Fahrudin Nasrulloh *)
http://radarmojokerto.co.id/
Apakah itu teater? Untuk apa manusia membutuhkan teater? Kenapa orang-orang berpeluh tenaga dan keringat bermain teater? Apa ada kebajikan yang dibuahkan dari menggeluti teater? Barangkali demikianlah orang pesantren yang awam atau yang merasa punya riwayat dengan pesantren yang kurang mengenal teater akan bertanya-tanya semacam itu. Jawabannya sederhana: di pesantren nyaris tidak dikenalkan bahkan dikembangkan seni teater yang bagi mereka tidak lebih sebagai produk budaya Eropa-Barat yang hingga kini telah menjadi bagian dari seni pertunjukan moderen di Indonesia dan mendapatkan apresiasi yang luas di seluruh belahan dunia.
Berteater adalah menghirup keseharian, memaknai keberadaan diri atas nama kenyataan, dengan secermat mungkin, dengan yang biasa-biasa saja, merasakan aliran darah mengalir di urat-urat nadi. Menghayati tubuh yang bergerak, pikiran yang berkembara, orang-orang yang berpusaran dalam rutinitas keseharian dengan berbagai macam persoalannya. Dengan kesadaran apakah diri manusia telah kehilangan sesuatu yang paling hakiki atas eksistensinya. Tapi kenapa menjadi penting bahwa keberadaan diri harus dicari di dalam teater, bukan di luar teater? Apakah jika manusia merasa kehilangan diri, hingga sedemikian perlunya berikhtiar untuk menemukan diri? Di situlah teater sebagai sebuah seni menghadir. Seni berpikir, seni bergerak, seni menyikapi kesementaraan hidup, seni: apakah kita mencintai hidup atau membencinya, seni bagaimana Tuhan menciptakan semesta hingga manusia berpikir dengan cara yang bagaimanakah Tuhan menciptakan itu semua.
Teater sebagai seni mengandung nilai, pertama sebagai kekuatan efek dalam setiap adegan yang mengundang penafsiran yang berpijak atas pengalaman-pengalaman manusia. Kedua, menggelarkan pengalaman batin, tentang pikiran tokoh, kepribadian dan sesuatu dorongan kenapa seseorang bertindak dan menentukan keputusan. Ketiga, teater sebagai seni yang kompleks yang melibatkan sejumlah aktor, penulis naskah, sutradara, asisten sutradara, penata pentas atau busana atau cahaya, koreografer, dan pengolah musik. Dari kompleksitas itulah teater menemukan kekuatannya dalam sebuah kerja sama yang solid dan bertanggungjawab demi suatu penciptaan pelakonan yang tunggal.
Pengalaman manusia, dalam konteks lelaku teater, berusaha merekam pola-ragam pengalaman-pengalaman itu yang di dalamnya berbagai persoalan dapat diungkai, dieksplorasi, dan mengurai sebab-akibat suatu peristiwa. Perspektif sejarah, filsafat, dan disiplin keilmuan lain sangatlah menunjang bagi sejauh mana sebuah pementasan teater disajikan. Walau yang dipentaskan oleh teater adalah art experience (pengalaman seni) bukan life experience (pengalaman hidup), karena itu hakikat teater sebagai bentuk seni menghadirkan yang fiksi dan imajinasi.
Maka hal yang serasa samar-samar menggelayut dalam pola berpikir yang filsafati misalnya akan menemukan fungsinya pada semisal sebuah pemanggungan teater Dinasti dari Jogja yang pada 23 Agustus 2008 menyajikan lakon Tikungan Iblis di Taman Budaya Yogyakarta, dengan sutradara Emha Ainun Nadjib. Pengalaman yang demikian bisa ditemukan dalam adegan demi adegan di mana manusia berhadapan dengan manusia yang berpikir kritis seperti iblis.
