sastra dapat membentuk suatu sikap yang eklektik dalam beragama bagi para apresian, salah satunya dicirikan dengan terbangunnya sinergitas pemahaman terhadap fiqih dan tasawwuf. Dengan kentalnya nuansa Cinta Illahiyah ini pula, lengkaplah sudah sastra pe-santren sebagai subjek mayoritas dari keluarga besar sastra Indonesia yang mengusung dan meng-eksplorasi simbol-simbol serta nilai religiusitas (Islam). Sekalipun tentu saja, secara hakiki nilai-nilai sufistik dan profetik tidak bersifat ekslusif untuk golongan tertentu, melainkan juga terbuka luas untuk kalangan non-pesantren.

Namun, dewasa ini ada perkembangan yang cukup menarik; bahwa kalangan sastrawan pesantren ternyata tidak hanya menjadikan ke-tasawwuf-an sebagai grand theme dalam etos kreativitasnya; satu persatu mulai terlihat adanya keliaran, muntahan-muntahan kegelisahan untuk merambah ke sisi-sisi lain. Sastra pesantren berada dalam kegelisahan yang panas. Di sinilah saya melihat munculnya genre sastra pesantren yang subversif.

Yang paling ekstrim barangkali adalah novel Mairil (Pilar Media, Yogyakarta; 2005) karangan Syarifuddin yang sedemikian berani mengangkat sisi gelap pesantren; yakni abnormalitas perilaku seksual yang terjadi di pesantren (mairil; homoseksual). Detail-detail ilustrasi peristiwa yang diangkat dari fakta itu dinarasikan sedemikian vulgar. Boleh dikatakan bahwa novel ini subversif terhadap sistem tradisi pesantren; bukankah seksualitas dan cinta lawan jenis selama ini menjadi suatu hal yang (di) tabu (kan) di lingkungan pesantren? Faktanya; pembatasan pergaulan lawan jenis yang berlebihan merupakan faktor utama dari disorientasi seksual yang terjadi di pesantren. Meskipun tidak bisa tidak, di sisi lain novel ini potensial menciptakan suatu bias eksternal; dimana ia mengundang stigma buruk kalangan masyarakat terhadap pesantren sebagai institusi pendidikan berbasis agama.

Sayangnya, kritisitas novel Mairil ini tidak diimbangi dengan kebaruan corak dan wawasan estetika. Prestasi dari novel Mairil adalah kualitas dokumenter (Faruk HT, 2000) dimana ia berhasil mendongkrak sisi tersembunyi pesantren sebagai suatu sistem yang dinamis, dan bukan kualitas literer; kualitas stilistika, capaian estetika sastrawinya masih cenderung nge-pop.

Namun, bagaimanapun inilah satu bentuk muntahan otokritik baru. Revolusioner terhadap kultur pesantren yang secara mayoritas cenderung patriarkhal dan mono-referen (hanya terpaku pada sistem referensi pemahaman tunggal). Secara implisit, dapat kita interpretasikan bahwa kehadiran novel Mairil berusaha membuka cakrawala baru pemahaman tentang cinta; bahwa Cinta Illahiyah -yang sufistik- tidak begitu saja dengan gampang diraih secara instant.

Demi kesuksesan dalam perjalanan mendaki tangga-tangga cinta, seorang insan mesti sabar dalam melewati tahapan-tahapan dimensional dari Jalan Cinta. Bukankah Ibn ‘Arabi, sang maestro sufi itu pernah memberikan formulasi tentang Jalan Cinta; Cinta alami (cinta lawan jenis dan unifikasi makrokosmis), Cinta Ruhani, dan Cinta Illahi. Dan Cinta Alami menempati posisi yang amat vital; bukankah Ibn Arabi juga mampu menelurkan banyak karya lantaran motivasi psikologis yang kuat dari Nidzam, seorang wanita Baghdad yang dicintainya?

Karenanya jatuh cinta terhadap lawan jenis merupakan suatu hal yang manusiawi dan tak bisa ditinggalkan. Di wilayah sosio-internal, novel Mairil kiranya layak untuk mendapat perhatian dari kalangan elite pesantren. Suatu tantangan untuk berintrospeksi; bagaimana merekontruksi dan merevisi kembali penataan lingkungan pergaulan (millieu) antar lawan jenis, atau mulai mempertimbangkan pendidikan seksual yang efektif dan proporsional bagi santri-santrinya. Secara kuantitatif, sastra pop pesantren semakin menyemarakkan industri perbukuan.

Sederetan nama sastra-wan pesantren yang rata-rata berusia muda dengan karyanya tampil ke muka: Santri Semelekete (karya Ma’rifatun Baroroh), Bola-Bola Santri (Shachree M Daroini), Kidung Cinta Puisi Pegon (Pijer Sri Laswiji), Dilarang Jatuh Cinta (S. Tiny), dan Santri Baru Gede (Zaki Zarung) Salahkah Aku Mencintaimu (Ahmad Fazlur Rosyad) dan sederet nama lain yang tak bisa disebutkan satu-persatu.

Motivasinya bisa beragam, atau barangkali sastra pop pesantren dipandang lebih prospektif dalam hal laba finansial? Terlepas dari semua itu, ini akan menjadi aset ekonomi para sastrawan. Banyak kalangan elit sastra yang cenderung ‘mengejek’ akan keberadaan sastra pop, termasuk sastra pop pesantren. Budi Darma dalam esainya “Sastra Mutakhir Kita” (Horison, Februari 2000) menyatakan kekhawatirannya bahwa dengan industri, keberadaan sastra pop bukan hanya sekedar keberadaan, melainkan juga kekuatan yang akan menggeser keberadaan sastra serius”.

Ini saya kira suatu kekahawatiran yang agak berlebihan. Sementara, St Sunardi (2006) mengatakan” dalam setiap kebudayaan pop ada suatu jaringan kekuatan. Namun bagaimana kebijakan kita mengarahkannya untuk kepentingan-kepentingan kemanusiaan.”

Dalam konteks sastra pesantren saya melihat bahwa relasi sastra serius pesantren dan sastra pop pesantren cenderung bersifat hierarkis, sinergis dan interdependen; bahwa dari minat terhadap karya sastra pop yang ringan itulah embrio tradisi membaca bisa terbangun. Karena itu animo masyarakat dan kalangan santri terhadap sastra pop pesantren tetaplah harus kita pandang positif.

Bahkan penyair Jamal D Rahman dalam sebuah perbincangan tentang proses kreatifnya, mengaku mendapat modal senang membaca karena awalnya keranjingan membaca novel-novel ‘kacangan’ Freddy. S, tapi seiring dengan waktu dan intelegensinya yang terus berkembang ia pun beralih membaca dan menulis karya sastra sufistik yang high-quality. Sastra pop juga berfungsi untuk ‘latihan pemula’, dan ini akan melanggengkan tradisi bersastra (baik kepenulisan maupun apresiasi) sehingga kontinuitasnya terjaga; bukankah hanya dengan hal itu literacy culture di pesantren bisa hidup, menyala dan terus memberi sumbangan-sumbangan berarti bagi peradaban?
***

Kamis, 10 Maret 2011

Islam di Mata Dua Raja Jawa

Asep Sambodja
http://oase.kompas.com/

Bagaimana kita membaca Wedhatama dan Wulangreh dalam konteks kekinian? Mungkin kita akan dengan mudah mengatakan bahwa pengarang Wedhatama, yakni Kanjeng Gusti Pangeran Arya Adipati (KGPAA) Mangkunegoro IV terasa sinis saat membicarakan agama Islam. Sementara pengarang Wulangreh, yakni Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (ISKS) Pakubuwono IV terasa lebih bisa menerima ajaran agama Islam. Tapi, apakah sesederhana itu?

Kalau kita baca Wedhatama karya Mangkunegoro IV, yang diterjemahkan kembali oleh Fatchurrohman (Jakarta: WWS, 2003), terbaca bahwa Mangkunegoro IV memberi pelajaran kepada anak-anaknya bahwa sebaiknya yang dijadikan panutan itu Panembahan Senopati (Raja Mataram yang pertama) dan bukan Nabi Muhammad SAW.

Hal ini terbaca pada bagian berikut ini:
Nuladha laku utama, tumraping wong tanah Jawi, wong Agung ing Ngeksiganda, panembahan Senapati, kapati amarsudi, sudaning hawa lan nepsu, pinesu tapa brata, tanapi ing siyang ratri, amemangun karyenak tyasing sasama (Teladanilah sikap terpuji tokoh besar dari Mataram, Panembahan Senapati. Ia telah berupaya sepenuh hati demi terkendalinya hawa nafsu. Rajin bertapa, baik siang maupun malam, guna menciptakan ketenteraman batin sesama makhluk).

Lamun sira paksa nulad, tuladhaning Kanjeng Nabi, o, ngger kadohan panjangkah, wateke tan betah kaki, rehne ta sira Jawi, sathithik bae wus cukup, aja guru aleman, nelad kas ngepleki pekih, lamun pengkuh pangangkah yekti karahmat (Jika kau memaksakan diri untuk meniru sikap ketauladanan Nabi, o, terlampau jauh, anakku. Dari gelagatmu, kau takkan mampu karena kau lahir sebagai orang Jawa. Karenanya tak perlu berlebihan. Janganlah mencari pujian dengan meniru dan menyerupai ulama ahli. Asalkan engkau tekun meraih cita-cita tentu anugerah akan tiba).

Mangkunegoro IV sadar bahwa ia adalah keturunan raja, priyayi, karena itu, dalam Wedhatama, ia juga mengatakan, “Lambat laun aku berpikir, mengingat dilahirkan sebagai putra priyayi, layakkah berkeinginan menjadi santri, juru dakwah, atau ahli agama?” Dan, karena merasa tidak memiliki bakat keturunan itulah Mangkunegoro IV lebih berpegang teguh pada garis ketentuan hidup, yakni melakukan upaya pelestarian terhadap ajaran para pendahulu hingga saat sekarang. “Garis hidup yang harus kutempuh tak lain hanyalah mencari nafkah.”

Jika dihadapkan pada dua pilihan; lebih mengutamakan ibadah atau mencari nafkah, maka Mangkunegoro IV melalui Wedhatama akan menjawab: “Mencari nafkah kiranya lebih utama karena kita ditakdirkan sebagai orang lemah. Misalnya, mengabdi kepada raja, bertani, ataukah berdagang. Demikianlah menurutku, setidaknya sebagai orang yang bodoh, oleh karena bahasa Arab belum kukenal, Jawa pun belum tuntas kukuasai. Walaupun demikian, aku terpaksa memberanikan diri menggurui anak.”

Manusia ideal di mata Mangkunegoro IV adalah manusia yang dalam hidupnya memiliki tiga hal, yakni kekuasaan, harta, dan kepandaian. Kalau manusia tidak dapat meraih satu dari ketiga hal di atas, maka habislah martabatnya sebagai manusia. Jadi, kalau menggunakan kacamata Mangkunegoro IV, kemuliaan manusia tidak dilihat dari ketaqwaannya, melainkan dari ketiga hal yang sangat duniawi.

Hal lain yang cukup penting dalam Wedhatama adalah masalah syariat, tarikat, hakikat, dan ma’rifat, yang di Jawa sebenarnya sudah dikenal pula dengan sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa. Tampaknya Mangkunegoro IV agak risih dengan pelaksanaan syariat yang dinilainya terlalu berlebihan. “Dahulu kala masyarakat belum pernah dikenalkan pada ajaran rahasia ini. Baru sekarang kaum saleh memperlihatkan karya, menampakkan kemahirannya, bahkan syariat aneh-aneh.”

Berbeda dengan Mangkunegoro IV, raja Jawa lainnya, Pakubuwono IV agak berbeda menyikapi Islam dalam Wulangreh. Dalam bagian awal tulisannya, Pakubuwono IV mengatakan, “Dalam Alquranlah tempat kebenaran sejati, namun hanya yang terpilih yang tahu, dan yang memperoleh petunjukNya. Demikianpun pemahamannya tidak dapat hanya berdasar perkiraan sehingga tidak menemukan kebenaran isyarat, bahkan mungkin berlebihan sehingga tersesat. Jika engkau ingin memahami kesempurnaan hidup, seyogyanya bergurulah.”

Sebagaimana Wedhatama, Wulangreh juga merupakan naskah kraton; yakni naskah yang ditulis oleh kalangan kraton atas perintah raja saat itu. Dan, ajaran-ajaran yang terdapat dalam naskah ini juga ditujukan kepada anak-anak raja. Saya menilai Wulangreh adalah naskah yang sangat luar biasa, karena di dalamnya berisi nasihat kepada anak-anak raja (penguasa) untuk tidak menyombongkan diri. Pakubuwono IV mengajarkan agar anak-anak raja tidak adigang adigung adiguna; yang artinya janganlah kau menyombongkan diri, janganlah suka mencela, serta jangan menyombongkan kepandaian (sok pintar).

“Ajaran yang benar itu sesungguhnya pantas ditiru. Sekalipun berasal dari orang berderajat rendah, namun jika ajarannya benar, pantas kau terapkan,” kata Pakubuwono IV. Pernyataan ini sama dengan sabda Nabi yang mengatakan “dengarlah apa yang dikatakan, jangan lihat siapa yang mengatakan.”

Banyak sekali nasihat-nasihat yang diberikan Pakubuwono IV yang saya nilai justru antifeodalisme. Bahkan, ketika menasihati anaknya untuk berbakti, maka orang yang harus dihormati pertama kali adalah orangtua (ayah dan ibu), kemudian mertua (baik mertua laki-laki maupun perempuan), setelah itu harus menghormati kakak (baik laki-laki maupun perempuan), kemudian guru, dan yang terakhir adalah raja. Ini menurut saya sangat menarik. Meskipun ada nasihat untuk menghormati raja, tapi itu dilakukan setelah kita menghormati orangtua dan guru.

Naskah Wulangreh ini ditulis pada 1803 (awal abad ke-19), sementara Wedhatama ditulis sekitar 1853-1881 (pertengahan abad ke-19). Jika Wulangreh ditulis oleh Pakubuwono IV yang ketika dikukuhkan menjadi raja masih berumur 19 tahun, maka Wedhatama ditulis oleh Mangkunegoro IV yang di masa kolonial Belanda saat itu dikenal lebih memprioritaskan pembangunan ekonomi.

Pakubuwono IV tidak menafikan syariat Islam sebagaimana Mangkunegoro IV yang merasa risih dengan syariat Islam. Perbedaan ini memperlihatkan bahwa sebenarnya kultur atau budaya Jawa itu beragam. Dengan demikian, Islam yang diterima dan dipraktikkan oleh manusia Jawa pun beragam. Ada yang menerima agama Islam seutuhnya, yang berusaha “meniru-niru Kanjeng Nabi Muhammad dari Mekah”, ada pula yang menerima Islam namun tidak melupakan kepercayaan sebelumnya. Perlu diketahui bahwa dalam kedua naskah ini, penggunaan istilah Hyang Widhi dan Allah silih berganti posisinya. Bahkan Nabi Muhammad pun disandingkan dengan Hyang Widhi. Ini memperlihatkan adanya sinkretisme ataupun proses transisi dari pengaruh Hindu ke Islam.