Kenapa dengan iblis? Dalam Tikungan Iblis itu diilustrasikan kerusakan di bumi juga disebabkan oleh manusia, bukan iblis yang selama ini dijadikan kambing hitam atas segala keterkutukannya. Apa kira-kira yang perlu didengar dari iblis? Apa manusia telah menyerupai perilaku iblis? Tidak sekedar pesan, tapi ada pemikiran yang mengalir di sana, dalam pementasan itu, yang sesaat, lalu penonton pulang, dengan atau tanpa membawa sesuatu apa. Di dalam peristiwa itulah teater berfungsi sebagai ajang “pertemuan” dalam ruang sosial yang disebut panggung, dengan corak pikiran dan apresiasi penonton yang bermacam-macam.
Kini kita bertanya, bagaimana orang-orang pesantren memahami seni, dalam hal ini teater? Seperti apakah pemahaman mereka? Apakah orang-orang pesantren mempunyai pemikiran tentang kesenian atau kebudayaan? Ya, kita akan teringat sebutan LESBUMI (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia) di tahun 60-an di mana tokoh sastra dan film seperti Asrul Sani dan Usmar Ismail menyokong berdirinya lembaga ini di bawah panji-panji kebesaran NU. Namun kini LESBUMI tidak kedengaran lagi. Namun wacana ini tidak menjadi fokus di sini.
Sastra dan “Teater Pesantren”
Teater dan pementasannya adalah menghadirkan suatu peristiwa. Peristiwa yang bisa disuling dari hal yang nyata maupun yang fiksi. Pementasan teater bisa berdasarkan pada naskah drama, novel, cerpen, suatu peristiwa yang dianggap penting, maupun dari sepotong puisi. Dari naskah drama banyak sekali contohnya, semisal dari naskah-naskah Arifin C. Noer, Putu Wijaya, W.S. Rendra, Heru Kesawamurti, dan lain-lain. Dari novel semisal pementasan Ladang Perminus yang digarap oleh grup MainTeater Bandung yang disutradarai oleh Wawan Sofwan yang penggarapannya didasarkan pada novel Ladang Perminus karya Ramadhan KH.
Mari kita cuplikkan satu contoh pemanggungan teater yang berdasarkan suatu peristiwa berikut ini:
Nuremberg, Jerman, Mei, tahun 1928, di suatu sore. Seorang lelaki dengan langkah terhuyung-huyung, jatuh dan bangun lagi. Seperti seorang bayi ia merangkak tanpa bisa berkomunikasi. Tak ada yang tahu asal lelaki ini. Satu-satunya petunjuk adalah secarik surat yang dibawanya. Surat tersebut menjelaskan lelaki itu sejak lahir disekap dalam dalam kotak di gudang bawah tanah dan tak pernah melihat matahari terbit.
Berita kemunculan lelaki itu segera membuat geger. Warga Nuremberg menganggap lelaki itu sebagai makhluk liar lalu menggotongnya ke penjara kota. Segeralah diketahui bahwa lelaki itu tidak bisa menggunakan jari-jemarinya, dan tidak bisa membedakan antara laki-laki dengan perempuan. Ketika disodori kertas dan pensil, ia agak gugup, kemudian dengan susah payah ia menuliskan namanya: “Kaspar Hauser”.
Dokter mengira apa yang dituliskan itu baru dilatihkan oleh seseorang. Dari hasil pemeriksaan disimpulkan bahwa lelaki itu tidak pernah melihat matahari, tidak pernah melihat orang lain, kecuali orang yang memberinya makan.
Kaspar kemudian disosialisasikan. Ia dijadikan obyek kunjungan dokter, ahli hukum, dan aparat pemerintah dari seluruh Eropa. Teka-teki tentang dirinya belum banyak terpecahkan, dan pada 1933 secara tragis Kaspar ditikam oleh seseorang yang tak dikenal. Penduduk Nuremberg menulis epitafnya: Di sini dikuburkan seorang misterius yang terbunuh secara misterius. (D&R, 1998: 34-35)
Nukilan peristiwa tersebut kemudian oleh novelis Peter Handke dari Austria digarap dalam bentuk sebuah pentas teater berjudul Kaspar. Namun ia garap dengan perspektif lain meski masih menguat karakter si Kasparnya. Peter menyajikan bagaimana kerja para teknokrat, birokrat dan ilmuan dalam membuat keberadaban manusia yang belum dianggap beradab. Naskah eksperimental ini dipanggungkan pada 1967 dan 1968 di Jerman. Kemudian di Indonesia, naskah Kaspar pernah dipentaskan Teater Payung Hitam Bandung pada 1994-2003.
Bagaimanakah dengan naskah-naskah yang bermuatan dengan nilai-nilai keislaman atau kepesantrenan? Naskah Iblis karya Muhammad Diponegoro bisa dijadikan contoh. Atau Tikungan Iblis di atas. Atau yang berdasarkan puisi-puisi Emha Ainun Nadjib yang selanjutnya menghasilkan pementasan Lautan Jilbab. Ataupun cerpennya “Ambang”, dalam kumpulan cerpen Yang Terhormat Nama Saya (Sipress, Yogyakarta: 1992), yang menyoal hubungan eksistensial antara si hamba dan Tuhan. Terkait dengan tematik “iblis”, inspirasi bisa saja muncul untuk menjadikannya sebagai naskah teater. Sebagaimana peristiwa Kaspar Hauser, psikologi sufi yang akrab dengan dunia pesantren bisa saja menjadi pertarungan wacana yang memikat untuk dipentaskan. Seperti cuplikan peristiwa atas sosok sufi Al-Junayd ini dalam pertarungan batiniahnya dengan iblis:
Telah diceritakan bahwa Junayd berkata, “Pada suatu ketika aku sangat ingin bertemu dengan Iblis. Pada suatu hari, aku sedang berdiri di pintu mesjid tatkala seorang tua berjalan ke arahku dari kejauhan. Ketika aku bisa memandangnya dengan jelas, rasa takut tiba-tiba mencekam diriku. Saat dia datang mendekatiku, aku berkata, ‘Siapa engkau wahai orangtua? Mataku tak dapat melihatmu dengan jelas karena rasa tercekam, dan hatiku pun tak dapat memikirkan engkau.’ Dia menjawab, ‘Aku adalah sesuatu yang kau inginkan.’ Aku menyahut, “Wahai Iblis, makhluk terkutuk, apa yang menjadikan engkau bersujud kepada Adam?’ Dia menjawab, ‘Wahai Junayd, apa yang memberimu gagasan bahwa aku akan bersujud kepada yang lain selain pada Allah?’ Junayd merasa terpesona dengan kata-katanya. Lalu muncullah bisikan yang mengiang di telinganya agar menimpali si Iblis dengan kalimat: Engkau berdusta! Jika engkau benar-benar seorang hamba, engkau tentu tak akan pernah melangkahi perintah dan larangan Allah. Iblis mendengar bisikan itu dari hati Junayd lalu sontak berteriak, ‘Engkau telah membuatku terbakar, karena Allah!’ Dan Iblis pun menghilang.”
Pegiat teater yang baik adalah juga pembaca yang baik, lebih-lebih dalam pengayaan membaca buku-buku sastra. Sejumlah cerpen Danarto merefleksikan dunia Islam-kejawen yang mistis, magis, sublim, absurd, dan multi-tafsir telah mengantarkan sosoknya sebagai “penulis sufi” dalam khazanah sastra Indonesia yang cukup diperhitungkan. Banyak hal yang dapat dijadikan inspirasi pengeksplorasian lewat cerpen-cerpen Danarto semisal dalam kumpulan cerpennya Adam Ma’rifat (Balai Pustaka, Jakarta: 1992), Godlob, ataupun Berhala (Pustaka Firdaus, Jakarta: 1996). Pemikiran wahdatul wujud tercermin dalam karya-karyanya. Meski demikian, atmosfir cerita-ceritanya, menurut Umar Kayam, masih tetap dalam rangka bagaimana manusia yang bertuhan memahami sekaligus memuliakan misteri keesaan Sang Pencipta.