Niels Mulder mencatat bahwa Islam mulai menancapkan pengaruhnya di Jawa pada abad ke-16 sejak berdirinya kerajaan Demak di daerah pesisir Jawa. Begitu kerajaan Demak berakhir, terjadi negosiasi ulang antara nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai kejawaan (kejawen) di kerajaan-kerajaan di Jawa yang berada di pedalaman, termasuk raja-raja di Surakarta. Saya melihat naskah Wedhatama memperlihatkan dengan jelas adanya negosiasi ulang itu. Sementara Wulangreh memperlihatkan masih adanya sikap akomodatif terhadap Islam di tanah Jawa. ***

Bibliografi
Mangkunegoro IV, KGPAA. Wedhatama.
Mulder, Niels. 2001. Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia. Yogyakarta: LKIS.
Pakubuwono IV, ISKS. 1803. Wulangreh.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Soekmono, R. 1993. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogykarta: Kanisius.
Tammaka, Mh. Zaelani. 2003. “Suluk Saloka Jiwa: Strategi Budaya Mencari Titik Temu
Islam-Jawa,” dalam Bre Redana dkk. (ed.). Bentara. Jakarta: Kompas.

Sastra, di Antara Gender dan Spiritualitas

Sihar Ramses Simatupang
http://www.sinarharapan.co.id/

Jakarta — Itulah kenangan seorang gadis cilik. Gadis cilik itu kini telah menjadi dewasa dan menulis berbagai kisah dalam bentuk novel. Dia bernama Camilla Gibb. Sastrawan yang tinggal di Toronto, Kanada ini menemukan dunia lain lewat dialog lisan. Sebuah pandangan yang dia dapat lewat komunikasi.

Gadis kecil itu menerima tamunya – seorang ibu yang menjual roti. Roti yang enak dan hangat. Lalu gadis kecil itu bertanya asal si ibu. Si ibu menjawab, “Saya dari Palestina?” Apa itu Palestina? Perempuan itu pun menjawab padanya, “Semacam sebuah negara…”

“Sastra merupakan cara untuk membuka dunia. Bukan stereotipe. Sastra dapat menjadi alat untuk menunjukkan rasa kasih sayang dari perbedaan. Sastra dapat mengubah persepsi terhadap orang lain,” tutur Gibb.

Dari negeri yang berdwibahasa itu–Inggris dan Prancis, Gibb telah menerbitkan tiga novel, yaitu Petty Details, Mouthing the Words dan Sweetness in the Belly. Novelnya yang terakhir berkisah tentang perjuangan perempuan muslim bernama Lily dalam mempertahankan keyakinan dan komitmennya kepada keluarga saat menghadapi tantangan pribadi, sosial maupun politik yang memberatkan.

Novel ini juga dilatari kekaguman Gibb pada ketabahan kaum perempuan di tengah peperangan di berbagai tempat, yang menurutnya merupakan simpati yang dia ungkapkan tanpa melihat perbedaan latar dan warna kulit.

“Rasa itu merupakan gerakan yang menjadikan jarak, perang dan perbatasan bukan lagi permasalahan,” ujarnya.

Gibb kemudian menyebutkan dua persen penduduk Kanada secara keseluruhan adalah muslim, di antara Hindu, Yahudi dan banyak lagi hal yang memperlihatkan keberagaman. Gibb menyebutkan hal tersebut jangan dilihat dari angka statistik, tapi hal yang memperlihatkan bahwa ada kondisi multikultural di masa lampau di negara ini.

Jauh sebelum 11 September – yang sempat mempengaruhi pandangan timur dan barat – Gibb ingin mengetahui apa yang terjadi di dunia. Dia belajar tentang antropologi, belajar tentang dunia Arab di Kairo, apa itu Islam sebenarnya terutama di tengah negara Islam yang lebih besar.

Eksistensi Perempuan

Dialog bertajuk “Perempuan dan Agama dalam Sastra—Pengalaman Indonesia dan Kanada” mengundang Camilla Gibb sebagai pembicara. Selain Camilla, acara yang berlangsung Kamis (22/3), dua perempuan sastrawan Indonesia, Ayu Utama dan Abidah El Khalieqy, pengamat Maman S Mahayana dan moderator Gadis Arivia.

“Tapi apa yang terjadi, perempuan masih saja dikurung secara normatif sebagai penunggu rumah, pengasuh anak dan ‘tenghak-tenghuk’ di depan tungku api. Bergelut dengan suara riuh dan sumpah serapah pasar,” ujar Abidah yang menulis novel Geni Jora dan menjadi pemenang Sayembara Penulisan Novel 2003 Dewan Kesenian Jakarta.

Dalam makalahnya, Abidah menulis: Siapakah sesungguhnya yang mempengaruhi realitas demikian? Dalam konteks Islam, Fiqh-lah yang paling berpengaruh. Karena fiqh sesungguhnya merupakan respon atas realitas persoalan sosial, yang konsekuensinya ketika persoalan sosial mengalami perubahan, maka fiqh juga harus berubah. Sebagaimana dalam tokoh Annisa dalam novel Perempuan Berkalung Sorban, perempuan akan terus bertanya, seperti Tuhan akan menanyakan kelak, atas alasan apa eksistensi perempuan dikubur hidup-hidup. Dosa apa yang telah mereka perbuat.

Bagi Ayu Utami, persoalan dasar yang menjadi penyebab penulis perempuan lebih sulit menggarap tema universal (seperti tema sosial, politik dan ekonomi dalam karya sastra, red), ketimbang masalah yang partikular karena penyebabnya adalah perempuan nyaris selalu spesifik dan lantaran persoalan perempuan terletak pada pengalaman tubuhnya. “Bukan pengalaman ide-ide belaka. Sebab, tubuh perempuan adalah medan penguasaan masyarakatnya. Hubungan kekuasaan ini bukan hanya berbasis gender, tetapi bisa berlatar kolonialisme,” kata penulis novel Saman dan Larung ini.

Sedangkan Maman S Mahayana kemudian menjelaskan isi makalahnya yang bertema “Mencari Perempuan dan Agama dalam Novel Indonesia”. Maman menyebutkan bahwa dalam sejarah, kolonialisme Belanda, Jepang, Orde Baru tegangan politik ikut mempengaruhi wacana agama dan perempuan dalam kesusastraan Indonesia. Dia kemudian menyebutkan beberapa jalur dalam kesusastraan Indonesia—seperti juga bahasa Indonesia—yang melalui tiga jalur perkembangan.

Pertama melalui penerbit swasta terutama yang dikelola oleh golongan peranakan Tionghoa belakangan golongan pribumi misalnya Hamka dan Helmi Yunan Nasution yang menerbitkan Pedoman Masjarakat (1935) juga Dian Rakyat yang didirikan oleh Sutan Takdir Alisjahbana yang menerbitkan novel Belenggu karya Armijn Pane. Jalur kedua, melalui media massa, surat kabar dan majalah yang pada media massa terbitan abad ke-20 yang melahirkan beberapa penulis wanita. Ketiga, melalui penerbitan Balai Pustaka yang merupakan bagian dari lembaga kolonial Belanda.

Pada Balai Pustaka muncul tiga pengarang wanita yaitu Paulus Supit, Selasih (nama lainnya Sariamin, Seleguri) juga pengarang Hamidah (Fatimah Hasan Delais). Tokoh utama perempuan selain pada karya Paulus Supit, kemudian terkesan jatuh sebagai pecundang. Selain itu, Maman menyebut banyak nama penulis perempuan lainnya hingga dekade terakhir dengan karakter dan fenomenanya. Seperti terhadap problem masalah di dalam sastra masa kini, yang dia tanggapi secara subjektif lebih kepada gender dan bukan lagi persoalan kualitas. “Mengapa persoalan gender yang dijadikan isu dan bukan peningkatan kualitas,” papar Maman.***

Rabu, 09 Maret 2011

KAJIAN SEBAB ATAS SUBYEK

Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/2011/05/the-study-of-the-cause-on-subject/

Bagian II

Dalam menelaah konstruksi budaya, baik identitas-identitas personal maupun kolektif, teori kritis, teori budaya, lebih beralih dari menggunakan kata “diri” (self) menjadi menggunakan istilah “Subyek” (subject). Hal ini dikarenakan kata “diri” secara tradisional memunculkan ide tentang identitas sebagai sebuah kepemilikan pribadi, sebuah gagasan mengenai individu sebagai unit dan otonom. “Subyek” lebih mendua atau ambigu. Subyek bersifat pasif maupun aktif. (Dani Cavallaro, 2001).

DIAWALI DENGAN RESAPAN CINTA

M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/

“Allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad
ruh bersaksi sederaian gerimis menghantarkan rasa atmosfer semesta
terkumpul di dasar laut di kedalaman rongga dada pujangga [I]” (KPM, 2007: 1)

Begitu, Nurel Javissyarqi (NJ) mengawali karyanya yang berjudul Kitap Para Malaikat (KPM) dengan muqaddimah. Butiran puitik yang dibingkaikan sosok NJ melalui KPM-nya ini digerbangi shalawat atas Nabi, Muhammad SAW. Melantun, sebagai pembuka dari catatan panjang yang sungguh tidak bisa dianggap remeh. Seolah sudah mendapatkan deretan wangsit (baca juga dengan: kesaksian), NJ menembangkan shalawat untuk mengabari kita kalau Para Malaikat yang ditemui tidak hanya mentasbihkan keagungan Allah Ta’ala, melainkan juga berderet dalam rangka merajut doa untuk pengagungan Nabi SAW.

Membaca Kitab Para Malaikat

Mencermati sebait di awal ini, saya pun kemudian undur diri untuk mengheningkan diri sejenak. Menyusupi dan ikut bershalawat dalam hening sambil menimbang bobot kata pembuka dalam ayat I surat muqaddimah ini. Pasti, pikir saya dalam prasangka baik, sang NJ mengumpulkan sekarung nilai dalam shalawat yang tentu saja dapat dipergunakan sebagai bahan untuk menterjemahkan keakuratan usaha dalam rangka mengumpulkan berkah cahaya Ruhaniyyuun. NJ menapak tilas di perjalanan umurnya untuk mendaki dan bersusah sungguh demi mengungguli kemerlap dari makhluk-makhluk yang disucikan (KPM, 2007: 1).

Berhantar bait (baca: ayat) pertama dalam judul (baca: surat) Muqaddimah; Waktu di Sayap Malaikat, pun di sini NJ menitipkan doa keselamatan untuk seorang utusan, Nabi Besar Muhammad, penutup para Nabi Allah. “Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada Nabi Muhammad” NJ memulai mengungkapkan rasa yang dikristalkan dari dalam dada.

Penempatan sebaris doa ini, dimungkinkan saja, bahwa NJ bermaksud menebarkan keselamatan di muka bumi bersamaan dengan proses pembacaan KPM oleh masyarakat. Seperti yang pernah diungkapkan NJ sendiri pada hari Jum’at tanggal 23 Juli 2010 di Padepokan Selo Aji, Trowulan, Mojokerto, yang menyatakan bahwa, “KPM ini apabila cukup disimpan di rumah, niscaya rumah itu dapat terhindarkan dari marabahaya”. Pengakuan ini memberikan saya sekelumit bekal, adanya bait (baca: ayat) pertama di Muqaddimah KPM yang mengisyaratkan akan keselamatan dan sekaligus cinta, yang mendatangkan keselamatan tersebut, dari NJ pada keagungan Nabi Muhammad SAW. Khasanah cinta yang dibawa NJ, pun menjadi dorongan utama dalam panjangnya perjalanan. Masa ini membawa NJ berpapasan dengan simbol spiritual (maupun mistis) yang pada perkembangan selanjutnya menjadi pengalaman religi. Cinta, tertuang dalam estetika religius yang kental. Aspek ini membentuk KPM dengan sedemikian rupa sebagai sarana pemujaan atas cinta keilahian.

Akiya Yutaka (melalui Abdul Hadi W.M., 2004: 5) mengatakan bahwa doa dan cinta serta sembahyang memiliki peran yang sangat penting dalam proses penciptaan puisi. Muqaddimah; Waktu Di Sayap Malaikat memuat tiga aspek tersebut. Shalawat Nabi atas makro-kosmos. Sebait, yang sudah mengandungi doa, cinta serta sembahyang, seperti yang diungkapkan Akiya Yutaka di atas. Mendoakan karena mencintai, dan rasa cinta yang hadir menuntun pada sembahyang (sembah-Hyang). Akantetapi, dari tiga aspek maknawi proses penciptaan KPM, lebih didasari oleh aspek cinta. Rasa cinta, memiliki timbangan yang lebih berat daripada dua unsur yang lain.

Cinta (mahabbah) dapat diungkapkan sebagai nilai hidup yang merupakan santapan hati, makanan ruh dan juga kesenangan (Al-Jauziyah, 1998: 421). Melalui cinta ini, NJ menghidupkan jalan renungan untuk mensketsa warna jiwa cinta para Malaikat. Sampai pada noktah perjalanan tertentu, rasa cinta itu menjadi ruh pelita perjalanan jiwa yang bersaksi kemudian mengendap.

Rasa cinta menuntun pada laku perjalanan panjang yang secara tidak langsung menjadi laku dalam membuat gudang pengalaman. Perjalanan mistis (atau mungkin juga spiritual) yang menghenyak di dalam sanubari. Diawali dalam sesenggukan meresapi cinta yang menumbuh dalam batiniah yang dengan puisinya ini, NJ menasehati dirinya sendiri dan (tentu saja) para pembaca:

Maka jangan menghitung masa bertirakat,
hisaplah kutub keberadaan kekuatannya [V]

menempuh jalan pemahaman untuk sesuatu yang terus dicintai, terus disugestikan akan adanya keharusan akan kehendak sehingga menjadi tabu kalau sampai menghitung pengorbanan yang telah dipersembahkan. Cinta tidak memiliki rumus hitungan, tentang seberapa banyak yang akan didapat dengan seberapa banyak yang akan diberikan. Sebab itu, cinta jauh dari untung dan rugi. Di sana tidak ada hukum-hukum ciptaan manusia seperti ekonominya Smit atau matematika yang memiliki dasar hitungan. Rasa cinta adalah senyawa ilahiah, yang ketika mengatakan cinta musti dibarengi dengan perjalanan pemahaman sebagai nyawa persembahan seperti dalam ayat IV surat Muqaddimah.

Ikhlasnya dalam pengorbanan, melepaskan segala kepentingan yang mengunsurkan talian erat pada dunia. Dia hanya rasa untuk mencintai, yang entah dalam kadar memberi atau kadar menerima. Panjangnya dan beratnya perjalanan cinta akan membawa kekuatan serta maknanya sendiri, membuat setiap kita mendaki keluhuran jiwa yang melewati kedudukan Malaikat (Ruhaniyyuun).

Muqaddimah; Waktu Di Sayap Malaikat memiliki bangunan struktur makwani yang indah. Membawa audiens untuk berusaha keras menilik ke dalam diri. Melepaskan ego kebenaran sendiri untuk terus menerus berjalan di jalan rasa sebagai jalan hidup. Jadi, seperti dalam pandangan hidup masyarakat Jawa, manusia saat ingin mencapai pengalaman puncak religius beserta keluhuran tidak perlu keluar dari diri sendiri (Beatty, 2001: 224). Pengetahuan tentang diri, biasanya didorong kehendak dari cinta yang menghasilkan kerendahan diri. Hal ini cukup tersembunyi. Entah sengaja disembunyikan oleh NJ atau secara tidak sengaja termaktub di dasarnya tanpa pengetahuan si empu KPM, Nurel Javissyarqi.