Cerpen A.A. Navis Robohnya Surau Kami pernah disebut Gus Dur sebagai representasi sastra kepesantrenan yang menggelontorkan pertarungan batin si kakek dengan tokoh Ajo Sidi tentang hakikat ibadah, sorga, pengabdian tampa pamrih, dan pilihan tokoh si kakek yang putus asa lalu bunuh diri, dan kondisi surau yang perlahan-lahan mau roboh sebab tiada yang merawat setelah peristiwa matinya si kakek.
K.H. Mustofa Bisri dengan cerpen-cerpennya menyorongkan inspirasi yang menarik sebagai bahan pementasan. Kita bisa mencermatinya dalam kumpulan cerpen nya Lukisan Kaligrafi (Kompas, Jakarta: 2003). Cerpen “Gus Jakfar”, “Mubaligh Kondang”, “Ngelmu Sigar Raga” atau “Amplop-amplop Abu-abu” misalnya benar-benar menyuguhkan ilustrasi bagaimana potret riil dan ruang lingkup interaksi sosial di pesantren terhadir begitu mendalam yang tercermin pada tokoh-tokohnya, peristiwanya, suasana yang dibangun Gus Mus. “Gus Jakfar” pertama kali dimuat Kompas pada 23 Juni 2002 yang sontak mendapatkan apresiasi yang luas dari banyak sastrawan, terutama bagi kiai-kiai sejawat Gus Mus. Sejak itu, sastra pesantren mendulang harapan dari pelbagai pihak. Meski kini ia sudah lama absen menulis cerpen.
Novel Khotbah di Atas Bukit (Bentang, Jakarta: 2008) karya Kuntowijoyo menggulirkan sosok Barman tua bersama Popi istrinya yang menyingkir dan mengembara dari keramaian kota menuju sebuah bukit yang sepi untuk menemukan kedamaian hidup. Meski dalam rangka berlibur, mereka banyak menemukan dunia spiritual yang unik. Dan Kuntowijoyo mengisahkannya dengan penuh kelembutan penuh makna, dramatik dalam imajinasi, tanpa berkoar-koar mendesakkan pesan yang artifisial.
Beragam khasanah sastra di atas sekedar gambaran kecil di mana pegiat teater bisa menimba inspirasi untuk pementasan. Tentu masih banyak hal yang dapat digali dari dunia pesantren. Tidak hanya untuk berteater, dunia film juga telah mengangkat sisi-sisi dilematis di wilayah pesantren. Sebut saja film Perempuan Berkalung Sorban yang digarap Hanung Bramantyo dari novel dan dengan judul yang sama karya Abidah El-Khalieqy. Film 3 Doa 3 Cinta yang dibintangi Nicolas Saputra dan Dian Sastrowardoyo yang dibesut Nurman Hakim begitu apik sehingga film ini mendapatkan penghargaan sebagai film terbaik dalam Jakarta International Film Festival (JiFFest) tahun 2009.
Tak terbantah lagi, pesantren memiliki dimensi sosio-kultural yang unik sekaligus problematik jika ditautkan pada landasan etik-moral Syari’ah-fiqhiyyah maupun aqidah-ubudiyah yang memungkinkan hadirnya “setapak jalan” untuk menjalin nilai-nilai ekspresif seni dan budaya, dalam hal ini teater. Mampukah nilai-nilai tersebut oleh pegiat teater di pesantren dapat ditumbuh-suburkan dan dikembangkan tanpa menggedor subtansi keimanan dan prinsip-prinsip etika Islam dan kepesantrenan?
Walakhir, jika Tuhan dan apa yang diciptakannya adalah dunia yang acak, misterius, dan bak buku terbuka bagi siapa saja, maka tercetusnya seni dan pemikiran manusia tak lain atas sebab-Nya. Lantaran itu, segalanya bakal benderang untuk menuju cahaya-Nya.