Sebagaimana ilham dari para Malaikat (Ruhaniyyun), pengetahuan ini dibungkus dalam ayat VIV yang secara gamblang membawa pada hukum tua:

Tubuh letih mata senja setajam pandangan arif menakar peristiwa,
segenggam benih pada, senyum taburan suci para petani [XIV]

Baris pertama di ayat tersebut, menghadirkan nuansa “senja” serta “tubuh letih” yang berisyarat telah dilaluinya tapak laku yang panjang. Waktu yang tidak singkat dalam pengembaraan, dari muda ke masa tua. Simbolisme yang dibangun mengklaim soal kearifan yang dimiliki orang tua. Nah, orang tua di sini pun akhirnya membawa pada dua pengertian baru. Orang yang sudah berumur tua yang sudah makan banyak garam dunia, atau orang tua yang dikurung tanda kutip. Dua kriteria ini memiliki esensi yang sungguh berbeda jauh. Kalau orang tua karena tingkatan umur, membutuhkan adanya proses yang kedatangannya dapat ditunggu. Lain halnya dengan orang tua dikurung tanda kutip, dia bisa saja anak muda namun dengan usaha keras menjalani ritme pengetahuan yang dibutuhkan. Orang tua belum tentu menjadi orang tua (Wong Tua) dan yang muda tidak menutup kemungkinan mencapai taraf Wong Tua tersebut.

Keterkaitan struktur simbol antara tubuh letih dan (mata) senja) yang menuju pada kebijaksanaan dapat ditemukan dalam ayat “walaupun air laut berselimutkan kain sutra angkasa jiwa [XI]” oleh NJ, disimbolkan kembali dalam irama “segenggam benih pada [XIV]”. Tanaman satu ini tumbuh di lingkup masyarakat Jawa yang mengandung unsur kehidupan yang tinggi. Padi, kalau berisi dia akan menunduk, rendah diri, lain halnya apabila gabug, tidak berisi, batangnya akan tegak berdiri menantang langit.

NJ mungkin saja terlupa, kalau tidak setiap (mata) senja atau umur yang tua membuahkan kebijaksanaan. Akantetapi, NJ langsung menisbatkan nilai akan “tua” ini pada kaum petani. Golongan masyarakat yang terus berkurang peminatnya (ketimbang menjadi PNS), menjadi figur bagi manusia bijaksana. Mungkin, hal ini dipahami dari konsep laku hidup para petani itu sendiri. Membicarakan KPM, seperti yang sudah saya ungkapkan dalam tulisan “Membaca Kulit Luar Kitab Para MalaikatNurel Javissyarqi” bahwa sama dengan menelusuri kehidupan batin (dan juga mistis) masyarakat Jawa. Dengan demikian, kita dapat melihat simbol petani, sebagai golongan masyarakat pertama yang sering disebut dengan “abangan”. Petani (adalah) sebagai abangan yang menjalankan laku hidup Islam Kejawen (Koentjaraningrat dalam Magnis-Suseno SJ, 1985: 13).

Islam Kejawen (sebut juga Agami Jawi) sebagai agama dan juga pandangan hidup masyarakat petani, yang merupakan golongan masyarakat tradisional. Petani sebagai masyarakat tradisional karena kepercayaan dan perjalanan batin (spiritual) masyarakat Jawa telah berkombinasi antara kepercayaan masyarakat, Hindu-Budha, dan Islam yang sudah dijawakan. Hal ini sudah menjadi ciri khas kebudayaan Jawa yang cenderung menyaring kebudayaan luar untuk dijawakan (Magnis-Suseno SJ, 1985: 1).

Petani, hadir sebagai pandangan hidup masyarakat Jawa yang mempercayai buah dari perilaku (perbuatan). Misalnya, apabila kita berbuat kebaikan, maka kita pun akan memanen kebaikan. Keadaan ini sering muncul dalam ungkapan masyarakat Jawa yang saya kutip bebas, “Ngunduh wohing pakarti” yang dapat dimungkinkan sebagai hasil serapan dari kebudayaan Hindu-Budha mengenai hukum karma.

Prinsip kebijaksanaan petani yang dihadirkan NJ dalam Surat Muqaddimah, mengarahkan individu pada refleksi diri, seperti ungkapan dalam Dhammapada V (Narada, 1996: 93) di bawah ini:

“Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan,
oleh diri sendiri seseorang dicemari,
oleh diri sendiri kejahatan tidak dilakukan,
oleh diri sendiri seseorang disucikan.
Baik kekotoran maupun kesucian bergantung pada diri sendiri.
Tak ada seorang pun yang disucikan oleh orang lain.”

Kegiatan bercocok tanam (petani) mengetengahkan pandangan hidup yang sederhana namun mampu menghindarkan manusia dari penderitaan. Pandangan hidup tersebut, mungkin dijawakan oleh masyarakat Jawa dari ajaran Samyutta Nikaya (Narada, 1996: 87) yang mengungkapkan bahwa, “Sebagai benih yang kau tabur demikian pula akan kau petik buahnya”.

Pandangan hidup yang mengedepankan nilai (serapan dari) dunia petani juga mendapatkan pengaruh (katakan juga sebagai penegasan) dari ajaran Islam yang sudah termodifikasi di Persia dan India. Tabur-tuai, begitu garis besar pandangan hidup ini, banyak terdapat dalam khasanah Islam. Untuk mendukung gagasan ini, saya mencoba mengambil contoh, sabda Nabi SAW (Al-Qasimi, 2010: 342) yang mengungkapkan nilai timbal balik, yaitu “Sesungguhnya orang yang tidak menyayangi, maka tidak akan disayangi.” Sabda Nabi SAW ini menyiratkan arti pentingnya peran individu dalam merasakan akibat. Harus ada sebab untuk mencapai akibat, dan sebab ditentukan oleh diri sendiri sebagai subjek utama. Firman Allah dalam surat Ar Ra’d ayat 11, yang menyatakan bahwa “Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, kalau kaum itu sendiri tidak mau merubah nasibnya” merupakan penegasan utama dalam gagasan ini.

Sepintas, melihat nilai universal yang tertuang dalam simbol ini memberikan pengalaman pada penulis, bahwa hukum petani memiliki keuniversalan nilai kebijaksanaan untuk manusia dalam menjalani hidup. Hakekat hidup dari masyarakat Jawa, yang dituangkan NJ menawarkan kearifan mencerahkan. Mendewasakan jiwa karena mampu menjadi makanan hati bagi individu yang memahami. Surat Muqaddimah menumbuhkan pengertian yang menuntun pembaca pada klimaks, khatarsis dipenuhi dengan baik. Demikian, pembaca dapat meraih “Hadiahkan bulir-bulir jagung dari keranjang emasmu … [XV]”.

Ayat selanjutnya memberikan gambaran dalam nuansa baru. Ini, yang mungkin menurut Marhalim Zaeni (Javissyarqi, 2006: 473) yang disebut sebagai “… lompatan-lompatan makna dalam bahasa yang berguling-guling, ada jerit dari jerih kata yang diperas berulang-ulang, ada laut yang saling berbalik arah debur ombaknya.” Sebelum menyempatkan diri menjajaki ayat selanjutnya, saya ingin mengetengahkan lompatan-lompatan pikiran itu. NJ, awalnya memasang padi dan petani, namun, makna petani pun disusupi dengan jagung yang menggandeng kalimah pengembaraan.

Kita bisa melihat pada ayat XVI surat Muqaddimah berikut:

Membasuh kaki-kaki kembara ke makam para wali,
Ada teratai bermekaran dalam bentangan waktu petang hari,
Malamnya purnama siangnya menutup kelopak-kelopak penuh rahasia [XVI]

Melalui ayat ini, adanya penegasan akan pengembaraan dari tanah suci ke tanah suci lainnya. Perjalanan yang pada akhirnya membawa pada penemuan akan keindahan. Manifestasi keindahan yang dihadirkan oleh pengalaman masa lalu dari para Wali yang saat ini telah menjadi pepunden. Pemujaan dan cinta kasih akan ajaran manusia bijak. Di langkah pengembaraan mengunjungi orang-orang mati, NJ menemukan makna tersendiri. Pun, di sana, pada wilayah yang sering dianggap sebagai akhir dari kehidupan, NJ menghisap aroma kesucian makna atas kehidupan itu sendiri yang hadir bersamaan dengan kesempurnaan cahaya (akhir).

Ayat XVI surat Muqaddimah menyuguhi kita dengan simbolisasi dari bunga Teratai yang dapat dimaknakan sebagai kesucian jalan (dan maupun tujuan). Teratai yang berpadu dengan purnama, bulan di tanggal 15 dalam penanggalan Jawa (malam) yang dapat dimaknai sebagai kesempurnaan. Teratai dan rembulan dalam perjalanan ziarah, sebagai simbolisasi pembukaan akan rahasia. Nur ilahi, yang entah berupa wangsit (baca: bisikan) yang hanya akan di dapat di waktu malam.

Perjalanan malam di mana di dalam suatu riwayat yang tersebar dari mulut ke mulut, di katakan sebagai jalan dalam mencapai derajat tinggi di dunia dan alam selanjutnya. Masyarakat Jawa, mengenal istilah tirakat, yang disinggung dalam ayat V surat Muqaddimah, yaitu sebagai jalan tapa brata untuk mengurangi tidur demi mendapatkan wahyu. Hal ini biasanya dilakukan di malam hari, dimana, menurut kepercayaan masyarakat Jawa, malam hari sebagai waktu yang heneng (diam) yang dipenuhi dengan wening (kejernihan). Di saat seperti ini juga, menjadi waktu bagi para Malaikat (Ruhaniyyuun) untuk turun ke bumi dalam rangka mencatat manusia yang mencintai Keluhuran (Hidup atau Urip), dan menebar pengetahuan (wahyu atau pertanda) serta rahmat.

Apabila kita membandingkan dalam pemikiran sejarah ajaran Islam, malam hari juga menjadi malam yang sakral untuk beribadah. Ajaran Islam mengetengahkan ibadah di malam hari yang sering disebut dengan Qiyamullail yang di dalamnya terdapat berbagai manfaat. Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk menjalankan Qiyamullail yang ada dalam Surat Al-Furqan ayat 64, “Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka”. Pun, kita bisa melihat bagaimana Allah SWT memperjalankan Nabi SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha waktu malam hari.

Perjalanan malam yang dapat juga disebut dengan tirakat adalah perjalanan beribadah. Perjalanan ini tentu saja berbeda dengan perjalanan kencan semalaman atau perjalanan rombongan anak muda dalam arakan motor panjang yang sok-Mbois. Perjalanan, yang lebih pada penyelaman ke dalam diri demi mencapai pemahaman dan pengertian akan hakikat kehidupan. Kegiatan merasuki diri sendiri ini dapat dipastikan adanya kehendak sebagai dasar dari laku atas pelaksanaan dari doa, cinta, dan juga sembahyang.

Jarak yang ada di antara diri (individu) dengan pemahaman hakekat kerahasiaan yang tersembunyi dan biasanya terungkap di malam hari. Melakukan perjalanan ini akan membuahkan buah nikmat dari prihatin (menjalani kesusahan), harus ditempuhi bersama yakin dan ketulusan dalam kesabaran yang penuh. Hingga, sang NJ pun menulis demikian:

Memindahkan rasa sakitmu dari tangan alam ke titian waktu,
serpihan cahaya langit membatu granit, serupa butiran garam
dihempaskan ombak ke bunga karang berulang-ulang [XVII]

Niat yang sudah diungkapkan dalam ayat V surat Muqaddimah ini membuat seorang pejalan harus rela untuk tidak menghiraukan sakit saat terpaksa berhadapan dengan diri sendiri. Masa bertirakat (dalam ayat V) yang (mungkin) adalah perjalanan panjang membuatnya tertatih sendirian. Si pejalan ini hanya memiliki pengetahuan sebagai bekal yang dimunculkan dalam simbol serpihan cahaya langit dan butiran garam, pun berpapasan dengan gelombang. NJ (sang pejalan) di sini, mungkin saja sadar diri kalau dirinya manusia biasa, hawa nafsu dan rasa cinta pada dunia menjelma menjadi ombak dan bunga karang yang hampir saja (mungkin sudah) mengalahkan dirinya.

Hal musabab yang perlu ditilik lebih dalam adalah nuansa batin yang ada di sana. Pejalan (manusia) yang bertekat bulat sampai menemukan sucinya kesempurnaan, masih terpeleset di getir hawa nafsu sendiri. Lalu, bagaimana NJ menulis panjang lebar kalau, toh, dirinya sendiri berjatuhan di sana, setelah ilmu semasa pengembaraan dikalahkan (dihancurkan) sendiri? Ini bisa saja menjadi nasehat untuk kita (dan tentu saja untuk NJ sendiri) bahwa di dalam diri manusia ada musuh (serta kawan) yang perlu dicurigai.

Melepaskan halaman pertama dicerna pikiran, saya memberanikan diri untuk membuka lembaran setelahnya. Di sini, terjadi lompatan pemikiran kembali. NJ meresapkan simbil dan menghiaskan bunga Wijayakusuma pada bangunan struktur maknanya. Perjalanan yang menurut saya, jauh merasuk ke dalam sendi-sendi kebatinan masyarakat Jawa. Bagaimana NJ memandang bunga Wijayakusuma ini, yang dalam penciuman sepintas sebagai syarat seorang Ratu Adil. Pun, NJ menghadirkan sosok Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu manusia se-Jawa.

Nurel Javissyarqi membingkaikan mimpi tua atas hijrahnya masyarakat yang penuh dengan kekacauan dan penderitaan dalam masa pageblug, dilangkahkan ke titian menuju ke tatanan yang diidamkan. Hidup manusia yang dipenuhi berkah dalam situasi yang selamat dan sejahtera. NJ, memberikan hubungan yang cukup jelas antara bunga Wijayakusuma dengan kehadiran Ratu Adil dalam ayat XVIII surat Muqaddimah. Akhirnya, saya mengheneng dan mengheningkan pikiran untuk sejenak. Membayangkan mimpi kami (manusia Jawa) menyoal kedatangan Ratu Adil. Dia (Ratu Adil) sosok pemimpim yang mendapatkan petunjuk Allah dalam kerja pemerintahannya untuk membawa seluruh manusia dalam kesejahteraan, yang seperti diramalkan Raja Jayabaya dari Kediri (Yoedoprawiro, 2000: 57-58).

Ratu Adil, sebagai mimpi kolektif masyarakat Jawa, oleh NJ dikatakan bahwa kedatangannya dibarengi dengan bunga Wijayakusuma yang merekah. Saya terhenyak, keluar rumah dan mencari bunga Wijayakusuma itu, mengamati daunnya namun saya tidak mendapatkan pengertian akan Ratu Adil. Wijayakusuma sebagai syarat penobatan yang akhirnya dapat direngkuh sebagai pemahaman atas tingkatan kemampuan seseorang dalam menjadir raja. Tingkatan ini bisa disebut sebagai kriteria akan kemampuan yang harus dipenuhi.

Ayat XVIII dalam Muqaddimah ini memiliki hubungan dengan sejarah keyakinan masyarakat Jawa. Apabila sosok Ratu Adil adalah seorang penguasa Tanah Jawa, maka bunga Wijayakusuma adalah sosok pribadi dan laku dari penguasa tersebut. Hal ini dapat kita lihat lebih jauh di dalam Serat Centini yang menceritakan bagaimana Raja Kresna melabuh Wijayakusuma untuk menjadi bekal bagi seorang penguasa (Ranggasutrasna dkk, 1992: 11-12).

Manfaat Wijayakusuma ini masih tersembunyi di dalam KPM. Mungkin, NJ ingin menjadikan setiap pembaca KPM sebagai pengelana sebagaimana sosok NJ sendiri. Dalam ayat XX, tabir misteri itu sedikit dibuka dalam nuansa tersendiri, sebagai berikut:

Dasarnya sakit ada tombonya, sejengkal air bengawan mengaliri mata kaki,
menikmati tapakan melangkahi bencah membaca peta pesisir,
menjelma tarian pulang berjejak makna peristiwa sejarah [XX]

Suka atau tidak, NJ benar-benar memaksa kita untuk menjadi pengelana. Lewat lompatan pikiran yang sungguh mengagetkan ini, NJ merasuki jiwa yang tadinya diam untuk bergejolak dan mengikuti rasa hati. Di ayat XX surat Muqaddimah ini, kita musti kembali pada Wijayakusuma. Mengurai putihnya kelopak, daun serta batang yang menjulur. Lalu, apa yang sebenarnya akan kita cari untuk memahami ayat XX surat Muqaddimah ini? Menurut hemat saya, NJ membangun struktur tanda yang bertujuan untuk mengingatkan kita agar tidak melupakan jati diri, atas asal-muasal tanah kelahiran (Hidup). Di setiap tanah yang menjadi tempat tertumpahnya darah, ada jalan lain yang dapat membawa kita pada kesempurnaan.

Lalu, kenapa saya masih saja menyarankan agar terus mencermati Wijayakusuma sampai ke dalam? Cerita masa lalu (sejarah dan bisa saja dongeng) yang bersemayam di tanah ini, maksud saya adalah Jawa, dapat dijadikan sebagai uraian akan jawaban. Hal ini bisa kita lihat dari bagaimana NJ menghadirkan semangat dan mimpi akan Ratu Adil yang diramalkan Jayabaya. Kita juga mendapati semangat untuk membacai lembaran kitab lama demi meraih syarat pemahaman akan bagaimana sebenarnya hakekat seorang raja. Wijayakusuma untuk mengobati luka hati yang merebak (Ranggasutrasna dkk, 1992: 12), air bengawan sebagai laku pengetahuan kalau sungai menuju pada muara laut yang lapang menerima segala tanpa membedakan dan mencaci. Tarian pulang menjabarkan mengenai ajakn untuk mencermati hati sendiri, dan kemudian sejarah membawa kita pada pengolahan rasa akan asal-muasal kehidupan. Sejarah yang dalam ayat XX surat Muqaddimah KPM lebih menjorokkan pengertian pada hakekat kehidupan manusia, seperti dalam pandangan hidup masyarakat Jawa mengenai: “Sangkan paraning dumadi.”

Menilik sejarah sangkan paraning dumadi yang dapat diuraikan sebagai dasar atas perjalanan batin manusia dalam usaha memahami asal kehidupan itu sendiri. Konsep ini, menurut Maqnis-Suseno (1985: 117), sebagai inti dari spekulasi kegiatan mistik masyakat Jawa (Agama Jawi), yang mana memiliki tujuan untuk mencapai kesatuan antara mati di dalam hidup dan hidup di dalam mati. Menjalani laku dalam usaha memahami sangkan paraning dumadi, berarti melakukan perjalanan batin tingkatan spiritual yang paling tinggi. Keadaan ini, yang oleh NJ, dituang dalam ayat XXI surat Muqaddimah di bawah ini:

Mengagungkan rahmatNya sejauh menimba sumur terdalam,
jikalau bersemedi di dalam gua nurani [XXI]

Menjalani laku untuk mencapai sangkan paraning dumadi akan mengajak manusia mencapai pemahaman akan hidup, dimana terjadinya penyatuan yang materi dan yang batin. Dalam konteks ini, seringkali disebut sebagai proses penyatuan antara Tuhan dan hamba. Memahami untuk mengerti (ngerti dalam bahasa Jawa) karena sebagian manusia Jawa menyatakan kalau sebenarnya Tuhan tidak dijumpai di Mekah, melainkan dalam batin sendiri (Mulder, 1984: 24). Usaha yang perlu dilakukan untuk mencapai kemanunggalan ini, seperti kata Mulder di atas bahwa, Tuhan ada di dalam hati, maka manusia (Jawa) harus memahami keberadaan diri sendiri. Pencapaian ini terlebih dahulu perlu memahami nilai dari sangkan paraning dumadi, sebagai pengetahuan mengenai manusia (Beatty, 2001: 268).

Tujuan ini, jelas menuntut untuk menjalankan etika kebatinan, yang oleh Mulder (1984: 39), disebutkan sebagai “Sepi ing pamrih, rame ing gawe. Memayu hayuning bawana.” Ayat XXI surat Muqaddimah juga mengandung unsur ini. Benar-benar membentangkan aspek pemaknaan atas simbolisme yang NJ bangun bersamaan dengan aura jalan kebatinan Jawa. Tentu saja, ini sebagai hasil yang bukan karena faktor kebetulan, melainkan tumpukan dari kerja keras yang terarah karena laku yang dijalankan.

Tapak perjalanan batin masyarakat Jawa yang (sepertinya) telah dilalui NJ membawa pada penyaksian yang termaktub dalam ayat XXII surat Muqaddimah. Atas penyaksian itu, NJ memberikan pemastian dengan ayat XXIII dan XXIV surat Muqaddimah. Sampai pada ayat XIV surat Muqaddimah ini, NJ menjabarkan pada kita mengenai ruang batin yang selama ini mendarah daging dalam kehidupan (masyarakat Jawa).

Muqaddimah; Waktu Di Sayap Malaikat, mungkin saja sebagai gambaran keseluruhan atas Kitab Para Malaikat yang terdiri dari 20 Surat (judul). Perempuan, seperti dalam surat Membongkar Raga Padmi juga dibahas di sini. Penjelmaan sosok pendamping kaum Adam yang sungguh kharismatis, sekaligus misterius akan memancing setiap kita untuk bertanya. Atau mencari tahu sendiri tentang peran perempuan dalam “Hikayat di bawah sadar penciptaan [XXVI]” maupun sesuatu “yang mengalir di bawah hati senantiasa berabadi [XXVII]”. Kemisteriusan dalam bingkai penuh pesona itu yang mungkin saja mendorong NJ untuk berkelana (kalau tidak boleh dikatakan berburu) medan keperempuanan.

Sejauh apa pun kita mencoba menyisik babak akhir dari surat Muqaddimah ini, melulu kita akan menemukan aroma cinta. Aroma yang entah untuk diri sendiri, Nabi, Katuhanan, atau pada jalan hidup itu sendiri. Cinta hadir dalam berbagai macam produk, kalau dimisalkan meja makan, di sana akan kita temui nasi cinta, es cinta, air minus cinta, sayur cinta dan sederet yang lain dalam aneka produk dan rasa.

Lalu bagaimana cinta di dalam KPM dan kehidupan itu tersuguh untuk kita? Pun, NJ telah menjawabnya, seperti yang dia tuliskan di ayat terakhir: Ragamu menghantui, tekatmu berjembatan, ia di sisihmu disetiap engkau rebah [XXXIX].

Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 22 Desember 2010.

Cerita, Dakwah, dan Wanita dalam Magnet Baitullah

Sainul Hermawan
http://www.radarbanjarmasin.co.id/

Magnet Baitullah (Tahura Media, Juni 2010) berisi 14 cerpen karya M. Hasbi Salim, satu-satunya prosais penting yang produktif dan kreatif di Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Membaca bahasa fiksi karya Hasbi akan berhadapan dengan deskripsi lancar tentang situasi, sosok, dan peristiwa realis. Ia tampak tak terlalu membebani bahasanya dengan penggunaan gaya bahasa yang klise. Percobaan yang dilakukan dalam satu paragraf saja dalam satu cerpennya terasa aneh dan agak janggal jika disandingkan dengan konvensi personal bahasa cerpennya yang lain. Bahasanya terang benderang.

Kekuatan fiksionalitas karyanya dibangun dengan peranti narasi dalam bentuk alur yang tak selalu linear, dan pembaca tetap bisa mendapatkan informasi sosioantropologis dari cerita yang disajikan. Dengan demikian cerpen Hasbi ini bukan semata-mata menulis fiksi untuk kepentingan akrobat imajinasi dan gaya bahasa. Cerpennya terkait erat dengan kultur masyarakat yang menjadi latar sosial intrinsik dan ekstrinsik cerpen-cerpennya.

Jadi, buku ini bukan sekadar dapat dibaca untuk pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, tapi bisa juga dijadikan ilustrasi untuk menanamkan nilai-nilai perilaku dalam kaitannya dengan ibadah haji secara khusus dan ibadah lainnya secara umum.

Keempatbelas cerpen itu: (1) Misteri Magnet Baitullah, (2) Seteru dalam Doa, (3) Santri Vs Kiai, (4) Halal Bihalal, (5) Emas Impian, (6) Kucing Misteri, (7) Hape Keren, (8) Andai Waktu Kembali, (9) Ustazah Hasanah, (10) Ketika Api Bicara, (11) Tragedi di Tanah Aziziyah, (12) Kamar Hotel, (13) Titipan Haram, dan (14) Kucuci Rindu di Depan Ka'bah.

Cerpen pertama (1-7) mengisahkan kakek Jon, Fath (cucu Jon), Haji Sugian Noor, dan narator aku. Keempatnya adalah laki-laki dalam alur yang tak linier dengan sisipan flashback. Kisah terasa mengalir lancar kecuali suara cucu yang terdengar terlalu dewasa, tetapi suara itu segera bisa mendapatkan alasan logis suprarasional: bukankah tanda-tanda gaib sebagai sebuah firasat memang bisa melanggar hukum alamiah?

Sebagai cerpen dengan intensi dakwah yang kuat, cerpen ini mengajarkan tiga hal penting: pertama hubungan saling mencintai antara cucu dan kakek, keikhlasan menerima musibah, dan cara sederhana menjadi haji mabrur.

Cerpen kedua (8-14) menceritakan kehidupan sial Haji Dody setelah dari Tanah Suci. Dia bukan malah tambah kaya seperti haji lain di kampungnya, dia malah dijebloskan ke penjara karena tuduhan pembalakan liar. Ada semacam doa terselubung dalam cerpen ini semoga tuhan hanya mengabulkan doa hambanya yang memohon harmoni keluarga dan kesederhanaan hidup.

Cerpen ini tampak berpretensi untuk menegaskan keyakinan penulisnya bahwa tanda haji yang mabrur bukan keberlimpahan harta yang diperoleh dengan cara yang haram dan merusak lingkungan hidup. Pun ada semacam pembelaan atas posisi perempuan dalam ibadah haji. Dalam masyarakat yang sangat patriarkis, perempuan yang menunaikan ibadah haji sering dicibir dan jika bisa sebaiknya dilarang karena ibadah haji hukumnya tak wajib bagi mereka. Namun cerpen ini tampak membela perempuan sebagai manusia yang utuh yang juga berhak menerima hadiah istimewa dari Tuhannya yang dalam cerita ini ditunjukkan sebagai pihak yang doanya diterima.

Cerpen ketiga (15-20) cerita tentang Haji Jarkani, seorang TKI ilegal dari Banjar dan Kiai Muhyiddin, kiainya dulu di Rumpiang.

Pertemuannya yang tak sengaja, membuat Jarkani ingin mentraktir kiainya meski dengan uang pas-pasan di warung yang menyediakan menu banjar. Secara naratif, dibandingkan dua cerpen sebelumnya, cerpen ini lebih bercerita dengan alur yang tergolong "meledak" atau dengan akhir yang sulit ditebak dan dengan sisipan pesan moral yang cuma beberapa baris.

Operasi oposisi biner plus keajaiban Tuhan dapat dijumpai dengan mudah dalam cerpen Hasbi, seperti juga dalam cerpen ke-4 (21-26), cerpen yang mengoposisikan kehidupan Muhdar yang anggota DPR dan Abi yang penulis. Cerpen ini tampak dibangun di atas satu fondasi kun fayakun. Penghargaan terhadap perempuan dalam cerpen yang lebih dominan dialognya ini, masih ada.

Cerpen kelima (27-32) sebagaimana cerpen kedua memilih modus mimpi sebagai sarana cerita. Karena itu cerpen-cerpen ini pun bisa jadi bahan kajian menarik tentang mimpi dalam ranah psikoanalisis untuk memahami bagaimana mimpi tercipta dan bagaimana hakikat cerpen-cerpen yang menggunakan peranti cerita mimpi dan yang tidak, secara keseluruhan sebagai mimpi itu sendiri.

Cerpen ini menceritakan dua perangai perenpuan yang berbeda, yaitu Bu Ijah yang suka memamerkan gelang kepada Bu Fatma. Bu Fatma yang sederhana yang juga ingin gelang emas seperti itu mendapatkan gelang yang lebih baik. Ia kemudian tahu bahwa emas Bu Ijah ternyata emas palsu. Dalam cerpen ini operasi oposisi biner kebaikan dan keburukan kembali ditampilkan.

Cerpen keenam (33-38) tentang Rahmah dkk. yang mengikuti umrah saat liburan sekolah mereka. Ada dua larangan haji yang diilustrasikan dalam cerpen ini yaitu: haji bukan untuk berbisnis, dan dilarang membunuh mahluk hidup. Secara tersirat cerpen ini membawa pesan kasih sayang dalam versi Islam dan semangat anti membawa pasir dalam ritual suci apapun. Sebuah fenomena beragam yang akhir-akhir marak dimana pasar merangsek masuk ke relung-relung keberagamaan “kita”.

Cerpen ketujuh (39-44) bercerita perilaku buruk Kurtubi sebagai orang kaya baru yang melakukan ibadah umrah di bulan Ramadhan. Dia sibuk dengan hape barunya yang canggih. Ada pesan tersirat betapa pentingnya umat Islam menyikapi hape secara dewasa. Penggunaan hape yang berlebihan dan tak tahu tempat berpotensi bikin stres dan mengurangi kehusukan ibadah. Pun kini hape di tangan pengguna yang tak dewasa jadi ancaman laten di masjid-masjid sampai ada tulisan dilarang menyalakan hape di masjid. Formula cerpen ini mirip dengan cerpen keempat dan kelima bahwa kebaikan di kampung bisa berbuah keberuntungan di tanah suci, bukan dalam pengertian yang sepenuhnya gaib, tetapi logis.

Sampai di cerpen kedelapan, kita jadi tahu bahwa buku ini bukan cuma berisi cerpen tentang haji, tapi juga tentang TKW Indonesia di Arab. Cerpen ke-8 (45-51) menceritakan terpisahnya Pak Husni dan Bu Aida. Cerpen ini menunjukkan betapa rapuhnya lelaki tanpa perempuan. Bagi Pak Husni, istrinya terasa lebih bermakna dari harta setelah wanita itu tak ada di sisinya. Dia menyesal telah menganjurkannya jadi TKW karena tergiur pada kemakmuran yang belum jelas sementara siksaan keterpisahan mereka langsung tampak dan sangat terasa.

Cerpen kesembilan (52-58) juga bukan tentang haji, tetapi tentang Ustazah Hasanah dan muridnya. Cerita tentang figur guru teladan yang penyayang. Cerpen kesepuluh (59-68) tentang Hadi yang akhirnya membakar langgar karena kaget melihat perubahan Islam di kampungnya, Rumpiang, Banjar. Ia dipenjara karena ulahnya. Ada pesan lewat tokoh Kurdi bahwa Islam dan perubahannya harus dikawal dengan cara-cara yang makruf, nirkekerasan.

Cerpen kesebelas (69-74) tentang Abdi, petugas haji musiman, asal Banjar, yang menyadarkan jemaah haji yang kasar dan tak sabaran.

Cerpen kedua belas (75-78) mengilustrasikan uji kepekaan sosial yang harus dimiliki calon haji melalui cerita keluarga Pandi yang cekcok dengan keluarga Kakek Udin. Cerita diakhiri dengan disadarkannya sikap Pandi dan istrinya yang tidak mau menang sendiri.