Catatan:
Tulisan ini disampaikan pada acara “Orientasi Teater SATU dan Seminar Kekaryaan” yang diselenggarakan oleh BEM Fakultas Bahasa dan Sastra UNIPDU Jombang, pada 24 Desember 2009.
*) Fahrudin Nasrulloh, pegiat Komunitas Lembah Pring Jombang
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
A Khoirul Anam
A. Khoirul Anam
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.D. Zubairi
A.S. Laksana
Abd. Basid
Abdul Aziz
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Gaffar
Abdul Hadi W.M.
Abdul Rauf Singkil
Abdul Rosyid
Abdul Salam HS
Abdul Wachid B.S.
Abdullah Alawi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimardha Kurniawan
Abu Nawas
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Ach. Tirmidzi Munahwan
Achmad Faesol
Adam Chiefni
Adhitya Ramadhan
Adi Mawardi
Adian Husaini
Aditya Ardi N
Ady Amar
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afrizal Malna
Afrizal Qosim
Agama Para Bajingan
Aguk Irawan Mn
Agus Buchori
Agus Fahri Husein
Agus Fathuddin Yusuf
Agus R. Sarjono
Agus Sulton
Agus Sunyoto
AH J Khuzaini
Ahmad Anshori
Ahmad Badrus Sholihin
Ahmad Baso
Ahmad Fatoni
Ahmad Hadidul Fahmi
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Muhli Junaidi
Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rohim
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Fatoni
Akhmad Sahal
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Alang Khoiruddin
Alang Khoirudin
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Aliansyah
Allamah Syaikh Dalhar
Alvi Puspita
AM Adhy Trisnanto
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Amin Hasan
Aminullah HA Noor
Amir Hamzah
Ammar Machmud
Andri Awan
Anindita S Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anjar Nugroho
Anjrah Lelono Broto
Antari Setyowati
Anwar Nuris
Arafat Nur
Ariany Isnamurti
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arif Hidayat
Arif Saifudin Yudistira
Arifin Hakim
Arman AZ
Arwan
Asarpin
Asef Umar Fakhruddin
Asep Juanda
Asep S. Bahri
Asep Sambodja
Asep Yayat
Asif Trisnani
Aswab Mahasin
Atiqurrahman
Awalludin GD Mualif
Azizah Hefni
Azwar Nazir
B Kunto Wibisono
Babe Derwan
Badrut Tamam Gaffas
Bale Aksara
Bandung Mawardi
Bastian Zulyeno
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benny Benke
Berita
Berita Duka
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budiawan Dwi Santoso
Buku Kritik Sastra
Candra Adikara Irawan
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cawapres Jokowi
Cerpen
Chairil Anwar
Chairul Abhsar
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
CNN Indonesia
Cucuk Espe
Cut Nanda A.