Cerpen ketigabelas (79-86) cerita khas jemaah haji asal dan Indonesia dan rokok. Banyak ragam cerita ini dan cerpen ini mengemasnya dengan kaidah cerita yang mengejutkan. Pak Marjuni menemukan serangkaian pengalaman mengejutkan dengan rokok yang dititipkan Haji Utuh. Sayang akhirnya agak meninggalkan pertanyaan:

mungkinkah dua kotak rokok yang dijatuhkan dari ketinggian tertentu dan menimpa kaca mobil bisa memecahkan kaca itu? Meski fiksi memang bangunan tentang dunia yang serba mungkin, untuk yang satu ini tampak mengganggu hukum mimetika fiksi realis. Dalam hal ini, saya bisa menyebut bagian itu sebagai bagian yang anakronistik.

Cerpen terakhir (87-94) secara naratologis adalah cerpen kedua di antara ketigabelas cerpen sebelumnya yang dikisahkan dengan sudut pandang akuan perempuan sebagai janda beranak tiga ibu jadi TKW di Arab, yang terpisah lama dari anak-anaknya. Dibanding cerpen kesembilan, cerpen ini lebih berhasil menghadirkan perasaan perempuan yang sulit dialami oleh kebanyakan penulis lelaki. Hasbi sangat piawai membahasakan bahasa perempuan. Sisi keperempuanan yang kadang muncul sekilas di cerpen sebelumnya yang bernuansa membela perempuan, tampak total diwujudkan dalam cerpen ini dengan teknik akuan perempuan yang keibuan.

Genre Sastra Islami

Buku ini adalah bukti ketiga setelah buku Badai Gurun dalam Darah karya Ibramsyah Amandit, Rindu Rumpun Ilalang karya Nailiya Nikmah terbitan Tahura Media yang menguatkan gagasan bahwa tak ada masalah antara sastra dan Islam. Jika ada sebagian umat Islam yang memilih menjauhi sastra untuk memperkuat keislaman mereka, ketiga penulis yang telah disebutkan justru menempuh jalan lain. Bukan tak ada penulis lain yang menulis genre sastra ini. Tapi ketiga buku inilah yang cukup representatif dan terfokus.

Ketiganya menampilkan corak problematika pergulatan spiritual penulisnya dengan persoalan keislaman dalam lingkungan imajinasi mereka. Ketiganya bisa menjadi bahan penelitian sastra bandingan yang menarik. Tentu antara lain untuk menguraikan bagaimana nilai keislaman dikemas menjadi cerita atau ungkapan puitik sehingga mendapatkan bentuk baru yang mudah disimpan dalam kenangan yang mencerdaskan dan mencerahkan. Kenangan yang inspiratif.

Dalam cerpen Hasbi pembaca diajak belajar dari beragam sikap calon haji dan perilaku orang Banjar dalam kaitannya dengan masalah haji. Setelah membaca cerpen-cerpennya yang tentang haji, pembaca dapat menarik kesimpulan tentang haji yang sukses, yang mambrur. Tanpa terlalu digurui karena semua itu disajikan dengan cara bercerita yang menarik, dengan bahasa yang mudah dipahami, dan tak berbunga-bunga.

Meskipun dari keempatbelas cerpen itu cerita tentang lelaki dengan baik-buruknya, Hasbi memberikan ruang yang cukup penting bagi kedudukan perempuan sebagai mitra penting lelaki yang juga perlu diagungkan perannya. Wallahua’lam bissawab.

Loktabat Utara, 13.08.2010
Ramadhan 03, 1431 H

Sainul Hermawan, penulis buku Teori Sastra: Dari Marxis sampai Rasis (2005), Maitihi Sastra Kalimantan Selatan (2007), Ragam Aplikasi Kritik Cerpen dan Novel (2009), dll. Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Sastra Universitas Indonesia (2010)

Kamis, 03 Maret 2011

Khomeini: Tentang Sajak, Bibir, dan Bir

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Dengan anggur O, kekasihku
Penuhi pialaku ini
Biarkan jangan kehormatanku melambung
Biarkan jangan namaku berkilau
Tuangan penuh-kasih dalam piala itu
Yang membanjiriku
Yang membasuh jiwa
Dari tipu daya yang angkara
–IMAM KHOMEINI, sajak Akhir yang Manis, terj. Yamani

Rabu, 02 Maret 2011

Islamophobia: Anak si Kambing Hitam

Sabrank Suparno
http://forumsastrajombang.blogspot.com/

A. Islamophobia

Wacana Islamophobia, ketakutan terhadap umat islam di kalangan negara barat, kini menjadi borok budaya yang menggerogoti sukujur tubuhnya. Dan kemalasan barat (terutama Amerika) untuk menyembuhkan, borok itu kian meradang dengan nanah baru yang merikuhkan gerak tubuh dari cabikan benda apapun yang dapat menggores sensitifitas lepukan luka. Jika terus berlanjut, keberadaan barat akan disingkirkan dunia yang lambat laun risih atas kehadiran, karena menyengatkan aroma anyir memuakkan lingkungan, yang artinya barat sendiri merancang bunuh diri perlahan namun pasti.

Kambuh Islamophobia kembali ter-urik ulah Pendeta Terry Jones dari Dove Word Outreach Center(sebuah komunitas kecil dengan jema’at cuma 50 orang) yang hendak membakar Al-qur’an saat mengenang hancurnya menara kembar WTC pada tanggal 11 September 2010. Terry Jones dari Gainesville Florida bermaksud mengecam ulah teroris yang membajak 2 pesawat: American Airlines, masing masing bernomor penerbangan 11 yang menabrak menara utara pukul (08:46), dan nomor penerbangan 175 menghantam menara selatan WTC pukul (09;03) pada 11 September 2001 yang menewaskan 3000 warga.

Ibarat sekeping dua sisi, Terry Jones juga berniat menggugat rencana Faisal Abdul Rauf (pimpinan masjid Al-Farah di Amerika) yang akan mendirikan gedung Cordoba Huose(nama Islamic Center) dan masjid Ground Zero di dua blok dekat puing menara kembar atau yang dikenal area Park51. Serayanya pembangunan memang disetujui Barack Obama.

Seperti dilangsir Jawa Pos tanggal 12 September 2010 halaman 4, aksi Terry Jones tersebut mengundang berbagai aksi konfrontatif. Dari beberapa poster terlihat Matt Skye dari New York yang menggugat dibangunnya masjid Ground Zero sedang berdebat dengan Herbert Silver dari Florida yang pendukung dibangnnya masjid Ground Zero. Matt Skye membentangkan spanduk bertuliskan’ no mass murder mosque at Ground Zero’, sedangkan Herbert Silver menenteng spanduk bertuliskan’support freedom relegion’. Tampak seorang wanita pemilik blog stopislamophobia,org, mengacungkan boxletter bertuliskan ‘muslim are welcome here’.

Kambuhnya islamophobia Terry Jones hanyalah pengulangan radang yang terjadi berkali-kali. Awal Februari 2006 penyakit sejenis dihembuskan oleh pemuda Denmark yang melukis wajah Nabi Muhammad sedang menyunggi bom. Protes kalangan muslim pun menghangat atas kejadian itu, dan pengulangan yang masih hangat adalah peluluh lantahan Gaza oleh pasukan Israel.

Niatan Faisal Abdul Rauf mendirikan Cordoba House dan masjid Ground Zero untuk menunjukkan bahwa sesungguhnya muslim sangat ramah ketika bargaul dengan manusia beragama apa pun. Kalau dihitung dendam, justru ulah Amerika di Timur Tengah yang memberlakukan sangsi Iraq, membacking serangan Israel ke Gaza malah menumpahkan darah puluhan ribu warga muslim.

Menyikapi perpolitikan internasional global yang menyudutkan muslim sebagai biang alibi islamophobia barat, Emha Ainun Najib (Cak Nun) menyampaikan pandangan sikap sufisnya. Pandangan tersebut disampaikan Cak Nun dalam pengajian Padhang mBulan tanggal 23 September 2010. Menurut Cak Nun, umat islam tidak perlu merisaukan hal itu. Islam yang kita fahami bukanlah islam yang orang-orang barat mengerti. Islam, bagi muslim adalah tranformasi nilai ke kebaikan, kebenaran dan kemulyaan berperilaku. Al qur’an yang mereka bakar hanyalah kertas cetakan. Sebab al qur’an yang sesungguhnya tertancap dalam pribadi seorang muslim. Alqur’an itu murni milik Alloh dan Alloh pula yang menjaganya. Tidak kuasa siapa pun hendak memusnahkannya.

Untuk mencapai taraf pemahaman tersebut di atas, Cak Nun memakai dasar nilai sufi. Dimana muslim yang memahami bahwa segala yang terjadi adalah kilatan hikmah dari Alloh, maka muslim tidak akan pernah terpenjara, terhimpit, tersepelehkan hanya karena ulah remeh Terry Jones. Muslim tetap merdeka terbebas dari rasa kehilangan. Bagaimana pun juga, rumus kehidupan pada ahirnya harus kehilangan apa yang kita miliki. Cak Nun justru menyarankan umat islam sendiri agar inspropeksi. Sebab ulah barat terhadap muslim selama ini memang berkaitan dengan kesalahan muslim dalam menerapkan, memahami hakikat nilai islam sebagai frekwensi potensi rohani. Kalau pun barat mengusik simbol-simbol islam, yang barat lakukan sekedar peruntuhan harga diri muslim. Dan bukan peruntuhan islam. Sedang bagi muslim sejati yang melampaui batas haqikat, tidak diperlukan lagi harga diri, melainkan harga Alloh yang pasti menyimpan rahasia hikmah di balik tiap permasalahan.

B. Dendam Barat, Dendam Hulu.

Dendam negara barat terhadap islam sesungguhnya dendam hulu, yakni dendam yang tertancap sejak masa Nabi Muhammad. Masjid Aqsho di Jerusalem diperlakukan sebagai anak sandera oleh kaum Yahudi. Ia tidak disakiti. Namun dibatasi kebebasannya. Apalagi ahir abad 19 negara-negara islam jatuh menjadi jajahan orang kulit putih. Kecuali Iran dan Turqi. Yang meskipun merdeka, tapi tetap mendapat tekanan imperialsme.

Ketidak pecusan sikap politik Amerika terhadap islam juga menghulu. Jangankan terhadap islam, American yang notabenenya perantau dari Eropa, juga membabat habis suku asli Indian setempat. Bahkan dalam senat Amerika ‘mencanangkan’ agenda khusus dalam rangka memerangi islam. Karakter politik Amerika ini ditimbulkan atas jiwa perantauannya yang sangat sengsara membabah wilayah jauh. Sehingga ketakutan terhadap kehancuran menjadi momok yang membayangi masa depan sejarahnya.

Politik double standart yang diterapkan Amerika memang entri power tersendiri bagi kekuatan Amerika. Namun di sisi lain, Amerika juga gagal menangani problem dalam negerinya. Badai Katerina di Amerika Latin terbukti pemerintah setempat tidak tuntas mengatasinya. Biaya perang di Timur Tengah juga didemo warganya. Ketidak adilan Amerika yang mencolok adalah memberlakukan hak veto dalam PBB. Hak veto, dinilai Agil Siroj sebagai kedholiman politik Amerika. Hal ini disampaikan Agil Siroj (PB NU) saat ceramah di Tambakberas tanggal 26 Juni 2010. Namun ‘American is not Amerika government’.

Terpilihnya Barack Obama yang disinyalir berbau islam dan peduli dengan negara-negara berkembang, menunjukkan perubahan sikap mayoritas warga Amerika. Demi masa depan Amerika yang aman, tidak mungkin dilakukan dengan cara mengintimidasi islam terus menerus. Sebab pertentangan yang didasarkan agama, pasti menimbulkan gejala meryt kompleks, jihat yang tak berkesudahan. Jalan terbaik adalah toleransi agama yang tinggi.

Krisis finansial global tahun 2009 lalu, Amerika seolah menampar wajahnya sendiri. Kegagalan sistem segala bidang yang diterapkan, pada ahirnya melumpuhkan super power yang dirajut hampir 150 kali pergantian presiden. Kesigapan membaca intensitas ruang sosial negaranya, American menguji coba Barack Obama sebagai spekulasi alternatife, sekaligus menuju kefitrahan manusia yang pada ahirnya memilih jalan perdamaian, hidup selaras dan serasi apa pun agamanya.

Fakta ini berbalik dengan karakter asli sang adi kuasa yang dijuluki negara super power, yaitu sikap ego merasa teratas. Situasi demikian dimainkan oposisi sayap kiri dengan mengintai tergelincirnya Obama. Oposisi sayap kanan bersikukuh andai pun Amerika membaik, tak bersangkutan dengan dunia islam. Sebagai contoh kongkrit pembatalan Obama saat berkunjung ke Indonesia pertengahan 2010 yang secara kalkulatif bilateral merugikan dua belah pihak, terutama muslim di Indonesia yang kebebasan beragamanya mulai dihantui tudingan jaringan teroris.

Demi efektifitas bilateral Indonesia-Amerika, Obama terpaksa ‘membatalkan’ kunjungan ke Indonesia, setelah disinyalir intelegent kepresidenan bahwa Obama diintai penembak jitu dari kelompok Yahudi di Bali. Jika peristiwa itu terjadi, Indonesia akan berulang kali terkena getah alibi. Sedang dugaan lain, pembatalan itu disebabkan ketidaksiapan pemerintah Indonesia yang kian carut dan malu jika kebobrokan pemerintahan tertangkap basah pihak Amerika.

Bagaimana pun juga, American lebih reflekstif atas campur tangan pemerintahannya terhadap negara negara islam. Kasus bom Bali I yang meledakkan atom c4=c four, dengan kapasitas hulu ledak dahsyat, mustahil jika dirancang Amrozi dkk. Sebab, setelah angkatan darat TNI menguji coba ledakan yang sama di Sumatera untuk menakar ledakan setara dengan ledakan bom Bali, disimpulkan bahwa ledakan sedahsyat bom Bali hanya dimiliki Pentagon pusat pangkalan militer Amerika. Maka bom Bali sesungguhnya bukanlah aksi teroris muslim, tetapi muslim yang dijadikan subyek biang alibi.

Mengamati peta kepolisian( dalam hal ini densus 88) yang khusus menangani proyek penangkapan teroris, dapat kita analisa asumsi di atas. Jaringan satu proyek pengeboman dengan mudah diudal densus 88 secara detail rentetannya. Publik hanya menyangka hal itu kecanggihan kerja polisi. Tetapi anggapan masyarakat berangsur geser memahami bahwa ada semacam konspirasi jual beli antara gangser pemilik jaringan teroris dengan aparat kepolisian. Artinya sebelum teroris melakukan pengeboman, polisi sudah menerima data terlebih dulu siapa pelakunya. Kemudahan polisi membekuknya, dengan tujuan menghasilkan imag bahwa polisi(satuan densus 88) mampu berkiprah secara profesional.

Dendam Amerika terhadap islam menyebabkan sikap protektif berlebihan terhadap Indonesia, mengingat Indonesia berpenduduk muslim terbesar di dunia. Gejala sikap ini merupakan pelampiasan kekecewaan Amerika terhadap Indonesia yang gagal menaklukkan Sukarno untuk menjadi blog barat PBB. Kekecewaan Amerika terulang lagi saat pemerintahan Suharto tidak menyetujui inisiatif Amerika yang hendak membangun pangkalan militernya di kepulauan Manado waktu itu. Tak berselang lama kemudian Amerika mengguncang Indonesia dengan memanfaatkan kurs dolar. Krisis ekonomi tahun 2008, terbukti melengserkan Suharto sebagai gelombang dari sikap moneter Amerika. Selanjutnya, Amerika menerapkan politik ‘lempar batu sembunyi tangan’ para teroris.

C. Gengter Jaringan Terorisme dan Kepolisian.

Kelemahan sumber daya manusia Indonesia, serta sifat miskin yang menghantui sejak masa kolonial membuat warga Indonesia empuk, muprul diiming-imingi uang. Tak peduli nasib saudara setanah air, mereka dengan enjoi menjual aset negara, termasuk proyek terorisme yang terus terjadi. Jangka panjangnya supaya Amerika mudah melumpuhkan tokoh-tokoh muslim yang dianggap menghambat Amerika dalam targetnya menguasai dunia, termasuk Indonesia.

Ketidakadilan pejabat dan semua instansi dengan memarginalkan kaum muslim saat perekrutan jabatan, posisi pekerjaan, mengakibatkan jumlah pengangguran muslim bertambah. Inilah penyebab teroris tergiur pekerjaan nekat asal bergaji sederajat.

Di sisi lain, para teroris direkrut dari santri militan yang hanya faham ilmu keagamaan, tapi minim ilmu sosial kamasyarakatan. Dari rata-rata data teroris yang tertangkap, adalah orang yang menghilang dari kampung halamannya, bahkan dari Indonesia sejak lama. Di sini terjadi kerancuan. Bisa jadi mereka yang tergaet Geng jaringan teroris, seperti buah simalakama. Harus bersedia menjadi teroris, kalau menghindar, akan dibunuh dengan dalih terlanjur mengetahui rahasia.

Dalam negara berkembang seperti Indonesia, tingkat sentimentil gaya hidup sangat tinggi, di mana ada yang meraih kesuksesan berjerih payah menuntaskan pendidikan biaya mahal, sementara ada pula yang ingin meraih kesuksesan tanpa keahlian sekalipun. Kesenjangan sosial yang dilatarbelakangi kesenjangan pendidikan, menjurus pada keberhasilan finansial(kaya) sebagai mine point hidup. Seseorang mudah digaet orang lain dengan iming-iming pekerjaan ringan gaji melimpah. Misalkan tiba-tiba seseorang diangkat menjadi sekertaris pribadi yang kerjanya hanya survey sana-sini nenteng koper. Suatu saat dia disuruh juragan mengambil atau membawa koper ke suatu tempat. Tanpa si pembawa koper tau isinya, tiba-tiba meledak diremout control dari jauh. Nyarisnya, pelaku dituding polisi sebagai anggota teroris berKTP islam.

Hingga batas September 2010, kepolisian Indonesia kususnya densus 88 anti teror, kian tidak rasional kinerjanya. Setiap aksi kriminalitas bersenjatakan peluru, dengan mudah dituding jaringan teroris. Sementara pemahaman sebelumnya, teroris sederajat dengan orang muslim. Akibatnya setiap kegiatan muslim apapun yang dianggap tidak sesuai dengan kepolisian akan dianggap teroris yang sah dicekal.

Runyamnya posisi kepolisian sekarang, menambah carut marutnya pemahaman tentang terorisme di Indonesia. Seperti ditandaskan Cak Nun dalam pemikiran kritiknya. ”Polisi kita tidak jelas posisi kelaminnya, laki/perempuan? Kalau laki-laki kok gak di jajaran ABRI, kalau ikut sipil kok gak bernaung di bawah Mendagri.” Posisi kepolisian semacam ini dikawatirkan menjadi gengter bayaran yang mudah dibeli kepentingan partai berkuasa, orang berpengaruh, atau campur tangan asing sekalipun.

Sedikit banyak, kinerja kepolisian yang kerap menuding umat islam sebagai teroris(atau yang dituduh teroris meskipun tidak ada sangkut pautnya dengan teroris) akan melukai perasaan muslim Indonesia. Pada saatnya, dalam tingkat kewajaran tertentu, muslim yang digerakkan pondok pesantren secara serentak seperti pemberontakan 10 November 1945, akan menjadi kekuatan tak tertandingi. Sebelum itu terjadi, selayaknya kepolisian mulai mengambil langkah kebijakan sejak dini. Demi kepentingan bersama dalam bernegara, kepolisian yang digaji rakyat harus menyelamatkan jangka panjang bangsa Indonesia, dan tidak malah menjual kedamaian rakyat demi tander proyek asing yang ujungnya menciptakan pertikaian sebangsa.

D. Introspeksi Muslim.

Muslim sendiri hendaknya instropeksi. Tidak semua perilaku muslim sesuai dengan esensi ajarannya. Apalagi di kalangan muslim moderat, yang meletakkan kebenaran hanya bagi dirinya. Standart kebenaran yang dipahami golongan muslim ini hanyalah sebatas hukum formal saja. Itupun direduksi berdasarkan kepentingan semata. Sedang untuk menjadi muslim yang kaffah perlu memahami hukum moral dan kecintaan (hubb).

Golongan muslim ini adalah golongan yang ‘masuk anginan, alergi terhadap pendapat orang lain, merasa penafsirannya paling benar, baginya Alloh hanya membenarkan tarikatnya. Sedang golongan lain, jika ingin menempuh Alloh dan surganya, harus nganut tarikatnya. Memang! Alloh dan surga adalah milik mBahnya.

Sikap inklusif semacam ini akan ber-ulah menggantikan tuhan. Tuhan diatur menurut dirinya tanpa mempertimbangkan hikmah yang dirahasiakan. Manusia dicipta sebagai khalifah(wakil tuhan)di muka bumi. Namun kebebasan manusia dalam melakoni kekhalifahannya, disertakan pula hukum kausalitas atas jalan hudup yang dipilihnya. Jihat, dipandang sebagai jalan ke surga bagi dirinya, sedang orang lain kebagian surga atau tidak, mereka tak mau tau. Bahkan ribuan muslim saudaranya terkena imbas jihatnya pun, tidak dikaitkan dengan tujuan pribadinya. Hukum kausalitas Alloh prakti bagi hambanya. Silahkan menjadi pencuri, berabdal, teroris, dan boleh, asal menanggung resiko digebukin, dipenjara dan dihukum mati.

Saat tanpa kontrol ambisi menyerang Kaisar Jengiz Khan( 200-300 SM) pasukan muslim kalah telak. Keangkuhan dan tanpa kontrol nafsu muslim ketika berjihat, ternyata jauh sebelumnya disuguhi Alloh pasukan berkuda Jengiz Khan yang terlatih sejak kecil dan menghasilkan pasukan handal.

Dengan demikian, yang paling baik dan benar dalam menjalankan sistem apapun adalah kembali mengoreksi kekurangan, kelemahan dan kesalahan masing-masing sederajat artinya dengan mendamaikan dunia.

Dr Afif Muhammad MA: ‘Pelajari Filsafat harus Kuat Akidahnya’

Reni Susanti
http://www.republika.co.id/

Tidak ada ilmu yang tidak berguna, semuanya saling melengkapi. Walaupun harus diakui pertentangan atau kontroversi dalam suatu disiplin ilmu kerap terjadi. Tak terkecuali adalah filsafat. Apalagi filsafat adalah ilmu yang mengedepankan rasio, akal, pikiran, sehingga masalah yang tidak terlihat bisa diperdebatkan di dunia filsafat. Belum lagi ditambah filsafat adalah ilmu yang membicarakan tentang manusia, agama, tuhan,liberalisme, atheisme, marxisme, dan komunisme, yang terkadang bertentangan dengan Islam.

”Orang yang belajar filsafat haruslah orang pintar yang mempunyai akidah yang kuat, sehingga bisa membantu memaslahatkan umat,” ujar Direktur Pasca Sarjana IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, DR Afif Muhammad MA.

Melihat penting dan sensitivnya ilmu filsafat, sudah barang tentu pengajaran atau metode yang diberikan harus sesuai dengan yang diharapkan. Karena sedikit saja bergeser, keimanan adalah taruhannya. Kepada wartawan Republika, , dosen di berbagai perguruan tinggi ini menuturkan seluk beluk filsafat termasuk metodenya. Berikut ini petikannya:

Ada yang ‘melarikan’ kasus yang terjadi di UIN Sunan Gunung Djati sebagai praktik pendangkalan akidah yang dilakukan lembaga pendidikan agama. bagaimana komentar Anda?

Kalau kata ‘praktik’, itu merupakan sesuatu yang diprogram dan direncanakan. Dan kalau yang dimaksud dalam pengertian itu, saya jamin tidak akan ada praktik pendangkalan akidah dalam kasus ini. Kalaupun perguruan tinggi itu mempunyai pemikiran yang macam-macam, kami kira untuk dunia akademik itu wajar. Karena kami bukan hanya memahami tapi mendorong orang untuk berpikir kritis. Begitupun dengan pemikiran mahasiswa yang bermacam-macam, dan saya kira itu juga wajar, karena mereka datang dari berbagai kalangan dengan latar belakang yang berbeda.

Sejauh mana batas ilmiah pencarian ketuhanan?

Tentu akan ada batasan. Misalnya kita tidak boleh terlalu berpegang pada kesimpulan akal tanpa bimbingan wahyu. Banyak hal yang tidaak dapat dipecahkan oleh filsafat. Contohnya ketika kita sudah tidak bisa menjawab suatu persoalan, maka kita akan kembali pada wahyu. Namun akal dan wahyu pun berbeda.

Ketika kita berfilsafat maka pada kesimpulan pertama yang muncul adalah tuhan ada atau tiada. Dan apabila buktinya sama-sama kuat maka perlu didialogkan. Kalaupun dalam dialog itu menemukan kebuntuan karena ada keseimbangan antara akal dan wahyu, maka kita harus menggunakan hati nurani kita dengan bantuan agama. Namun untuk masalah ketuhanan sendiri, cara pandang masyarakat awam dan dunia akademik berbeda. Masyarakat awam diberi informasi, didongengi, dan didakwahi. Kalau dunia akademik diajak membuktikan dan bersifat kritis agar imannya semakin kuat.

Sampai batas mana kebenaran agama bisa dibantah atau didebat, bila memang perbedaan pendapat itu rahmah?

Alquran mengatakan jika kalian masih ragu-ragu terhadap ayat yang diturunkan kepada hambaku Muhammad ini, maka coba buat ayat seperti itu perkataan itu memperlihatkan bahwa Alquran menantang. Namun redaksi kata itu jangan hanya diartikan untuk membuat ayat serupa dengan nilai sastra yang sama pula. Tetapi kita harus memikirkan isinya pula. Sebenarnya ini menunjukan bahwa ketika Anda beriman, keimanan itu harus diuji terus menerus jangan disembunyikan ataupun dibentengi. Karena itu dapat mengakibatkan benteng keimanan yang kita anggap kuat pada awalnya ketika dihantam oleh filsafat akan membuat kalah. Inilah yang sering terjadi, kita selalu membentengi keimanan dengan tidak boleh ini dan itu, namun ketika kita bertemu dengan filsafat dan dibenturnya, kita tidak berdaya. Yang namanya filsafat itu terus menggelinding. Kalau kita tidak proaktif kita akan diserang terus.

Kalau boleh tahu, apa alasan itu juga yang membuat mahasiswa Bapak berbuat demikian?

Salah satunya itu. Namun perkataan itu berawal dari kekesalan mereka atas kebobrokan kondisi kita. Hingga kini, koruptor lepas namun penjahat kecil terus ditangkapi. Dengan pemikiran mereka yang masih muda dan belajar filsafat tanpa akidah yang kuat, yang keluar adalah hal itu. Permasalahannya ada pada bahasa yang digunakannya. Kalau saja kemarahan itu bisa mereka cover dalam bahasa yang lebih santun dan bermoral, maka persoalan ini tidak akan terjadi. Bagi saya sendiri, setelah mendengar ucapan itu, saya merasa marah. Kenapa dia menggunakan kata seperti itu ketika dia kesal.

Pendongkelan dan pendangkalan akidah kini makin kasat mata dan terang-terangan dilakukan di dalam masyarakat. Apa yang bisa kita lakukan?

Apabila pendangkalan akidah yang dimaksud akan mengarah pada atheis atau komunis, saya balik bertanya kenapa kita takut pada faham-faham itu? Kalau kita takut pada atheis atau pada suatu hal, maka ada sesuatu yang tidak beres. Ketidak beresan ini, bergantung pada diri kita sendiri. Kita tidak perlu takut pada komunis, toh komunis, di negerinya sendiri seperti Rusia, dan RRC, hancur kok. Alasannya karena mereka tidak punya pesantren, majlis ulama, IAIN, FUUI, dan masjid. Tapi kalau ini terjadi di Indonesia, saya hanya ingin tersenyum. Kenapa mesti takut? padahal kita mempunyai ribuan masjid, kiai, pesantren, kenapa takut? Dengan kekuatan ini, saya yakin atheis ataupun komunis tidak akan berhasil tumbuh. Namun atheis bisa muncul jika terjadi kesenjangan sosial. Seharusnya kita membuktikan bahwa atheis itu salah. Namun bagaimana kita bisa membuktikan kalau kita sendiri tidak mengenal atheis dan komunis, tanpa mempelajarinya.

Apa yang bisa dilakukan umat Islam untuk membentengi diri dari arus ghazwul fikr (perang pemikiran) yang makin deras?

Jawabannya sederhana, yakni harus ada yang belajar filsafat. Tidak usah semuanya, hanya orang-orang pintar yang akidahnya sudah benar, untuk menghadapi filsafat yang luar biasa. Karena filsafat membicarakan tentang tuhan, keadilan, kalau kita mau hancurkan mereka tidak akan bisa kalau hanya dilarang harus ada orang yang dapat membuktikan bahwa itu tidak benar. Kita harus bisa membuktikannya jangan hanya melalui pelarangan saja.

Benarkah metode dakwah yang dikembangkan selama ini kurang mengena?

Metode dakwah tidak bisa hanya dengan kata-kata harus ada pemecahannya. Seperti kasus keluar Islam karena mi instan. Apa yang sebenrnya terjadi? yang terjadi adalah kenapa kita tidak memberi mi instan. Seharusnya dakwah mampu menjaga umat tetap senang dalam Islam. Bukan hanya ngomong kamu salah. Kalau mereka pindah agama itu kesalahan kita, karena dakwah kita hanya omong. Dakwah mereka sudah menggunakan lambang ekonomi. Kesimpulannya, metode dakwah, dan pembelajaran Islam, tidak akan punya kemampuan untuk mengatasi kesulitan hidup, membuat orang amanah, kerja keras. Karena isinya hanya doktrin-doktrin eskatalogis, tentang malikat dengan lainnya. Harusnya ada penguatan di dalam diri umat. Jangan jadikan dakwah sebatas dongeng tentang malaikat. Namun sudah waktunya mengurus dakwah dengan cara liberal. Saya tidak setuju, tapi saya bisa maklum.

Lalu apa yang bisa dilakukan terkait kondisi ini?

Ada dua cara. Pertama, selektivitas, dan yang kedua, proses pembelajaran. Selektifitas telah diusulkan untuk lebih ketat, contohnya untuk tafsir hadis, seharusnya mahasiswa yang masuk telah menguasai Al quran. Proses pembelajaran mereka yang lebih penting dari seleksi. Di situ komitmen dosen juga dilihat. Saya harus mengakui, kurikulum harus dievaluasi, karena hal yang menyangkut akidah dan akhlak sangat kurang. Tapi itu tidak terjadi di IAIN saja, tetapi juga terjadi di SMA. Mata kuliah dasar, komponen fakultas, dan 40 persen komponen lokal yang bisa diubah. Disitulah kita bermain. Kurikulum harus dikembangkan, jangan hanya menerima.