D Zawawi Imron
D. Dudu AR
Dahta Gautama
Damanhuri Zuhri
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Danuji Ahmad
Dati Wahyuni
Dea Anugrah
Dea Ayu Ragilia
Dede Kurniawan
Dedik Priyanto
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny JA
Denny Mizhar
Detti Febrina
Dewi Kartika
Dian Sukarno
Dian Wahyu Kusuma
Didi Purwadi
Dien Makmur
Din Saja
Djasepudin
Djauharul Bar
Djoko Pitono
Djoko Saryono
DM Ningsih
Doddy Hidayatullah
Donny Syofyan
Dr Afif Muhammad MA
Dr. Simuh
Dr. Yunasril Ali
Dudi Rustandi
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Rejeki
Dyah Ratna Meta Novia
E Tryar Dianto
Ecep Heryadi
Edeng Syamsul Ma’arif
Edy A Effendi
Edy Susanto
EH Ismail
Eka Budianta
Ekky Malaky
Eko Israhayu
Ellie R. Noer
Emha Ainun Nadjib
Esai
Esha Tegar Putra
Evi Melyati
Fachry Ali
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faizal Af
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fathurrahman Karyadi
Fazabinal Alim
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Festival Teater Religi
Forum Santri Nasional
Fuad Mardhatillah UY Tiba
Furqon Lapoa
Fuska Sani Evani
Geger Riyanto
Ghufron
Gola Gong
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Dur
Gus Muwaffiq
Gusriyono
Gusti Grehenson
H Marjohan
H. Usep Romli H.M.
Habibullah
Hadi Napster
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamid Jabbar
Hamka
Hammam Fathulloh
Hamzah Fansuri
Hamzah Sahal
Hamzah Tualeka Zn
Hanibal W.Y. Wijayanta
Hanum Fitriah
Haris del Hakim
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B. Kori’un
Hasan Basri Marwah
Hasnan Bachtiar
Hasyim Asy’ari
Helmy Prasetya
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Heri Listianto
Heri Ruslan
Herry Lamongan
Herry Nurdi
Heru Kurniawan
Hilmi Abedillah
Hotnida Novita Sary
Hudan Hidayat
Husein Muhammad
I Nyoman Suaka
Ibn ‘Arabi (1165-1240)
Ibn Rusyd
Ibnu Sina
Ibnu Wahyudi
Idayati
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Yusardi
Imadi Daimah Ermasuri
Imam Hamidi Antassalam
Imam Khomeini
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Nasri
Imron Tohari
Indonesia O’Galelano
Indra Kurniawan
Indra Tjahyadi
Inung As
Irma Safitri
Isbedy Stiawan Z.S.
Istiyah
Iwan Kurniawan
Iwan Nurdaya Djafar
J Sumardianta
Jadid Al Farisy
Jalaluddin
Jalaluddin Rakhmat
Jamal Ma’mur Asmani
Jamaluddin Mohammad
Javed Paul Syatha
Jaya Suprana
Jember Gemar Membaca
Jo Batara Surya
Johan Wahyudi
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
K. Muhamad Hakiki
K.H. A. Azis Masyhuri
K.H. Anwar Manshur
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
Kabar Pesantren
Kafiyatun Hasya
Kanjeng Tok
Kasnadi
Kazzaini Ks
KH Abdul Ghofur
KH. Irfan Hielmy
Khansa Arifah Adila
Khoirul Anwar
Khoirur Rizal Umami
Khoshshol Fairuz
Kiai Muzajjad
Kiki Mikail
Kitab Dalailul Khoirot
Kodirun
Komunitas Deo Gratias
Koskow
Kritik Sastra
Kurniawan
Kurtubi
Kuswaidi Syafi’ie
Kyai Maimun Zubair
Lan Fang
Larung Sastra
Leila S. Chudori
Linda S Priyatna
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari karya Rengga AP
Lukman Asya
Lukman Santoso Az
M Arif Rohman Hakim
M Hari Atmoko
M Ismail
M Thobroni
M. Adnan Amal
M. Al Mustafad
M. Arwan Hamidi
M. Bashori Muchsin
M. Faizi
M. Hadi Bashori
M. Harir Muzakki
M. Kanzul Fikri
M. Mustafied
M. Nurdin
M. Yoesoef
M. Yunis
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
M.S. Nugroho
M.Si
M’Shoe
Mahamuda
Mahdi Idris
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahrus eL-Mawa
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mansur Muhammad
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marjohan
Marsudi Fitro Wibowo
Martin van Bruinessen
Marzuki Wahid
Marzuzak SY
Masduri
Mashuri
Masjid Kordoba
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni el-Moezany
Matroni Muserang
Mbah Dalhar
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Miftahul Ulum
Mila Novita
Mochtar Lubis
Moh. Ghufron Cholid
Mohamad Salim Aljufri
Mohammad Kh. Azad