Cerita Siti Jenar dalam Dongeng Wali Sanga

SYEKH SITI JENAR
Pergumulan Islam-Jawa
Penulis : Abdul Munir Mulkan
Penerbit : Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta
Peresensi: Dr. Simuh *
http://majalah.tempointeraktif.com/

Syekh Siti Jenar karya Abdul Munir Mulkan menarik dicermati karena beberapa hal. Buku setebal 353 halaman yang dilengkapi dengan salinan teks asli dan terjemahan bahasa Indonesia ini ditulis oleh Abdul Munir Mulkan, yang dikenal sebagai dosen IAIN Sunan Kalijaga yang bukan hanya mendalami ilmu agama, tetapi juga menggeluti ilmu-ilmu sosial. Karena itu, dalam karyanya ini, Munir Mulkan mendekati karya sastra Jawa dari sudut ilmu sosial-politik. Atas dasar alur cerita dalam karya sastra itu, Munir Mulkan dapat menyingkap adanya oposisi dari kelompok Syekh Siti Jenar beserta murid-muridnya terhadap penguasa kerajaan dan Kesultanan Demak yang didukung oleh Wali Sanga.

Dalam buku ini, Syekh Siti Jenar didudukkan sebagai pengikut Kerajaan Majapahit yang mbalela. Dari alur cerita, Munir Mulkan dapat membuka satu aspek karya-karya satra. Namun, perlu diingat bahwa karya sastra bukan ilmu sejarah. Karena itu, perlu dicermati pula aspek-aspek lain yang cukup kompleks dalam kritik sastra, misalnya aspek kebahasaan.

Pada garis besarnya, bahasa Jawa berkembang dari bahasa Jawa kuna, dan bahasa itu kemudian menjadi bahasa Jawa tengahan. Pada zaman perkembangan Kerajaan Majapahit hingga Kesultanan Demak, pada abad ke-16, bahasa Jawa kuna kemudian menjadi bahasa Jawa tengahan. Pada zaman Mataram, bahasa itu kemudian berkembang menjadi bahasa Jawa baru, yang amat halus dan bersifat feodal dengan stratifikasi bahasa ngoko, kromo, dan kromo inggil. Bahasa Jawa menjadi semakin feodal terutama sesudah kekuasaan sosial-politik kesultanan-kesultanan Mataram dirampas penjajah Belanda.

Sebagai kompensasinya, para priayi Jawa hanya bisa menekuni untuk mengembangkan bahasa dan sastra budaya Jawa baru, yang makin diperhalus dan dicanggihkan dengan menyadap dan menjawakan unsur-unsur agama Islam, terutama filsafat moral dan kebatinan dari ajaran sufismenya. Sastra budaya Jawa baru demikian berkembangnya dan mencapai puncak kehalusan dan kecanggihannya pada zaman Surakarta. Ini merupakan awal krida sastrawan-sastrawan dan pujangga-pujangga istana Surakarta dan Yogyakarta. Pencapaian sastra budaya Jawa untuk mencapai puncak kehalusan ini kemudian diikuti oleh zaman pengaruh budaya Barat, suatu budaya rasional ilmiah yang berwatak dinamis, dan bukan lagi budaya mistik dan mitologi. Makin membanjirnya pengaruh Barat terutama ditandai sesudah peristiwa politik etis. Inilah saat penjajah Belanda mulai membuka sekolah model Barat, yang terkenal sebagai sekolah umum, yakni yang mengajarkan ilmu pengetahuan umum dan bukan sekolah agama. Perkembangan seterusnya adalah sesudah peristiwa Sumpah Pemuda, yang mengangkat bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, menyebabkan perkembangan sastra budaya Jawa mengalami kiamat dan kemunduran yang tragis.

Ditinjau dari segi bahasa, cerita tentang Siti Jenar dan dongeng-dongeng tentang Wali Sanga atau wali tanah Jawa bisa dikategorikan sebagai cerita berbahasa Jawa baru yang halus. Para peninjau sastra Jawa umumnya berkesimpulan, munculnya cerita tentang Wali Sanga dalam serat-serat babad, seperti halnya Babad Demak dan Babad Tanah Jawa, diperkirakan pada abad ke-17 Masehi, yakni zaman Mataram. Karena itu, para sastrawannya tidak mengalami dan tidak menyaksikan proses peralihan dari zaman Majapahit ke zaman Demak. Sayangnya, masyarakat Jawa pada umumnya dan para santri khususnya belum bisa membedakan antara sejarah dan serat babad, yang berupa cerita rekaan para sastrawan Jawa seperti halnya cerita dalam serat-serat babad dan dalam serat suluk Jawa. Mereka masih saja percaya bahwa pengislaman di Jawa ini bisa disulap atas jasa sembilan orang wali. Anehnya, serat-serat babad seperti Babad Demak menceritakan bahwa wali-wali dari pesantren, misalnya Sunan Bonang, Sunan Drajat, diimani oleh wali kejawen, yaitu Sunan Kalijaga. Mengapa demikian? Sebab, dalam Serat Babad Demak, misalnya, dikisahkan bahwa sesudah Masjid Demak dibangun, adalah Sunan Kalijaga yang mendapat anugerah baju Ontrokusumo dari langit, yaitu wahyu untuk menjadi imam para wali tanah Jawa.

Para sastrawan Jawa menyebut peralihan dari Kerajaan Majapahit ke Kesultanan Demak sebagai peralihan zaman, yakni dari zaman “Kabudan” ke zaman Islam. Pada zaman Kabudan, seorang satria yang bertapa lazimnya mendapat petunjuk atau wahyu dari Batara Nerada, sementara pada zaman Islam, adalah Sunan Kalijaga yang menjadi pemberi wahyu para satria yang bertapa.

Jadi, Sunan Kalijaga difungsikan sebagai pimpinan para wali tanah Jawa. Itulah strategi kebudayaan yang dicanangkan oleh para pujangga ilmu kejawen dalam upaya menjalin keserasian hubungan antara lingkungan budaya Istana Mataram, yang ditegakkan atas fondasi sastra budaya warisan kejawen, dan lingkungan sastra budaya pesantren. Itu pula kelihaian para cendekiawan Istana Mataram dalam mengotak-atik strategi sastra budaya untuk membangun jembatan budaya guna menutup jurang perbedaan, agar perbedaan antara lingkungan budaya kejawen lama dan lingkungan budaya pesantren tidak menajam.

Maklum, pada zaman Kesultanan Mataram masa itu hingga zaman penjajahan Belanda, para cendekiawan pengolah sastra budaya adalah para priayi Jawa di lingkungan istana. Para kiai pesantren, sebagai guru-guru tarekat (sufi), tidak memikirkan atau tidak mampu mengotak-atik pembinaan strategi kebudayaan dan tidak butuh memikirkan masalah-masalah sosial-politik.

Hal ini wajar lantaran para priayi Jawa-lah yang masa itu berkepentingan untuk menjembatani jurang perbedaan antara lingkungan budaya pesantren dan kejawen, demi stabilitas kekuasaan kerajaan dan kesatuan dan perdamaian antara masyarakat pesantren dan kejawen. Maka, untuk menunjukkan keunggulan dan kecanggihan warisan sastra budaya kejawen yang halus inilah diciptakan cerita-cerita tentang Wali Sanga seperti Syekh Siti Jenar, Serat Gatholoco, Serat Darmogandhul, Suluk Lebe Lonthang, Serat Wedhatama, Centhini, dan lain-lain. Dongeng Syekh Siti Jenar berkisah dengan gamblang tentang kelebihan dan kehalusan tasawuf kejawen, yang menganut paham manunggaling kawula-Gusti seperti halnya al-Hallaj, dibandingkan dengan tasawuf pesantren yang dianut kedelapan wali lainnya, yang masih terikat lekat pada syariat.

Dalam cerita Siti Jenar ini ditunjukkan, ilmu dan tingkatan makrifat Syekh Siti Jenar lebih sempurna dan benar karena sewaktu leher Siti Jenar dipenggal, keluar darah yang putih. Tampaknya ini kemudian diartikan bahwa Siti Jenar putih hatinya dan benar. Pada zaman Mataram hingga zaman penjajahan, paham tasawuf Siti Jenar menjadi pegangan keislaman para priayi dan raja-raja Jawa. Dalam masa penjajahan, tidak ada raja Jawa dari Mataram yang berani berhaji atau menjadi muslim yang taat. Sebab, masa itu, Islam jadi lambang antipenjajahan dan pendukung setiap pemberontakan. Hal itu wajar karena para kiai pesantren didukung para santri yang taat, sehingga para priayi yang sakit hati dan memberontak melawan Belanda menggunakan atribut Islam, seperti Pangeran Diponegoro dengan sorbannya.

Cerita Syekh Siti Jenar ternyata mengilhami para sastrawan lain untuk menyusun cerita yang mirip penghukuman mati Siti Jenar ini. Hal ini bisa dibaca dalam disertasi S. Soebardi yang berjudul The Book of Cabolek. Inilah petikan serat Cabolek karya pujangga Yasadipura:

Paman payo ucapena / kojah ereh tanah jawi /apa ana kuna-kuna / panjenenganing nrepati /Demak Pajang Mantawis / nglahirken ngelmu Kak kukum /Mas Ketib Anom turnya / Pamirseng kawula ngalit /inggih angger wonten sami anyapisan //Kang kukum ing Giripura / Seh Siti Jenar ing nguni /kukum inggih saking pedhang / Alam Pademak ing nguni /

kukumipun binasmi / pan inggih Pangeran Panggung /

Dene duk alam Pajang / Ki Bebeluk dipun-warih /sami denten traping api lawan toya //

Dene karaton Mantaram / Panembahan senapati /lan Panembahan Karapyak / dereng wonten kang marengi /Nunten kang wayah wayah gusti /anjenengan Sultan Agung /wonten kukum satunggal / angrusak sarak anenggih /mila duka Sultan Mukhamad Mantaram //Linabuh wonten Tunjungbang / wong saking mancanegari /pandhusunan Wirasaba / dhukuh ing Wanamarteki /mantunipun Kiyahi / Bayipanurta pukulun /Lakine Tambang Raras / gustine nyai Centhini /abubuka warana Seh Among Raga //
…….

Ketib Anom aturira / Sunan kang sumare Tegil /Mangkurat Paku Buwana / dereng wonten kang nglampahi /mung Kaji Mutamakin / inggih ajeng sisinahu /Gumer ingkang miyarsa / sadaya sami ningali /Ki Cabolek kang pinandeng ing ngakathah //

Ringkasan kisah serat itu adalah: Haji Mutamakin dari Desa Cabolek, Karesidenan Pati, dihadapkan dalam sidang para ulama. Ia dituduh karena mengaku sama dengan Tuhan sesudah mendalami Serat Dewaruci. Sidang ini dipimpin oleh Damang Urawan dan Ketib Anom dan diselenggarakan di Pagelaran Istana Kartasura. Dalam sidang ini, Demang Urawan bertanya kepada Ketib Anom, apakah pada masa lalu para sultan di Jawa juga menghadapi masalah adanya orang yang dihukum karena dipersalahkan mengaku sama dengan Tuhan dan meninggalkan syariat. Ketib Anom menjawab, kerajaan-kerajaan Jawa zaman Islam selalu menghadapi masalah ini satu kali setiap periode. Ketib Anom menjelaskan, pada zaman kasunanan di Giripura, adalah Syekh Siti Jenar yang dihukum pancung dengan pedang lantaran dipersalahkan mengaku sama (manunggal) dengan Tuhan. Pada masa Kesultanan Demak, adalah Sunan (Pangeran) Panggung yang dihukum bakar (dibakar hidup-hidup) lantaran mengaku sama dengan Tuhan, sedangkan dalam Kesultanan Pajang, Ki Bebeluk dihukum mati dengan jalan ditenggelamkan di dalam air.

Syahdan, pada zaman Mataram, pada masa pemerintahan Sultan Agung, tersebutlah Amongraga, yang mengaku sama dengan Tuhan. Maka, Sultan Agung sangat marah dan Amongraga ditenggelamkan di laut Tunjungbang. Sementara itu, pada masa pemerintahan Sultan Mangkurat di Kartasura, Haji Mutamakin ingin mencoba menyiarkan ajaran seperti Syekh Siti Jenar, tapi kemudian bertobat sehingga dibebaskan dari hukuman.

Dalam menghadapi dan menganalisis kandungan sastra Islam kejawen seperti halnya Serat Syekh Siti Jenar, Serat Cabolek, Centhini, dan serat-serat suluk Jawa pada umumnya, kita bersikap cermat dan hati-hati. Mengapa? Sebab, para “dhalang” (sastrawan) penulis cerita Siti Jenar, cerita Haji Mutamakin dalam Serat Cabolek ataupun Centhini, cerita Amir Hamzah dalam serat-serat Menak Jayeng Rana umumnya adalah para pujangga atau sastrawan Jawa di lingkungan Istana Mataram. Disertasi S. Soebardi menjelaskan bahwa Serat Cabolek ditulis oleh Yasadipura I, seorang pujangga Istana Mataram, yang semula beribu kota di Kartasura dan kemudian berpindah ke Surakarta (Solo). Kelemahan analisis Abdul Munir Mulkan dalam Bab I Pasal 2 dan 3 adalah karena dia hanya mencantumkan alur cerita dalam teks yang tersurat. Sementara itu, dalam kritik sastra, kita masih perlu menyingkap siapa “dhalang” penulis cerita itu, dan kapan kira-kira Serat Syekh Siti Jenar ditulis, dan lingkup suasana bagaimana yang ditulisnya. Jadi, masih banyak misteri yang harus dikuaknya. Ditinjau dari segi kehalusan sastra bahasanya, Serat Siti Jenar termasuk dalam lingkungan bahasa Jawa baru, yang berkembang pada zaman Mataram. Atau, bahkan para penulisnya jelas orang Solo dan Yogyakarta. Apalagi, tembang Macapat yang dipakai memang berkembang pada zaman Mataram hingga masa pembaruan dan pengislaman sastra Jawa kuna ke dalam sastra Jawa baru. Inilah masa yang oleh Poerbatjaraka dalam Kepustakaan Jawa disebut zaman Surakarta awal. Jadi, kalau dilacak dari kehalusan bahasanya, Serat Syekh Siti Jenar ditulis pada zaman Mataram.

Karena itu pula, bisa diperkirakan, penulis yang mengotak-atik munculnya cerita Siti Jenar tentu tidak menghayati zaman peralihan dari Majapahit ke Demak. Hal ini berarti Serat Siti Jenar, seperti halnya cerita-cerita Wali Sanga dalam serat-serat babad, adalah cerita rekaan para sastrawan Jawa, bukan karya para kiai di pesantren.

Jadi, cerita para wali, termasuk di dalamnya Siti Jenar, tak bisa dianggap sebagai buku sejarah. Para pujangga Jawa hingga zaman Ranggawarsita, yang dijuluki sebagai pujangga penutup, belum punya rasa kesejahteraan dan belum menguasai ilmu sejarah. Masa itu, mistik dan mitologi masih dominan sehingga jika pembaca menganalisis, alur cerita yang hidup adalah sebuah kisah yang beroposisi terhadap Kerajaan Demak. Sedangkan jika pembaca mampu membaca yang tersirat, cerita itu lebih menyiratkan keunggulan paham manunggaling kawula-Gusti yang dianut Siti Jenar, Syekh Amongraga, Syekh Bebeluk, dan Pangeran Panggung, yang dianut lingkungan budaya Islam-kejawen di Mataram, daripada tasawuf pesantren yang ketat terikat pada syariat.

Walaupun alur cerita yang tersurat dalam Siti Jenar dan cerita Wali Sanga pada umumnya menggambarkan pergulatan dalam peralihan dari kerajaan Hindu-kejawen Majapahit ke Kesultanan Demak, bila dicermati, sindiran yang tersirat menggambarkan pergulatan antara paham tasawuf pesantren dan kejawen pada zaman Mataram hingga masa penjajahan Belanda. Paham tasawuf manunggaling kawula-Gusti yang dianut Siti Jenar menggambarkan paham yang diunggulkan oleh para priayi kejawen, dan berpusat di lingkungan Istana Mataram, sedangkan tasawuf para wali delapan atau wali sembilan dalam buku Abdul Munir Mulkan mewakili tasawuf pesantren.

Pihak kejawen memandang paham Siti Jenar, walaupun dipersalahkan dan dihukum mati, sebagai ajaran tasawuf yang lebih sempurna dan lebih unggul. Hal itu tampak jelas disiratkan dalam dialog antara Sunan Kudus, sebagai utusan pihak wali pesantren, dan Ki Ageng Pengging, sebagai murid setia Syekh Siti Jenar. Paham keislaman para priayi Jawa pada zaman penjajahan Belanda tergambar jelas dalam Wedhatama karya K.G.P.A.A. Mangkunegoro IV.

Sikap keagamaan dalam Wedhatama menggambarkan sikap para raja dan priayi Jawa semenjak zaman Hindu kejawen hingga zaman Islam sebelum masa kemerdekaan. Bagi para priayi Jawa, yang nomor satu adalah nilai kekuasaan (kedudukan). Adapun agama adalah nomor dua dan dijadikan pendukung kekuasaan politik.

Hal ini tampak dalam sejarah semenjak Raja Erlangga hingga Kerajaan Majapahit, ketika demi stabilitas negara, mereka menyatakan menganut agama rangkap, yakni Siwa-Buddha. Dua agama yang di negeri asalnya bermusuhan itu di Jawa bisa disinkretisasi. Maka, dalam menghadapi ajaran mistik Hindu-Buddha dan mistik Islam, para priayi Jawa memilih paham seperti Syekh Siti Jenar, yakni paham yang cenderung ke arah panteisme atau manunggaling kawula-Gusti. Mengapa? Sebab, paham manunggaling kawula-Gusti ini mempunyai beberapa ciri istimewa, di antaranya pemahaman paham panteisme yang bisa disebarkan konsep God king, yakni menyembah raja berarti menyembah Tuhan juga. Jadi, paham Syekh Siti Jenar bisa dijadikan dukungan bagi kekuasaan politik kerajaan-kerajaan Jawa. Maka, wajar bahwa dalam sejarah kerajaan-kerajaan Jawa semenjak zaman pengaruh Hindu-Buddha hingga zaman kejawen, paham mistik yang panteistis atau paham Siti Jenarlah yang dikembangkan para raja-raja Jawa. Hal ini bisa dipahami dari disertasi Zoetmulder tentang satra suluk Jawa yang diterjemahkan Dick Hartoko dengan judul Manunggaling Kawula-Gusti. Dan dari kenyataan ini, orang yang mau menjelajahi sastra Jawa zaman Islam akan mudah mengerti mengapa dalam hal ajaran ketuhanan, para pujangga Jawa lebih memilih menyadap dan mengembangkan paham wujudiyah atau martabat tujuh dari sastra sufi Melayu Aceh, sementara dalam hal filsafat kejiwaan dan ajaran moral, mereka menyadap ajaran tasawuf al-Ghazali dari pesantren Jawa.

Membahas buku Syekh Siti Jenar karya Munir Mulkan ini memang sangat mengasyikkan karena buku ini mewakili keunikan sikap para satrawan Jawa dalam mempertahankan warisan tradisi budaya lama dalam perumahan baru, yaitu perumahan Islam. Ternyata, untuk sementara waktu, mereka berhasil menyusun bentuk kompromi yang cukup unik yang melahirkan bentuk keislaman baru yang dinamai Islam-kejawen. Dalam buku Syekh Siti Jenar ini, Islam-kejawen dihadapkan dengan bentuk Islam sufi, yang berkembang dalam masyarakat pesantren. Keunikan Islam sufi adalah ajaran mistik yang dikembangkan dalam perumahan Islam. Maka, lahirlah bentuk baru yang unik pula, yaitu Islam-sufi. Di samping itu, pada abad ke-20, sebuah bentuk Islam baru di Jawa telah lahir, yakni Islam reformasi, yang diwakili oleh golongan Muhammadiyah. Islam reformasi ialah gerakan Islam yang ingin mengembalikan ke Islam sunni yang asli, atas dasar pedoman Alquran dan Sunah. Dalam Islam suni, Islam dipandang sebagai way of life yang khusus sehingga tidak bisa dikompromikan dengan tradisi kejawen dan ajaran mistik yang bertentangan dengan way of life Islam. Maka, pergulatan tiga bentuk keislaman ini menjadi bahan penelitian yang sangat penting.

*) Dosen IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Label

A Khoirul Anam A. Khoirul Anam A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.D. Zubairi A.S. Laksana Abd. Basid Abdul Aziz Abdul Aziz Rasjid Abdul Gaffar Abdul Hadi W.M. Abdul Rauf Singkil Abdul Rosyid Abdul Salam HS Abdul Wachid B.S. Abdullah Alawi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimardha Kurniawan Abu Nawas Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Ach. Tirmidzi Munahwan Achmad Faesol Adam Chiefni Adhitya Ramadhan Adi Mawardi Adian Husaini Aditya Ardi N Ady Amar Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afrizal Malna Afrizal Qosim Agama Para Bajingan Aguk Irawan Mn Agus Buchori Agus Fahri Husein Agus Fathuddin Yusuf Agus R. Sarjono Agus Sulton Agus Sunyoto AH J Khuzaini Ahmad Anshori Ahmad Badrus Sholihin Ahmad Baso Ahmad Fatoni Ahmad Hadidul Fahmi Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Muhli Junaidi Ahmad Syafii Maarif Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rohim Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Fatoni Akhmad Sahal Akhmad Taufiq Akhudiat Alang Khoiruddin Alang Khoirudin Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Aliansyah Allamah Syaikh Dalhar Alvi Puspita AM Adhy Trisnanto Ami Herman Amien Wangsitalaja Amin Hasan Aminullah HA Noor Amir Hamzah Ammar Machmud Andri Awan Anindita S Thayf Aning Ayu Kusuma Anjar Nugroho Anjrah Lelono Broto Antari Setyowati Anwar Nuris Arafat Nur Ariany Isnamurti Arie MP Tamba Arie Yani Arif Hidayat Arif Saifudin Yudistira Arifin Hakim Arman AZ Arwan Asarpin Asef Umar Fakhruddin Asep Juanda Asep S. Bahri Asep Sambodja Asep Yayat Asif Trisnani Aswab Mahasin Atiqurrahman Awalludin GD Mualif Azizah Hefni Azwar Nazir B Kunto Wibisono Babe Derwan Badrut Tamam Gaffas Bale Aksara Bandung Mawardi Bastian Zulyeno Bayu Agustari Adha Beni Setia Benny Benke Berita Berita Duka Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budiawan Dwi Santoso Buku Kritik Sastra Candra Adikara Irawan Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cawapres Jokowi Cerpen Chairil Anwar Chairul Abhsar Chairul Akhmad Chamim Kohari CNN Indonesia Cucuk Espe Cut Nanda A. D Zawawi Imron D. Dudu AR Dahta Gautama Damanhuri Zuhri Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Danuji Ahmad Dati Wahyuni Dea Anugrah Dea Ayu Ragilia Dede Kurniawan Dedik Priyanto Den Rasyidi Deni Jazuli Denny JA Denny Mizhar Detti Febrina Dewi Kartika Dian Sukarno Dian Wahyu Kusuma Didi Purwadi Dien Makmur Din Saja Djasepudin Djauharul Bar Djoko Pitono Djoko Saryono DM Ningsih Doddy Hidayatullah Donny Syofyan Dr Afif Muhammad MA Dr. Simuh Dr. Yunasril Ali Dudi Rustandi Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Rejeki Dyah Ratna Meta Novia E Tryar Dianto Ecep Heryadi Edeng Syamsul Ma’arif Edy A Effendi Edy Susanto EH Ismail Eka Budianta Ekky Malaky Eko Israhayu Ellie R. Noer Emha Ainun Nadjib Esai Esha Tegar Putra Evi Melyati Fachry Ali Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faizal Af Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fathurrahman Karyadi Fazabinal Alim Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Festival Teater Religi Forum Santri Nasional Fuad Mardhatillah UY Tiba Furqon Lapoa Fuska Sani Evani Geger Riyanto Ghufron Gola Gong Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Dur Gus Muwaffiq Gusriyono Gusti Grehenson H Marjohan H. Usep Romli H.M. Habibullah Hadi Napster Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamid Jabbar Hamka Hammam Fathulloh Hamzah Fansuri Hamzah Sahal Hamzah Tualeka Zn Hanibal W.Y. Wijayanta Hanum Fitriah Haris del Hakim Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B. Kori’un Hasan Basri Marwah Hasnan Bachtiar Hasyim Asy’ari Helmy Prasetya Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Heri Listianto Heri Ruslan Herry Lamongan Herry Nurdi Heru Kurniawan Hilmi Abedillah Hotnida Novita Sary Hudan Hidayat Husein Muhammad I Nyoman Suaka Ibn ‘Arabi (1165-1240) Ibn Rusyd Ibnu Sina Ibnu Wahyudi Idayati Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Yusardi Imadi Daimah Ermasuri Imam Hamidi Antassalam Imam Khomeini Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Nasri Imron Tohari Indonesia O’Galelano Indra Kurniawan Indra Tjahyadi Inung As Irma Safitri Isbedy Stiawan Z.S. Istiyah Iwan Kurniawan Iwan Nurdaya Djafar J Sumardianta Jadid Al Farisy Jalaluddin Jalaluddin Rakhmat Jamal Ma’mur Asmani Jamaluddin Mohammad Javed Paul Syatha Jaya Suprana Jember Gemar Membaca Jo Batara Surya Johan Wahyudi John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN K. Muhamad Hakiki K.H. A. Azis Masyhuri K.H. Anwar Manshur K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin Kabar Pesantren Kafiyatun Hasya Kanjeng Tok Kasnadi Kazzaini Ks KH Abdul Ghofur KH. Irfan Hielmy Khansa Arifah Adila Khoirul Anwar Khoirur Rizal Umami Khoshshol Fairuz Kiai Muzajjad Kiki Mikail Kitab Dalailul Khoirot Kodirun Komunitas Deo Gratias Koskow Kritik Sastra Kurniawan Kurtubi Kuswaidi Syafi’ie Kyai Maimun Zubair Lan Fang Larung Sastra Leila S. Chudori Linda S Priyatna Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP Lukman Asya Lukman Santoso Az M Arif Rohman Hakim M Hari Atmoko M Ismail M Thobroni M. Adnan Amal M. Al Mustafad M. Arwan Hamidi M. Bashori Muchsin M. Faizi M. Hadi Bashori M. Harir Muzakki M. Kanzul Fikri M. Mustafied M. Nurdin M. Yoesoef M. Yunis M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki M.S. Nugroho M.Si M’Shoe Mahamuda Mahdi Idris Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahrus eL-Mawa Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mansur Muhammad Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marjohan Marsudi Fitro Wibowo Martin van Bruinessen Marzuki Wahid Marzuzak SY Masduri Mashuri Masjid Kordoba Masuki M. Astro Matroni Matroni el-Moezany Matroni Muserang Mbah Dalhar Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Miftahul Ulum Mila Novita Mochtar Lubis Moh. Ghufron Cholid Mohamad Salim Aljufri Mohammad Kh. Azad Mohammad Yamin Muh. Khamdan Muhajir Arrosyid Muhammad Abdullah Muhammad Affan Adzim Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Ali Fakih AR Muhammad Amin Muhammad Anta Kusuma Muhammad Ghannoe Muhammad Idrus Djoge Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Kosim Muhammad Muhibbuddin Muhammad Mukhlisin Muhammad Quraish Shihab Muhammad Subhan Muhammad Wava Al-Hasani Muhammad Yasir Muhammad Yuanda Zara Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyiddin Mujtahid Muktamar Sastra Mulyadi SA Munawar A. Djalil Munawir Aziz Musa Ismail Musa Zainuddin Muslim Mustafa Ismail Mustami’ tanpa Nama Mustofa W Hasyim Musyafak Myrna Ratna N. Mursidi Nasaruddin Umar Nashih Nashrullah Naskah Teater Nasruli Chusna Nasrullah Thaleb Nelson Alwi Nevatuhella Ngarto Februana Nidia Zuraya Ninuk Mardiana Pambudy Nita Zakiyah Nizar Qabbani Nova Burhanuddin Noval Jubbek Nu’man ’Zeus’ Anggara Nur Fauzan Ahmad Nur Wahid Nurcholish Nurel Javissyarqi Nuruddin Al Indunissy Nurul Anam Orasi Budaya Pangeran Diponegoro Parimono V / 40 Plandi Jombang PC. Lesbumi NU Babat PDS H.B. Jassin Pesantren Tebuireng Pidato Politik Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pramoedya Ananta Toer Prof. Dr. Nur Syam Profil Ma'ruf Amin Prosa Puisi Puji Hartanto Puji Santosa Pungkit Wijaya Purwanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin PUstaka puJAngga Putera Maunaba Putu Fajar Arcana R. Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Raedu Basha Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rakhmat Nur Hakim Ramadhan Alyafi Rameli Agam Rasanrasan Boengaketji Ratnaislamiati Raudal Tanjung Banua Reni Susanti Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Retno HY Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridwan Munawwar Rinto Andriono Risa Umami Riyadhus Shalihin Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Rodli TL Rohman Abdullah S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saifuddin Syadiri Saifudin Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Salahuddin Wahid Salamet Wahedi Salman Faris Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Pesantren Sastrawan Pujangga Baru Satmoko Budi Santoso Satriwan Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra Boenga Ketjil Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siswanto Siswoyo Sita Planasari A Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Slavoj Zizek Snouck Hugronje Sobih Adnan Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana St Sularto Suci Ayu Latifah Sufyan al Jawi Sugiarta Sriwibawa Sulaiman Djaya Sundari Sungatno Sunu Wasono Surya Lesmana Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susianna Susringah Sutan Iwan Soekri Munaf Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaiful Amin Syaifullah Amin Syarif Hidayat Santoso Syeikh Abdul Maalik Syeikh Muhammad Nawawi Syekh Abdurrahman Shiddiq Syekh Sulaiman al Jazuli Syi'ir Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Theresia Purbandini Tiar Anwar Bachtiar Tjahjono Widijanto Tok Pulau Manis Toko Buku PUstaka puJAngga Tu-ngang Iskandar Turita Indah Setyani Umar Fauzi Ballah Uniawati Universitas Indonesia Universitas Jember Usep Romli H.M. Usman Arrumy UU Hamidy Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wa Ode Zainab Zilullah Toresano Wahyu Aji Walid Syaikhun Wan Mohd. Shaghir Abdullah Warung Boengaketjil Wawan Eko Yulianto Wawancara Welly Adi Tirta Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Fei Hung Y Alpriyanti Yanti Mulatsih Yanuar Widodo Yanuar Yachya Yayuk Widiati Yeni Ratnaningsih Yohanes Sehandi Yopi Setia Umbara Yosi M Giri Yudhi Fachrudin Yudi Latif Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusuf Suharto Zaenal Abidin Riam Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zakki Amali Zehan Zareez