Mohammad Yamin
Muh. Khamdan
Muhajir Arrosyid
Muhammad Abdullah
Muhammad Affan Adzim
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Ali Fakih AR
Muhammad Amin
Muhammad Anta Kusuma
Muhammad Ghannoe
Muhammad Idrus Djoge
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Kosim
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Mukhlisin
Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Subhan
Muhammad Wava Al-Hasani
Muhammad Yasir
Muhammad Yuanda Zara
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyiddin
Mujtahid
Muktamar Sastra
Mulyadi SA
Munawar A. Djalil
Munawir Aziz
Musa Ismail
Musa Zainuddin
Muslim
Mustafa Ismail
Mustami’ tanpa Nama
Mustofa W Hasyim
Musyafak
Myrna Ratna
N. Mursidi
Nasaruddin Umar
Nashih Nashrullah
Naskah Teater
Nasruli Chusna
Nasrullah Thaleb
Nelson Alwi
Nevatuhella
Ngarto Februana
Nidia Zuraya
Ninuk Mardiana Pambudy
Nita Zakiyah
Nizar Qabbani
Nova Burhanuddin
Noval Jubbek
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nur Fauzan Ahmad
Nur Wahid
Nurcholish
Nurel Javissyarqi
Nuruddin Al Indunissy
Nurul Anam
Orasi Budaya
Pangeran Diponegoro
Parimono V / 40 Plandi Jombang
PC. Lesbumi NU Babat
PDS H.B. Jassin
Pesantren Tebuireng
Pidato
Politik
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
PonPes Ali bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pramoedya Ananta Toer
Prof. Dr. Nur Syam
Profil Ma'ruf Amin
Prosa
Puisi
Puji Hartanto
Puji Santosa
Pungkit Wijaya
Purwanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
PUstaka puJAngga
Putera Maunaba
Putu Fajar Arcana
R. Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Raedu Basha
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rakhmat Nur Hakim
Ramadhan Alyafi
Rameli Agam
Rasanrasan Boengaketji
Ratnaislamiati
Raudal Tanjung Banua
Reni Susanti
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Retno HY
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridwan Munawwar
Rinto Andriono
Risa Umami
Riyadhus Shalihin
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Rohman Abdullah
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saifuddin Syadiri
Saifudin
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Salahuddin Wahid
Salamet Wahedi
Salman Faris
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra Pesantren
Sastrawan Pujangga Baru
Satmoko Budi Santoso
Satriwan
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra Boenga Ketjil
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siswanto
Siswoyo
Sita Planasari A
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Slavoj Zizek
Snouck Hugronje
Sobih Adnan
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sufyan al Jawi
Sugiarta Sriwibawa
Sulaiman Djaya
Sundari
Sungatno
Sunu Wasono
Surya Lesmana
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Susringah
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaiful Amin
Syaifullah Amin
Syarif Hidayat Santoso
Syeikh Abdul Maalik
Syeikh Muhammad Nawawi
Syekh Abdurrahman Shiddiq
Syekh Sulaiman al Jazuli
Syi'ir
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Theresia Purbandini
Tiar Anwar Bachtiar
Tjahjono Widijanto
Tok Pulau Manis
Toko Buku PUstaka puJAngga
Tu-ngang Iskandar
Turita Indah Setyani
Umar Fauzi Ballah
Uniawati
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usep Romli H.M.
Usman Arrumy
UU Hamidy
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
Wahyu Aji
Walid Syaikhun
Wan Mohd. Shaghir Abdullah
Warung Boengaketjil
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Welly Adi Tirta
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Fei Hung
Y Alpriyanti
Yanti Mulatsih
Yanuar Widodo
Yanuar Yachya
Yayuk Widiati
Yeni Ratnaningsih
Yohanes Sehandi
Yopi Setia Umbara
Yosi M Giri
Yudhi Fachrudin
Yudi Latif
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Zaenal Abidin Riam
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zakki Amali
Zehan Zareez
Tidak ada komentar:
Posting Komentar